Jakarta (ANTARA) - Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan kawasan konservasi laut atau marine protected area menjadi benang merah yang mengikat pulau-pulau kecil di Lesser Sunda atau yang biasa dikenal sebagai Sunda Kecil.
 
"Lesser Sunda pengikatnya adalah kawasan konservasi laut, sehingga Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) bisa saling terkoneksi," kata Pelaksana tugas Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas, Sri Yanti saat mengunjungi Pulau Ceningan di Bali, Selasa.
 
Yanti menjelaskan bahwa ekosistem laut Lesser Sunda memiliki tingkat biodiversitas yang kaya berupa spesies karismatik, seperti ikan mola-mola di Bali hingga hiu paus yang berada di NTB.

Baca juga: COREMAP hadirkan empat lembaga sertifikasi pemonitor karang
 
Menurutnya, Bali tidak bisa berdiri sendiri, karena sudah kelebihan kapasitas wisatawan. Bappenas merencanakan Bali Nusra yang mengadopsi pembangunan hijau dan ekonomi sirkular agar wisatawan tidak hanya mengunjungi Bali, tetapi juga mengunjungi NTB dan NTT.
 
"Bali sudah kelebihan kapasitas, Bali sangat tergantung limpahan dari turis ke NTB dan NTT. Di situ juga ada jalur kapal pinisi yang berangkat dari Bali, terus keliling, di bulan selanjutnya ke NTB, lalu ke NTT," kata Yanti.
 
Lebih lanjut, dia menyampaikan bahwa karakteristik ketiga wilayah itu hampir sama berupa pulau-pulau kecil yang indah, sehingga harus dikelola secara terintegrasi dalam kerangka kawasan konservasi laut.
 
Pemerintah memproyeksikan nilai ekonomi terumbu karang di Indonesia yang dikelola secara baik bisa mencapai angka Rp17 miliar per hektare per tahun. Bahkan, perhitungan Kementerian Keuangan pada 202,  menyatakan bahwa terumbu karang di Gili Matra, Nusa Tenggara Barat mampu memberikan nilai ekonomi sebesar Rp34,745 miliar per hektare per tahun.
 
Sampai 2022, luas kawasan konservasi laut mencapai 28 juta hektare atau sekitar 12 persen dari total luas perairan di Indonesia.
 
"Pada 2045, sebanyak 30 persen perairan Indonesia menjadi kawasan konservasi yang di dalamnya sebagian besar adalah terumbu karang yang memberikan nilai Rp17 miliar per hektare," papar Yanti.

Baca juga: Coremap Lestarikan Terumbu Karang di Tapanuli Tengah
 
Direktur Eksekutif Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), Tony Wagey mengatakan kedatangan turis yang berlebihan memberikan tekanan terhadap kawasan konservasi laut.
 
Oleh karena itu, konektivitas antar-wilayah harus terbentuk supaya memberi opsi alternatif destinasi agar para turis tidak menumpuk di satu lokasi saja.
 
"Kami bantu pemerintah daerah mengatur wisatawan melalui kegiatan monitoring, karena di dalam laut sudah seperti pasar, ada banyak penyelam yang membuat biota laut terganggu," kata Tony.
 
Sepanjang Maret 2020 sampai 31 Agustus 2023, ICCTF menjalankan program pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang melalui inisiatif segitiga terumbu karang (Coremap-CTI).
 
Program itu merupakan salah satu upaya nyata dari pemerintah melalui Bappenas untuk menjaga kelestarian sumber daya laut dan pesisir sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
 
Coremap-CTI menghasilkan model inovasi pembangunan untuk pengelolaan ekosistem pesisir dan laut secara berkelanjutan dan juga mendukung upaya penanganan dampak perubahan iklim di sektor kelautan dan perikanan.

Baca juga: Coremap-CTI tingkatkan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi

Baca juga: Menteri KKP: Ruang konservasi laut Babel harus dijaga
 
Lokasi program berada di wilayah Lesser Sunda, yaitu Nusa Penida di Bali, serta Gili Matra dan Gili Balu di Nusa Tenggara Barat.
 
Dukungan pendanaan bersumber dari Bank Pembangunan Asia (ADB) yang disalurkan melalui dana hibah dengan total anggaran 5,2 juta dolar AS atau setara Rp72,8 miliar.
 
"Bali dan NTB beruntung menjadi salah satu lokasi pilot project Coremap. Ini menjadi bahan pembelajaran untuk direplikasi ke kawasan konservasi laut lain di Indonesia," kata Tony.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023