Tokyo (ANTARA) - Lab Teater Ciputat bersama dengan Teater Company Shelf Jepang menggelar pentas kolaborasi dengan mengangkat tema “Kematian” serta menarik benang merah makna tema itu di kedua budaya.

Direktur Artistik Theatre Company Shelf sekaligus sutradara Yasuhito Yano saat ditemui di Tokyo, Selasa mengungkapkan bahwa tema tersebut diambil karena banyak kesamaan yang menarik untuk diangkat dari sisi agama dan budaya kedua negara.

“Masih ada keterkaitan tentang kematian dari sudut pandang agama di Indonesia dan di Jepang. TIdak dapat dipungkiri, di Jepang juga banyak kasus, seperti kasus bunuh diri,” katanya.

Pentas “Crossing Text of Danarto and Mishima: Between Mistery and Mystical-Smiling Old Women” bertolak dari dua naskah asal Indonesia dan Jepang, yakni karya Danarto dan karya Yukio Mishima.

Keduanya menceritakan sosok perempuan, yakni Rintrik dan Sotoba Komachi dengan karakter mirip kendati dari kultur dan asal yang berbeda.

Keduanya berperilaku digambarkan sebagai karakter yang penuh kelembutan, tetapi sarat ketegasan, berperilaku yang dianggap nyeleneh sebagai bentuk perlawanan cara pandang dangkal serta memiliki kesamaan pandangan dalam menghadapi kematian.

Pertunjukan itu diperankan oleh aktor-aktor dari Indonesia dan Jepang dan menggunakan dua bahasa.

Meski demikian, menurut Yano, bahasa bukan halangan dalam berkomunikasi, mulai dari menggodok ide hingga menuangkannya dalam adegan-adegan serta dialog.

“Setiap sutradara memiliki ego sendiri-sendiri. Ketika kita membuat itu, semua proses itu menyenangkan sekali, tetapi saat ini memilih mau yang mana, di situ terjadi perdebatan,” katanya.

Baca juga: Aktor Indonesia tampil dalam drama teater "Electra" di Jepang

Sementara itu, Sutradara sekaligus Pendiri Lab Teater Ciputat Bambang Pribadi menuturkan ia ingin mendobrak topik-topik yang biasanya hanya dibicarakan di ruang-ruang keagamaan, salah satunya tentang kematian.

“Menurut saya kematian bukan saja hanya patut dibayang-bayangkan, tetapi juga ya sebagai sesuatu yang wajar dan rileks. Tidak bisa tidak itu adalah satu alam yang akan kita jumpai bersama,” katanya.

Kedua sutradara juga mengambil benang merah tentang arah “Barat” yang memiliki makna tersendiri bagi sebagian besar penduduk Indonesia dan warga Okinawa, provinsi di Jepang paling Selatan.

Arah Barat menurut pandangan Muslim adalah arah yang diutamakan karena menghadap ke Makkah, bahkan saat kematian pun wajah jenazah dihadapkan ke arah Barat.

Di sisi lain, menurut kepercayaan warga Okinawa, arah Barat dianggap suci sehingga tidak umum untuk tidur menghadap ke arah itu.

Dalam menghadapi perbedaan pandangan dan bahasa, ia mengatakan kuncinya adalah saling percaya, sehingga pentas itu tercipta dengan baik.

“Saling percaya, apa yang diputuskan oleh Yano saya percaya dan apa yang saya putuskan Yano percaya. Kami juga percaya pada aktor-aktor lain, penata-penata lain, sehingga semakin paham dengan apa yang kami lakukan bersama,” katanya.

Bambang berharap kolaborasi itu menjadi suara bersama untuk memperkuat vibrasi dalam menanggapi masalah kontemporer pada masa kini.

Dia menambahkan pertunjukan itu akan kembali dipentaskan pada Oktober mendatang.

Baca juga: Dubes RI Jepang apresiasi pementasan "Mahabharata" di Tokyo

Baca juga: Teater Kabuki Jepang dibuka kembali setelah tutup 5 bulan


Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2023