umpun keturunan Toalala terbukti telah berperan penting dalam sejarah Enrekang, dan berperan penting dalam mengisi kepemimpinan legislatif sejak Enrekang menjadi sebuah kabupaten sampai sekarang.
Makassar (ANTARA) - Pagi itu, Gedung Dakwah Muhammadiyah di Jalan Siliwangi, Batili, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, ramai dengan kehadiran para keturunan kerajaan dari berbagai daerah yang memiliki hubungan darah dengan Toalala Arung Enrekang atau Raja Enrekang VIII.

Suasana keakraban terlihat sangat cair dalam pertemuan silaturahim anggota Ikatan Kerukunan Keluarga Toalala atau IKKT itu, mengingat masih dalam suasana Hari Raya Idul Adha 1444 Hijriah. Data panitia mencatat sekitar 700 orang hadir memadati aula gedung tersebut.

Ikatan emosional dibalut rasa kekeluargaan lintas generasi Toalala tergambar jelas di tempat itu. Kendati berlangsung selama empat jam, upaya panitia tidak sia-sia mengumpulkan keluarga termasuk menunjukkan silsilah 'trah' anak turunan Raja Enrekang Pertama Takkebuku hingga Raja Enrekang XIV yang terakhir, Andi Abdul Mannan Tjani.

Bila ditarik sejarah terbentuknya Kerajaan Enrekang di masa lampau, tidak lepas dari c cikal bakal bergabungnya empat kerajaan di wilayah setempat, yaitu Taulan (Cendana), Tinggalun (Papi), Timbang (Ranga), dan Cemba (Karueng). Empat kerajaan ini menjadi satu dan memilih Takkebuku, seorang wanita menjadi Raja Enrekang pertama dengan sebutan Puang Enrekang (Arung Enrekang I).

Menurut lontara dan cerita rakyat, Takkebuku merupakan keturunan Tomanurung (disebut orang turun dari langit), generasi menjadi Puang Tindalun sampai Danrakati adalah ibu kandungnya. Ayahnya, keturunan dari Palipada juga Tomanurung menjadi Puang Palli, sampai generasi menjadi Puang Taulan, Puang Leoran, Puang Pinang, hingga Latanriangka.

Takkebuku menikah dengan Mappesangka dan mulai memerintah di abad XIV. Ia melahirkan dua anak yakni Kota (I Kotang), anak pertama perempuan dan Tammulawa ,anak kedua laki-laki. Sesuai kebiasaan adat keluarga kerajaan, anak pertama berhak menjadi raja berikutnya menggantikannya. Kota (I Kotang) Arung Enrekang II kemudian memerintah selama 1540-1565.

I Kotang menikah dengan Pasoloi Puang Timbang dan melahirkan dua anak perempuan yang diberi nama Bissu Tonang dan Tomaraju. Bissu Tonang menjadi Arung Enrekang III memerintah selama 1565-1590 dan menikah dengan Lapatau Addatuang Sawitto Timurang Sadddang serta dikaruniai seorang putra bernama La Mappatunru.

Selanjutnya, La Mappatunru menggantikan ibunya menjadi Arung Enrekang IV setelah menikahi Nagauleng, bangsawan dari Kerajaan Bone dan melahirkan dua putra yakni Baso Panca dan Latanrisau di masa pemerintahannya pada 1590-1615. Sebagai anak pertama, Baso Panca melanjutkan kepemimpinan ayahnya menjadi Arung Enrekang V selama 1615-1645 dan dikaruniai seorang putra setelah menikah dengan Fatimah. Putra tersebut dinamai Masaguni.

Masaguni menjadi Arung Enrekang VI dan menikah dengan Siriwangngang. Ia dikarunia putra yang dinamai Muhammad Yusuf dan memerintah selama 1645-1680. Dalam masa pemerintahan Muhammad Yusuf Arung Enrekang VII menikah dengan Maimuna dan melahirkan seorang anak laki-laki bernama Sangngan.

Namun disayangkan, kala itu terjadi tragedi. Ia membunuh istrinya karena terserang penyakit akut yang tidak jelas, lalu dibawa ke Kampung Rangga untuk diobati, sehingga terjadi kefakuman kepemimpinan di kerajaan. Setelah sembuh, dia menikah lagi dengan gadis di Kaluppini. Walaupun Sangngan, anak pertama, tapi status raja bukan miliknya. Di sinilah dinasti kerajaan turun temurun Takkebuku berakhir.

Para tetua adat menilai peristiwa itu adalah perbuatan tercela, sehingga mereka bersepakat mencari sosok yang layak dijadikan pemimpin untuk mengembalikan stabilitas pemerintahan serta kepercayaan rakyat. Toalala, peranakan dari Raja Bugis Wajo-Enrekang akhirnya dipilih menggantikan Muhammad Yusuf menjadi Arung Enrekang VIII, walaupun bukan keturunan langsung Takkebuku.
 

Sejumlah kendaraan melintas di jalan raya plan perbatasan Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. ANTARA/Darwin Fatir.
 

Sejarah masa pemerintahan Toalala dijadikan buku


Sejarah pemerintahan Toalala pada abad XVII (1739-1825) dituliskan dalam buku 'Jejak Pemerintahan Toalala dan Silsilah Arung Enrekang' edisi pertama yang telah disempurnakan penulisnya Muhammad Rais Rahmat Razak. Dalam buku itu lebih banyak dijabarkan tentang kepemimpinan Arung Enrekang VIII.

Kehadiran buku tersebut bertujuan merawat pengetahuan tentang asal usul terbentuknya Kerajaan Enrekang agar tidak hilang dari sejarah peradaban, sehingga cara dilakukan dengan mengumpulkan informasi dari saksi sejarah serta berbagai sumber yang didasarkan pada petunjuk lontara, sebagai bahan referensi antargenerasi muda.

Dosen Universitas Muhammadiyah Sidrap ini menulis sejarah Toalala berawal dari cucunya, Pasli bersama Andi Achmad Salim dan Bahar Santing menulis naskah silsilah keturunan serta sejarah pemerintahan Toalala di 1990-an melalui diktat untuk dijadikan buku, namun tidak kunjung terealisasi.

Baru pada 2023 atau sekitar 20 tahun naskah yang disusun dalam diktat itu disempurnakan, tentunya dengan mencari nara sumber kompeten, saksi sejarah masih hidup dan buku-buku referensi berkaitan Kerajaan Enrekang, lalu dicetak menjadi sebuah buku setelah melalui proses editing penulisnya.

Toalala adalah figur sentral di masanya. Ia dan saudaranya Sandra, lahir dari ibunya yang bernama Malang, putri Baso Arung Cemba (Maiwa) setelah menikah dengan Raja Wajo Pawelloi Cella Mata Arung Kelempang yang dikenal sebagai Baso Kalempang. Neneknya, diketahui sebagai keturunan langsung Latenri Peppang Payung Ri Luwu (Raja Luwu) XXIV, serta cucu dari Latamassonge Sultan Abdul Razak Jalaluddin Mangku Ri Bone (Raja Bone) XXII.

Dalam masa pemerintahannya, untuk memperkuat struktur birokrasi, ia memutuskan jabatan baru diberi gelar 'Petta Punggawa' atau panglima tentara kerajaan. Pada zaman itu, jabatan ini sangat langka dan hanya ada di Kerajaan Bone. Sangngan pun diangkat menjadi Petta Punggawa. Jabatan baru lainnya adalah 'Petta Salewatang Enrekang' sebagai pengganti raja bila berhalangan.

Selanjutnya, menyusun strata sosial di masyarakat kerajaan Enrekang yakni pertama, Ulawanga, keturunan raja-raja (bangsawan tinggi) 'daramattakunna' Enrekang. Kedua, Salaka, keturunan bangsawan bercampur dengan keturunan lain yang menjadi aparat pemerintahan. Ketiga, Bessi, keturunan yang menjadi pekerja seperti petani, pedagang, pertukangan dan lain-lain. Keempat, Kaunan, atau budak, namun status ini sudah tidak ada di wilayah Massenrenpulu karena dimerdekakan.


 

Generasi keturunan Toalala Arung Enrekang VIII, Muhammad Restu Ilmizar membaca buku Jejak Pemerintahan Toalala dan silsilah Arung Enrekang di Makassar, Sulawesi Selatan. ANTARA/Darwin Fatir.


Strategi perkawinan politik

Pemberian nama Toalala mengandung arti, To (orang) lala (bersinar) mempunyai tetesan darah kebangsawanan Bugis dari tanah Luwu dan Bone, berpadu dengan darah bangsawan Enrekang dari Kerajaan Maiwa. Ia mempunyai kemampuan dan kompetensi sangat baik dan dikenal masyarakat setempat 'Puang Tumuane' atau pemimpin laki-laki bijak, tegas, serta memiliki ilmu kanuragan (bela diri).

Dalam buku itu diceritakan Puang Tumuane mempersunting Billa Besse Cempa Arung Maiwa binti Pallawa Gau Petta Pilla Datu Pammana Wajo, kemudian dikaruniai dua anak bernama Baso Enrekang dan Baso Mallangang serta satu anak dari istri keduanya Arung Taulan, bernama La Bitte Daeng Pali.

Strategi yang dijalankan selama memimpin Kerajaan Enrekang, mengisyaratkan anak keturunannya menjalin perkawinan politik dengan para bangsawan kerajaan lain seperti Kerajaan Luwu, Bone, Soppeng, Wajo, Ajattapareng, dan Enrekang. Perkawinan politik anak cucu keturunannya terbukti menjaga kestabilan politik pemerintahan di Tanah Massenrenpulu yang dijuluki 'Tana Rigalla, Tana Riabbasungi' yang berarti, Negeri Suci yang Dihormati .

Situasi pada masa itu, persatuan harus di ikat dalam hubungan kekerabatan antarkerajaan agar dapat mengimbangi politik 'devide at ampera' yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda setelah memegang kendali atas kerajaan-kerajaan besar di Nusantara seusai ditaklukkan. Bahkan, kala itu VOC dibubarkan pada 31 Desember 1799 dan penjajah Belanda mengambil alih Kepulauan Nusantara.

Anak cucu keturunannya diajarkan menjalani perkawinan politik untuk menjadi pemimpin kuat di kerajaan Enrekang, seperti Baso Arung Enrekang IX (1825-1860) menikah dengan Cacipu Besse Rappang (sepupunya) putri Bitte Baso Rappang, anak dari Sandra, saudara Toalala. Perkawinan mereka melahirkan tiga anak. Anak pertama perempuan dinamai Tonang, dan dua adik laki-lakinya dinamai Solo Mattarang dan Makkarasa.

Sebagai anak pertama, Tonang melanjutkan pemerintahan sebagai Arung Enrekang X (1860-1878) dan menikah dengan Tocalo Arung Maiwa, melahirkan anak perempuan dinamai Pancaitana Bungawalie selanjutnya menjadi Arung Enrekang XI (1878-1915) lalu menikah dengan Patiroi Arung Sareang, Namun sayang, mereka tidak memiliki anak.

Baso Arung Enrekang IX semasa pemerintahannya dikenal memiliki banyak istri dari kalangan bangsawan di beberapa kerajaan dengan mengikuti anjuran ayahnya, perkawinan politik. Ia juga mempersunting Yellang, bangsawan dari Kerajaan Papi dan melahirkan Kello Daeng Massangka. Massangka menikah dengan Taba, kemudian melahirkan anak bernama Karasa.

Karasa lalu dipersunting Pattiroi Arung Sereang suami dari Pancaitana Bungawalie, Arung Enrekang XI. Ia melahirkan Andi Akhmad yang didaulat menjadi Arung Enrekang XII (1915-1934) menggantikan Arung Enrekang sebelumnya, dengan tetap melakukan perlawanan atas kondisi wilayahnya kala itu yang masih dalam penguasaan penjajahan Belanda.

Baso Mallangan juga melakukan poligami, perkawinan politik, dan menikahi Cinnu Putri Addatuang, anak La Kulle Datu Suppa selaku Addatuan (Raja) Sawitto seusai pertemuan raja-raja di Belawa. Dari perkawinan itu lahir dua anak perempuan yakni We Kulle dan We Madi (Tanri Lipu).

We Kulle dinikahi bangsawan Soppeng Datu Leoran kemudian lahir Bunru Datu Walie yang dipersunting Andi Mattalatta Arung Bila. Anaknya diberi nama Andi Tenri Dolong Arung Bila (Datu Soppeng), hingga melahirkan Andi Muhammad Tahir.

Arung Enrekang XIII, Andi Muhammad Tahir diketahui cicit dari Baso Mallangang, Petta Punggawa II Arung Tungka I, adik dari Baso Enrekang. Pada masa pemerintahannya 1934-1950, terjadi perang Asia Timur Raya. Jepang  masuk dan menjajah Indonesia pada 1942-1945 setelah Belanda hengkang. Meski demikian, ia tetap mempertahankan wilayahnya untuk mengusir para penjajah.

Masa pemerintahan Andi Abdul Mannan Tjani (Puang Cani) Arung Enrekang XIV atau raja terakhir hanya dua tahun, 1950-1952 setelah terpilih oleh tetua adat, dan meraih suara mayoritas karena memiliki garis keturunan Toalala. Ia juga merangkap sebagai Kepala Swaparja atau Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) Enrekang yang bersifat darurat peralihan dari masa penjajahan ke zaman kemerdekaan.

Sembari menunggu Undang-undang 1952 tentang pembubaran Swaparaja, ia meletakkan jabatannya karena ada ancaman percobaan penculikan serta intervensi dari kesatuan gerombolan bersenjata di hutan-hutan, lalu menyerahkan jabatan kepada Abdul Rahman, putra dari Kulau (Ma'dika Cendana) keturunan garis lurus Baso Mallangang Arung Tungka I.

Setelah merdeka, dikeluarkan Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959 yang mengatur tentang wilayah pembentukan daerah tingkat II. Andi Andi Babba Mangopo diangkat menjadi bupati pertama Kabupaten Enrekang karena memiliki garis lurus keturunan dengan Baso Enrekang.

Dari perkawinan politik yang dijalankan keturunan Toalala berhasil melahirkan sejumlah tokoh besar seperti Andi Mappanyukki Datu Suppa Arung Bone XXXII, Pangeran Daeng Rani atau Andi Pangeran Pettarani, Abu Bakar Lambogo, dan Udin Palisuri serta sederet nama lain. Perkawinan politik dijalankan bukan hanya pada sejumlah kerajaan di Tanah Massenrenpulu, tapi meluas ke daerah kerajaan lain di Luwu, Bone, Wajo, hingga Soppeng.


 

Ketua Yayasan Tanri Toalala Arung Enrekang VIII Muhammad Rais Rahmat Razak (tengah) didampingi pengurusnya menyampaikan penjelasan silsilah dan sejarah Arung Enrekang di Aula Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jalan Siliwangi, Batili, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. ANTARA/Darwin Fatir.

 

Pendirian Yayasan Andi Tanri Taoala

Untuk memastikan silaturahim terus terjalin serta menjalankan program IKKT, pertemuan silaturahim di Gedung Dakwah Muhammadiyah pada Sabtu, 1 Juli 2023, dirangkaikan dengan peresmian Yayasan Andi Tanri Toalala setelah mendapatkan Surat Keputusan (SK) Kemenkumham Nomor AHU-0007679.AH.01.04 tahun 2023 ter tanggal 14 Mei 2023.

Peresmian itu dihadiri Ketua IKKT sekaligus pembina yayasan Andi Achmad Salim beserta Ketua Umum Himpunan Keluarga Massenrenpulu (Hikma) Enrekang Andi Rukman Nurdin Karumpa. Penyerahan hibah tanah lima kapling oleh pembina yayasan serta bantuan uang Rp50 juta dari Andi Rukman menjadi bagian akhir di ujung pertemuan.

Ketua yayasan Muhammad Rais Rahmat Razak menyampaikan, pertemuan seluruh rumpun keluarga IKKT sebagai bagian dari silaturahim, terutama bagi generasi muda yang mulai kehilangan sejarah masa lalunya agar diingatkan kembali bahwa Kerajaan Enrekang ada dan jaya di masanya, sehingga perlu menjaga adat untuk dilestarikan termasuk pengembangan yayasan di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, dan politik.

"Acara ini sebenarnya acara keluarga khususnya dari Rumpung Toalala Arung Enrekang delapan. Tujuan silaturahmi ini mempererat rumpun keluarga yang bertebaran di Sulsel serta daerah lain untuk saling mengenal, yang selama ini tidak saling kenal," ujarnya.

Setelah silaturahim tahun ini sukses, rencananya akan ditingkatkan menjadi reuni keluarga Bija Andi Toalala Puang Tumuane Arung Enrekang VIII dengan mengumpulkan lebih banyak rumpun keluarga dan mengambil tempat di Lapangan Abu Bakar Lambogo Enrekang padan 2024.

Dukungan pemerintah daerah

Bupati  Enrekang Muslimin Bando mengharapkan IKKT dan tulisan tentang jejak sejarah Pemerintahan Toalala dapat  menjadi bagian dari dokumen sejarah Kabupaten Enrekang. Rumpun keturunan Toalala terbukti telah mengambil peran penting dalam sejarah Kabupaten Enrekang.

Sebelum menjadi bagian dari NKRI keturunan Toalala adalah para pemimpin yang telah menjaga dengan baik Bumi Massenrempulu, kemudian setelah menjadi kabupaten, Andi Babba Mangopo sebagai keturunan generasi ke-5 adalah Bupati Pertama Kabupaten Enrekang.

Buku ini menceritakan fakta bahwa orang Enrekang dan Kerajaan Enrekang memiliki jejak sejarah yang tidak kalah dengan kerajaan lain dan selama ini tulisan tentang Kerajaan Enrekang tidak pernah diekspos dan tenggelam oleh tulisan sejarah tentang kerajaan sekitar seperti Kerajaan Bone, Gowa, Luwu. Karya ini diharapkan dapat menjadi amal jariyah dan berguna bukan hanya bagi keturunan Tolala tetapi juga masyarakat Massenrempulu dan Bangsa Indonesia

Ketua DPRD Kabupaten Enrekang Muhammad Idris Sadik menyatakan, rumpun keturunan Toalala terbukti telah berperan penting dalam sejarah Enrekang, dan berperan penting dalam mengisi kepemimpinan legislatif sejak Enrekang menjadi sebuah kabupaten sampai sekarang.

Pada masa awal lembaga perwakilan daerah atau legislatif juga dipimpin oleh para keturunan Toalala seperti Andi Babba Mangoppo dan Abd Rahman Kulau. Buku ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka menanamkan nilai-nilai sejarah khususnya pada generasi muda dengan menggali nilai-nilai perjuangan para leluhur orang Massenrempulu.

 

Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023