Ia ikut melakukan pelatihan-pelatihan pada warga NU yang ingin terlibat intens dalam gerakan perjuangan. Dari
Majalengka (ANTARA) -
Gejolak perlawanan terhadap penjajah pernah bergelora di hampir semua daerah di Republik Indonesia. Sejumlah pertempuran hebat pun terjadi dari pusat kota hingga ke pelosok desa.
 
Perang melawan penjajah bahkan terus berlangsung setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada tahun 1945. Misalnya, peristiwa Agresi Militer Belanda I-II yang meletus pada 1947 dan 1948 dengan tujuan untuk menguasai kembali tanah jajahan.
 
Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Kala itu para pejuang bahu-membahu, menyusun rencana, hingga bergerilya melawan serdadu Belanda demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
 
Pada dasarnya seluruh elemen masyarakat dari berbagai kalangan pun punya andil besar dalam proses kemerdekaan republik ini.

Contohnya, perjuangan kaum muslimin yang ikut mengusir para penjajah di Bumi Pertiwi. Semangat perlawanan itu digaungkan dengan strategi sistematis yang dirancang oleh para kiai.
 
Di Jawa Barat, terdapat tokoh ulama yang memiliki peran sentral dalam pergerakan kaum santri dan kiai untuk menentang hegemoni penjajah di tanah koloni. Sosok tersebut adalah K.H. Abdul Chalim Leuwimunding, cendekiawan Muslim asal Kabupaten Majalengka yang juga salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
 
Abdul Chalim dikenal karena memiliki jaringan luas dengan sejumlah ulama di Pulau Jawa. Berkat hal itu pula, tokoh tersebut dapat memimpin pergerakan santri di Majalengka untuk terlibat aktif dalam berbagai peristiwa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
 
“Beliau dilibatkan untuk memobilisasi massa Islam khususnya yang berasal dari Jawa Barat,” kata Tendi, dosen Sejarah pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon saat berbincang dengan ANTARA.
 
Sebenarnya, aktivitas perjuangan di wilayah Cirebon Raya, termasuk Majalengka di dalamnya, sudah bergejolak dengan adanya laskar-laskar Islam yang kerap melawan kekejaman serdadu Belanda maupun Jepang.
 
Namun, Abdul Chalim memiliki peran tersendiri dalam memobilisasi dan menyusun strategi pergerakan tersebut. Sosok ini pun tersohor karena piawai dalam membina anggota organisasi paramiliter bernama Hizbullah.

Abdul Chalim pun tercatat pernah terlibat di medan pertempuran sebagai pejuang untuk melawan penjajah dalam beberapa perang yang terjadi di Majalengka, Cirebon, hingga Surabaya.
 
“Ia ikut melakukan pelatihan-pelatihan pada warga NU yang ingin terlibat intens dalam gerakan perjuangan. Dari runutan sejarah, diketahui K.H. Abduk Chalim memiliki keterampilan di bidang pencak silat,” ujar Tendi.
 
Pergerakan yang dilakukan Abudl Chalim dalam melawan penjajah tak hanya terjadi lewat serangkaian pertempuran. Dengan pemikirannya yang cerdas membaca situasi kala itu, tokoh tersebut juga dilibatkan pada gerakan perlawanan di beberapa organisasi Islam.
 
 
Pahlawan dari Majalengka
 
Kisah patriotisme Abdul Chalim tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan daerah Leuwimunding di Majalengka, Jawa Barat, yang menjadi tanah kelahirannya. Apalagi tokoh ulama ini menghabiskan masa kecilnya di daerah tersebut.
 
Ia merupakan putra dari pasangan Kedung Wangsagama dan Satimah. Ia lahir di Leuwimunding pada 2 Juji 1898. Ayahnya merupakan seorang kepala desa atau kuwu yang disegani saat itu.
 
“Dia adalah anak kuwu dan menariknya, dengan latar belakangnya itu, K.H. Abudl Chalim menjadi sosok yang sangat religius,” kata Tendi.
 
Sejak masih muda, Abdul Chalim begitu mahir berbahasa Arab dan Belanda karena ia telah menamatkan pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Cirebon.
Dokumentasi arsip foto salah satu pejuang dan Pahlawan Nasional asal Majalengka, Jawa Barat, K.H. Abdul Chalim Leuwimunding. ANTARA/Dokumentasi pribadi
 
Meski sudah dibekali ilmu agama sedari kecil hasil didikan orang tuanya, Abdul Chalim tidak berpuas diri dan memutuskan menimba ilmu di sejumlah pesantren terkemuka saat itu yakni Pondok Pesantren Banada, Pondok Pesantren al-Fattah Trajaya, dan Pondok Pesantren Nurul Huda al Ma’arif Pajajar.
 
Kemudian, pada 1914 saat usianya menginjak 16 tahun, Abdul Chalim melanjutkan pendidikan ke Mekkah. Di sana ia berkesempatan menjejaki pengalaman baru, bertemu dan menimba ilmu dari para ulama besar.
 
Selama di Mekkah, ia aktif membangun jejaring dan berkawan dekat dengan ulama asal Indonesia. Salah seorang sahabat dekatnya adalah K.H. Abdul Wahab Hasbullah.
 
Abdul Chalim membangun pertemanan dan tali silaturahmi yang begitu erat dengan para ulama.
 
Dari pertemuan itu, ia kemudian bergabung dengan Sarekat Islam (SI) Hijaz dan menjadi anggota termuda sekaligus pengurus dalam organisasi tersebut.
 
Melalui SI Hijaz, Abdul Chalim terlibat aktif menentang kebijakan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan menyengsarakan rakyat. Bahkan penentangan itu dilakukan secara konstitusional.
 
Dalam sejumlah literatur diriwayatkan bahwa selama di Mekkah, Abdul Chalim telah memiliki pandangan moderat, visioner, dan namun sering mengkritisi kebijakan penjajah yang merugikan rakyat.
 
Pada 1917, Abdul Chalim kemudian pulang ke Majalengka untuk membantu orang tuanya meringankan penderitaan warga pribumi atas kekejaman pemerintah kolonial.
 
Selanjutnya pada tahun 1922, Abdul Chalim berkelana dari Majalengka ke Surabaya dengan berjalan kaki selama 14 hari untuk bertemu rekan seperjuangannya.
 
Ketika di Surabaya, ia lantas berjumpa kembali dengan K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Keduanya kemudian membentuk Komite Hijaz guna mengorganisasikan ulama-ulama di Jawa dan Madura demi mencapai kemerdekaan Indonesia.
 
Tokoh dari Majalengka itu langsung menulis surat undangan agar para ulama tersebut menyempatkan hadir dalam pertemuan Komite Hijaz pada 31 Januari 1926. Hasilnya, 65 ulama hadir dalam pertemuan tersebut dan bersepakat dengan tujuan yang sama yakni mencapai kemerdekaan Indonesia.
 
Pertemuan itu menjadi cikal bakal berdirinya Pengurus Besar NU dengan K.H. Hasyim Asyari sebagai Rais Aam dan Abdul Wahab Hasbullah sebagai Katib awal, dan Abdul Chalim didaulat menjadi Katib Tsani (sekretaris kedua).
 
Semasa hidupnya, Abdul Chalim selalu mengabarkan perkembangan dan situasi terbaru dalam perlawanannya terhadap penjajah kepada masyarakat Majalengka. Informasi itu disalurkan lewat koran Soeara Nahdatoel Oelama.
 
Seiring berjalannya waktu, tokoh tersebut menyumbangkan gagasan, tenaga, dan pemikiran untuk melepaskan belenggu umat dari cengkeraman penjajah.
 
Berkat kiprahnya tersebut, ia dikenal sebagai Muharrikul Afkar yang bermakna penggerak dan pemantik semangat perjuangan.
 
Selama bertahun-tahun mengabdikan diri memperjuangkan kemerdekaan republik, Abdul Chalim akhirnya tutup usia di Leuwimunding, Majalengka, pada 12 Juni 1972.
 
 
Dianugerahi Pahlawan Nasional
 
Nilai-nilai patriotisme dan perjuangan untuk memajukan Indonesia rupanya tetap terwariskan dan ditanamkan kepada anak-cucu Abdul Chalim.
 
Di mata keluarga besarnya, Abdul Chalim dikenang sebagai sosok ulama bersahaja, tak jemawa, dan pejuang yang selalu mengedepankan kepentingan bangsa.
 
“Abah adalah pejuang kemerdekaan yang penuh semangat. Salah satu pelajaran berharga yang ia wariskan tentang pentingnya berjuang dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan,” kata Ade Toyibah (50), salah satu cucu Abdul Chalim, kepada ANTARA.
 
Ade mengungkapkan bagaimana semangat ini memotivasi Abdul Chalim selalu terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan dalam salah satu kisah yang ia dengar, kakeknya harus berpindah-pindah tempat dan menyamar agar tidak terdeteksi oleh penjajah.
 
Perjuangan itu sering kali membuat orang-orang yang ikut bersama Abdul Chalim turut bersembunyi di hutan dan gunung, atau bahkan melompat ke sungai untuk menghindari kejaran penjajah.
 
Meskipun tidak pernah bertemu langsung dengan sang kakek, Ade merasa bangga dengan nilai-nilai perjuangan yang wariskan.
 
Ade bangga karena akhirnya kakeknya, K.H. Abdul Chalim, ditetapkan sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Penganugerahan Pahlawan Nasional KH Abdul Chalim Leuwimunding yang diserahkan oleh Presiden Jokowi kepada keluarga besar tersebut di Istana Negara, Jakarta, Jumat (10/11/2023). ANTARA/Dokumentasi pribadi
 
Sebelumnya, pamannya, Prof. Dr. K.H. Asep Saifuddin Chalim, telah bekerja keras mengurus semua dokumen yang diperlukan guna penganugerahan ini sejak Maret 2023.
 
“Sejak kecil anak-cucu Abah selalu dididik untuk tidak mudah frustrasi, jangan mudah menyerah,” ungkap Ade.
 
Sementara Bupati Majalengka Karna Sobahi, menyambut baik penyematan gelar Pahlawan Nasional kepada Abdul Chalim Leuwimunding.
 
Hal itu adalah hadiah terbaik untuk masyarakat Majalengka, Jawa Barat, dalam peringatan Hari Pahlawan ke-78, yang bisa memotivasi mereka meneladani perjuangan tokoh ini.
 
Ada dua tokoh asal Majalengka yang diakui sebagai Pahlawan Nasional. Tokoh lainnya yakni K.H. Abdul Halim yang merupakan salah seorang pendiri Persatuan Umat Islam (PUI).
 
Dari perjuangan dua tokoh besar Majalengka itu, masyarakat dapat menyerap teladan agar selalu berkontribusi dalam memperjuangkan kebaikan bagi daerah, bangsa, dan negara.










 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023