Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah industri pupuk urea dan non urea terancam collapse atau bangkrut, karena rugi dan kesulitan cash flow akibat beban public service obligation (PSO) yang tinggi dan pasokan gas yang tidak lancar sehingga produksi tidak optimal. "Kerugian konsolidasi bisa mencapai Rp400 miliar sampai Rp500 miliar (pada 2006)," kata Dirut PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) Dadang H Kodri yang merupakan induk BUMN pupuk pada pembahasan subsidi pupuk dengan Komisi XI DPR-RI di Jakarta, Senin. Hal itu, menurut dia, terjadi dengan asumsi PSO pupuk bersubsidi pada 2006 mencapai sekitar Rp1,2 triliun atau turun dari dari proyeksi semula sekitar Rp1,7 triliun. "Turunnya (kerugian) terjadi karena nilai tukar yang menguat. Pada APBN kurs ditetapkan Rp9.900 per dolar AS, tapi sekarang rupiah sudah menguat," ujarnya. Sedangkan penjualan komersial pupuk di sektor non pangan, Dadang memperkirakan mencapai sekitar Rp800 miliar. Angka-angka tersebut berdasarkan asumsi jumlah pupuk urea bersubsidi mencapai 4,3 juta ton dan non urea sebesar 1,7 juta ton, dengan asumsi subsidi pupuk urea dihitung berdasarkan subsidi gas, dan non urea berdasarkan subsidi harga. Menurut Dadang, dengan pola subsidi gas untuk pupuk urea saat ini, kalangan industri pupuk urea mengalami kesulitan cash flow karena harga produksi menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan harga jual, yang harus ditanggung perusahaan. Dikatakannya, penurunan kerugian atau kesulitan cash flow sebenarnya bisa sedikit ditekan, bila produsen pupuk bisa menjual lebih banyak ke sektor perkebunan dan industri yang pupuknya tidak disubsidi. Namun, hal itu juga sulit diharapkan, mengingat permintaan pupuk urea bersubsidi juga meningkat, sementara industri pupuk menghadapi masalah pasokan gas yang tidak pasti, sehingga kinerja produksi terganggu. Sejumlah industri yang mengalami gangguan pasokan gas, tahun ini, menurut Dadang, antara lain PT Petrokimia Gresik (Petrogres) yang pasokan gasnya terus berkurang, bahkan terancam terhenti pada Oktober 2006. "Setiap perusahaan kondisinya tidak sama, yang terberat tentu yang harga gasnya mahal dan memiliki proyek baru, karena mereka harus bayar depresiasi utang," ujarnya. Ditambahkan Dirjen Industri Agro dan Kimia (IAK) Deperin Benny Wahyudi, kondisi itu mengancam kelangsungan industri pupuk di dalam negeri, termasuk ancaman pabrik akan tutup. "Pemupukan dana sangat terbatas, sehingga tidak tersedia dana yang cukup untuk pemeliharaan pabrik yang optimal, replacement, maupun untuk memenuhi persyaratan stand by letter of credit (SBLC) dalam pembelian gas bumi," ujarnya. Pada satu sisi pula, Benny mengungkapkan bahwa sebagian pabrik pupuk yang dimiliki BUMN tersebut, sudah berusia di atas 20 tahun (Pusri II, III, dan IV, Kujang IA, serta Kaltim I dan II), yang perlu diganti agar produksi tidak terganggu. Untuk itu, pihaknya merekomendasikan antara lain mengubah subsidi urea dari subsidi gas ke subsidi pupuk, memprioritaskan pasokan gas bumi untuk industri pupuk, mengembangkan kapasitas produksi pupuk urea, serta kaji kembali jumlah kebutuhan pupuk subsidi mengingat sejumlah daerah meminta tambahan alokasi pupuk bersubsidi.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006