Jakarta (ANTARA News) - Komisi VI DPR meminta pemerintah segera menyelesaikan tunggakan Kredit Usaha Tani (KUT)sebesar Rp5,749 triliun dengan keputusan yang pasti. Demikian kesimpulan hasil rapat kerja antara Komisi VI DPR dengan Kementerian Koperasi (Kemenkop) dan UKM di Jakarta, Selasa yang dibacakan oleh pimpinan rapat Wakil Ketua Komisi VI DPR Agus Hermanto. Sehubungan dengan hal tersebut, kata Agus, Komisi VI DPR akan bekerja sama dengan Kementerian Koperasi dan UKM merumuskan keputusan penyelesaian yang dapat diimplementasikan. Rumusan tersebut akan diserahkan kepada Presiden sebagai bahan pertimbangan. Anggota Komisi VI DPR Azwir Dainitara mengusulkan penyelesaian tunggakan KUT dengan cara hapus tagih bagi peminjam (petani) yang terkena puso (gagal panen). Tetapi bagi peminjam yang sengaja melakukan penipuan atau tidak membayar harus diproses secara hukum. Sementara bagi petani yang sudah melunasi utangnya dan mengangsur sebagian, harus diberikan kompensasi. Misalnya, diberikan pinjaman baru dengan jumlah sesuai dengan uang yang sudah dikeluarkan untuk membayar utang tersebut. "Itu usul saya sebagai wakil rakyat, agar menyelesaian ini benar-benar adil," kata Azwir. Menteri Koperasi dan UKM Suryadharma Ali menjelaskan pada tahun 1998 pemerintah melalui bank koordinator mengucurkan kredit sebesar Rp8,1 triliun. Data Bank Indonesia per Juni 2005 tunggakan KUT masih sebesar Rp5,749 triliun. Dalam penyaluran KUT periode 1998/1999 tersebut pemerintah menunjuk tiga bank penyalur, yaitu BRI (koordinator), BNI, dan Bank Danamon. Dana tersebut disalurkan ke petani melalu koperasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Menurut Suryadharma Ali, lambatnya penyelesaian tunggakan KUT, karena pemerintah memiliki pertimbangan-pertimbangan yang luas yang harus diperhitungkan. Misalnya, penyelesaian dengan cara hapus tagih. Tetapi, cara ini dinilai akan menimbulkan ketidakadilan terhadap para petani (peminjam) yang sudah melunasi dan telah mengangsur sebagian utangnya. Selain itu, ada keinginan melakukan proses hukum bagi peminjam yang sama sekali tidak membayar. Namun, hal ini terganjal masalah data, karena banyak koperasi peminjam sudah bubar. Dia mengakui, pada saat KUT diluncurkan pada tahun 1998 banyak koperasi berdiri yang tujuannya semata-mata untuk mendapatkan KUT. Namun setelah mendapatkan kredit, koperasi tersebut membubarkan diri. Di samping itu, banyak juga nama-nama peminjam fiktif. "Yang seperti ini bagaimana proses hukumnya," katanya. Karena itu, lanjutnya, Komisi VI DPR melalui Panja (Panitia Kerja) KUT bekerjasama dengan Kemenkop dan UKM akan merumuskan keputusan penyelesaian tunggakan tersebut. Namun, keputusan tetap berada di tangan pemerintah (Presiden). Deputi Produksi Kementerian Koperasi dan UKM Muzni A Djalil mengatakan, penyelesaian tunggakan KUT melalui hapus tagih merupakan cara yang paling realistis karena lembaga penyalur dan data individu debitor KUT tidak mudah dikumpulkan. "Semua sudah berubah. Pengurus koperasinya sudah ganti, pejabat-pejabat dinasnya juga berubah. Struktural dinas juga berubah. Kalau ditelusuri lagi, membutuhkan waktu yang sangat lama," kata Muzni.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006