buah dari tafakur setiap saat ini adalah kita bersama-sama saling menjadi peraga sifat-sifat Tuhan di Bumi, khususnya sifat kasih sayang.
Bondowoso (ANTARA) - Mendengar kata tasawuf, bayangan kita mungkin langsung ke sekelompok orang di sebuah pesantren yang sedang zikir bersama.

Dalam istilah lain, hal yang dibahas dalam kelompok tasawuf biasanya disebut "ilmu tua" yang gurunya menjauhi keramaian. Karena itu untuk bertemu guru tasawuf ini kita harus datang ke pelosok, bahkan mungkin di tengah hutan. Si guru dan murid-muridnya adalah golongan orang-orang yang menjaga jarak dengan hiruk pikuk dunia, bahkan anti dengan perangkat teknologi terkini.

Jika kita rajin mengintip media sosial penyedia konten video dengan memasukkan kata kunci "kesadaran murni", kita akan bertemu guru-guru tasawuf yang modern. Mereka berada dan beraktivitas di kota, termasuk di Kota metropolitan Jakarta atau Surabaya, dan kota-kota besar lainnya.

Tasawuf saat ini sudah menjamur di perkotaan. Guru dan murid yang belajar tasawuf itu sama-sama berasal dan tinggal di kota. Asumsi kuatnya, fenomena itu terjadi karena masyarakat perkotaan sudah jenuh dengan rutinitas pekerjaan dan muncul kesadaran bahwa yang mereka kejar selama ini tidak memuaskan dahaga jiwanya.

Beberapa di antaranya menunjukkan bahwa mereka tidak menemukan kadamaian sejati lewat pengamalan agama yang hanya menekankan ritual formalistik. Mereka kemudian menemukan oasis damai yang lebih mendalam ketika belajar tasawuf, meskipun bukan dalam pengertian yang formalistik juga.

Hal yang menarik dari fenomena tasawuf urban ini adalah, mereka belajar menemukan Tuhan lewat pemahaman-pemahaman mendalam mengenai siapa sejatinya manusia yang di awal penciptaan, yakni saat Adam diciptakan, makhluk paling mulia ini dibangga-banggakan oleh Allah Swt. di hadapan malaikat.

Beberapa guru tasawuf yang memilih pengajaran praktis lewat pemahaman siapa sejatinya manusia itu, antara lain, Ustadz Pardamean Harahap atau Ustadz (Bang) Dame, dan Ustadz Romo Yusuf Daud Risin.

Tidak jarang keduanya berada dalam satu panggung untuk membimbing para pembelajar menuju perjumpaan dengan Allah, lewat pemahaman-pemahaman awal, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan bil-ilmi. Mereka menggunakan teknologi terkini, khususnya lewat saluran pertemuan Zoom, untuk berbagi ilmu ini. Dengan cara ini, maka persebarannya juga lintas wilayah, bahkan negara.

Kabar baik dari fenomena ini adalah agama tidak menjadi penghalang untuk bersaudara, bersahabat, bahkan belajar spiritualisme lintas agama dalam satu forum. Bang Dame, misalnya, tidak jarang pesertanya dari agama non-Islam. Mereka tidak keluar dari agama lamanya kemudian memeluk agama baru dan belajar tasawuf. Mereka tetap dengan iman asalnya, namun menemukan makna kehadiran Tuhan secara mendalam dengan belajar kajian tasawuf.

Demikian juga dengan Ustadz Romo Yusuf Daud. Dari penyebutannya, mungkin sudah terlihat aneh ketika seorang ustadz sekaligus menyandang julukan romo, yang istilah ini familiar di kalangan umat Kristiani.

Yusuf Daud adalah tokoh yang lahir di kota besar, yakni Surabaya, kemudian besar di Jakarta. Ia kemudian menempuh pendidikan agama di Pondok Modern Gontor, Darussalam Ponorogo, Jawa Timur. Ia merupakan satu-satunya orang Islam yang mendapatkan beasiswa dari Vatikan untuk belajar di Roma. Meskipun belajar di institusi Katolik, itu tidak mengubah imannya sebagai pemeluk Islam.

Takdir membawanya menempuh pendidikan di Vatikan adalah berkat dari diskusi intensif Yusuf dengan seorang biarawati Katolik asal India yang tinggal di Jakarta.

Munculnya tokoh Yusuf dan Bang Dame ini menampilkan agama tidak lagi menjadi sekat, apalagi menjadi alasan untuk melihat pemeluk agama lain sebagai ancaman atau musuh.

Pembelajar tasawuf ini bertemu di jalan yang sama bahwa Tuhan itu Mahacinta dan kasih. Mereka bertemu dalam pemahaman bahwa alam semesta ini diciptakan sebagai konsekuensi dari cinta kasih dari Tuhan.

Satu lagi, Aswar, pemuda asal Muna, Sulawesi, juga menjadi bagian dari tokoh yang menyebarkan nilai-nilai agama sebagai penyejuk. Agama yang esensinya menjadi rahmatan lil alamin, betul-betul ditelusupkan ke sanubari umat, bukan dengan teriak-teriak dan menafsirkan pemeluk agama di luar Islam sebagai kafir. Kafir, sebagaimana dijelaskan oleh Emha Ainun Najib (Cak Nun) adalah mereka yang hatinya ditutupi (covered) oleh hawa nafsu atau ego.

Aswar, bahkan tidak jarang masuk ke kampus-kampus berbasis Islam, khususnya yang memiliki jurusan tasawuf. Ia memilih pijakan ilmiah dalam kajiannya, menggunakan buku "Power Vs Forse", hasil penelitian 20 tahun dan disertasi dari ahli psikologi David R. Hawkins, Ph.D.

Dalam konteks keindonesiaan, fenomena ini menjadi modal besar untuk menyongsong bangkitnya Nusantara, sebagaimana pernah dialami oleh kerajaan masa lalu, yakni Sriwijaya dan Majapahit yang membanggakan itu.

Dengan mendalami tasawuf ini, energi kolektif bangsa tidak lagi terkuras untuk saling menghujat satu sama lain. Kita bergandeng tangan membangun peradaban tinggi, dengan pegangan energi cinta Ilahi, yang sering diributkan karena penyebutannya berbeda. Padahal, hakikat Tuhan yang tunggal itu tidak berbeda. Tuhan disembah oleh pemeluk agama berbeda adalah yang Esa itu, meskipun berbeda dalam penyebutan.


Tazkiyatun nafs

Hal yang ditekankan dalam praktik tasawuf adalah ikhtiar terus-menerus untuk membersihkan jiwa atau tazkiyatun nafs. Bang Dame menyebutnya sebagai self enquiry atau menyelidik ke dalam diri dalam setiap mengalami kenyataan apapun.

Jalan praktisnya sangat mudah. Cukup menyadari reaksi spontan jiwa terhadap fenomena yang muncul di hadapan kita. Misalnya, kita berhadapan dengan seseorang yang menyulut jiwa kita marah, segera sadari bahwa kita sedang marah. Kemudian gunakan wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad, yakni Ayat 1-5 Surat Al-Alaq. Pada ayat 1 ada perintah untuk membaca dengan (menyebut) nama Tuhan.

Proses tazkiyatun nafs itu ibarat melatih otot jiwa agar kuat untuk terus berada di jalur Cahaya Ilahi. Sebagaimana otot fisik, otot jiwa itu harus dilatih terus menerus dalam setiap keadaan, sehingga menjadi jalan hidup. Dengan demikian, kita tidak akan mudah terjerat dalam perangkap ego.

Perjalanan rohani dalam tazkiyatun nafs tidak melulu dengan menjalankan ritual yang diajarkan dalam agama, melainkan dilatih setiap saat. Kalau dalam bahasa agama disebut tafakkur atau kontemplasi. Dalam tradisi agama lain ada laku meditasi yang esensinya sama dengan tafakur yang oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai perbuatan yang lebih baik dari ibadah seribu tahun.

Bukan berarti menafikan ritual yang sudah distandarkan dalam agama. Pelajaran ini mengajak umat agar dalam semua aktivitas keseharian tidak melupakan kesadaran bahwa Allah itu dekat. "Allah, lebih dekat dari urat leher". Suasana jiwa ketika menjalani ritual wajib, seperti shalat atau puasa, harus kita bawa dalam semua keadaan.

Dengan selalu menjaga kesadaran ketersambungan kita dengan Allah, maka kita terlatih betul-betul menjadi Khalifah fil ardl atau wakil Allah di Bumi.

Alih-alih berebut merasa paling benar, buah dari tafakur setiap saat ini adalah kita bersama-sama saling menjadi peraga sifat-sifat Tuhan di Bumi, khususnya sifat kasih sayang.

Kita akan saling berjumpa dengan orang-orang yang sibuk melihat ke dalam diri dan bertanya apakah saat ini kita sudah menjadi alat Tuhan untuk menebar rahman rahim, bukan hanya kepada manusia, tapi untuk seluruh alam. Dengan ini, bangsa kita akan mengejawantahkan ajakan agama untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan berebut kebenaran alias merasa paling benar.

Kenyataan ini juga menjadi modal kuat bangsa menghadapi realitas perbedaan, termasuk memasuki tahun politik tahun 2024. Satu sama lain saling memeragakan kasih sayang. Indahnya kehidupan.



 

Copyright © ANTARA 2023