Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengatakan bahwa budaya dan pola pikir masyarakat memainkan peran penting untuk menjaga piramida penduduk tumbuh seimbang.

“Bicara angka kelahiran total (TFR) kita juga bicara geografi kita yang sangat jauh. Akses dan segala macam, jadi TFR ini ada berbagai macam penyebab kenapa berbeda-beda,” kata Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Bonivasius Prasetya Ichtiarto di Jakarta, Sabtu.

Boni menuturkan salah satu penyebab angka TFR yang tidak merata disebabkan oleh adanya pengaruh budaya dan pengetahuan masyarakat. Di Jawa misalnya, penduduk di sana pada mulanya mempercayai bahwa semakin banyak anak, semakin banyak pula rezeki yang dimiliki sebuah keluarga.

Namun setelah pemerintah dan BKKBN melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) di media bahwa semakin banyak anak akan menimbulkan banyak risiko berbahaya seperti stunting, bila tidak bisa merawatnya dengan baik, pandangan itu secara perlahan mulai berubah.

Penyebab lain TFR tidak merata adalah rendahnya akses pada pemakaian alat kontrasepsi. Bergeser ke daerah lainnya yakni di pegunungan atau pedalaman, akses masyarakat untuk bisa memakai kontrasepsi masih sulit karena terhalang jarak atau tidak adanya pihak yang bisa mengakomodasi kebutuhan itu.

Hal itu memicu pasangan-pasangan yang sebenarnya belum siap memiliki anak atau menambah anak, justru mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy) karena tidak adanya pengaman yang bisa digunakan.

“Kemudian ada budaya lain yang lebih, mohon maaf, mungkin hubungan seksual itu semacam rekreasi bagi mereka, karena tidak ada rekreasi yang lain. Padahal kalau kita bicara (seks sebagai) rekreasi tidak-apa-apa, itu bagian dari normal dan natural, tapi harus disiapkan juga kontrasepsi seperti kondomnya,” ujarnya.

Baca juga: BKKBN sosialisasi stunting di Kepri lewat tukar telur dan tiket film

Beruntungnya, kata Boni, saat ini dengan sosialisasi yang masif dan adanya kemajuan teknologi yang dapat menjangkau daerah-daerah lain, masyarakat sampai yang tinggal di pedalaman pun dapat teredukasi secara perlahan.

Berbagai mitos soal alat kontrasepsi yang dijadikan upaya untuk menjaga penduduk tetap seimbang, kini bisa diterima oleh masyarakat. Misalnya, terkait mitos yang mengatakan pemakaian susuk atau implan membuat ibu menjadi sakit.

“Dulu iya sakit karena butuh tiga jarum masuk, kesatu, kedua tidak ada masalah, ketiga sakit. Sekarang (sudah ada inovasi) jadi susuknya hanya satu, pasang dan selesai. Sekarang sudah berubah, kalau saya rasa sudah tidak terjadi lagi ketakutan-ketakutan seperti itu, jadi lebih ke (ketersediaan)_ layanan,” kata Boni.

BKKBN sendiri melalui pendirian Kampung Keluarga Berkualitas (Kampung KB), juga terus mendorong seluruh siklus hidup individu dalam keluarga jadi lebih berkualitas, serta dijadikan wadah untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk dengan kegiatan yang produktif seperti bertanam hingga olah raga, sambil disisipkan pentingnya pembangunan keluarga yang direncanakan.

Dengan demikian, Boni berharap supaya edukasi yang masif dan kebijakan yang dibuat oleh kementerian/lembaga terkait bisa diimplementasikan pada masyarakat sampai tingkat terbawah.

“Kementerian lain juga mulai aktif. Kementerian Desa misalkan, mereka punya banyak program-program di desa yang bisa mengaktifkan kegiatan yang ada di desa, dengan berbagai macam level umur khususnya,” ujar Boni.

Baca juga: BKKBN sebut aturan untuk jaga TFR ideal tak bisa dipukul rata
Baca juga: Kepala BKKBN: Angka kelahiran total di Indonesia alami disparitas


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023