Saudi telah menjadi tambatan untuk klub-klub sepak bola Eropa dalam berkelit dari ketentuan Financial Fair Play, dalam soal transfer pemain.
Jakarta (ANTARA) - Dari daftar 50 atlet termahal di dunia yang dikeluarkan majalah Forbes pada 2023, tujuh di antaranya adalah pegolf yang aktif mengikuti LIV Golf Tour, seri turnamen golf yang didirikan dan didanai Arab Saudi.

Di puncak daftar itu ada pesepakbola Cristiano Ronaldo dan petinju Anthony Joshua.

Kedua atlet itu juga terkait erat dengan Arab Saudi. Kini Ronaldo bermain untuk klub Al Nassr di Liga Saudi, sedangkan Joshua menjadi atlet top dunia pertama yang meramaikan pasar olahraga Saudi.

Mereka menjadi contoh nyata untuk fakta bahwa fulus Arab Saudi perlahan mengubah wajah olahraga global.

Saudi bahkan sudah menjadi alternatif menarik untuk atlet-atlet hebat Eropa yang hendak meneruskan karir. Dalam banyak hal Saudi sudah menyisihkan China sebagai pelabuhan berikutnya untuk pesepakbola Eropa. Bahkan perlahan menyaingi Amerika Serikat.

Saudi telah menjadi tambatan untuk klub-klub sepak bola Eropa dalam berkelit dari ketentuan Financial Fair Play, dalam soal transfer pemain.

Banyak pemain besar yang hendak dijual oleh klub mereka, tapi kesulitan mendapatkan pembeli karena harga yang kelewat tinggi. Mereka dilarang menjual pemain di bawah harga pasar, karena bisa melanggar aturan Financial Fair Play.

Chelsea menjual Kalidou Koulibaly dan Edouard Mendy kepada dua klub Saudi seharga total 33 juta pound.

Menurut laporan The Athletic, Liverpool juga begitu. Jordan Henderson kabarnya sudah sepakat dengan Al Ettifaq, sedangkan Fabinho tengah didekati Al Ittihad.

Dua pemain itu berharga tinggi tetapi sudah tak lagi masuk rencana pelatih Jurgen Klopp. Masalahnya, Liverpool sulit mencari calon pembeli karena harga dua pemain itu terlampau tinggi.

Dulu, Liverpool biasa menggandeng klub-klub besar Eropa lainnya, seperti saat melepas Philippe Coutinho kepada Barcelona pada 2018 yang membuat The Reds bisa merombak skuad dengan mendatangkan Virgil van Dijk dan Allison, yang kemudian mengubah peruntungan Liverpool.

Tetapi kini klub-klub Inggris mendapati Barcelona, Real Madrid dan klub-klub besar lainnya dalam kondisi yang sulit menawar pemain-pemain mereka.

Kesulitan itu dirasakan pula oleh pemain sampai memaksa Ruben Neves meninggalkan Wolverhampton Wanderers untuk bergabung bersama Al Hilal dalam bayaran 55 juta euro, padahal gelandang ini baru berusia 26 tahun yang masih dalam usia puncak karir.

Namun, uang sebanyak itu membuat Wolverhampton bisa mempermak kembali skuad tanpa was-was dianggap melanggar Financial Fair Play.

Baca juga: Campur tangan pemerintah Arab Saudi dalam arus masuk pemain bintang

Akankah situasi ini juga terjadi pada Newcastle United yang kabarnya ingin melepas Alain Saint-Maximin. Namun, seperti Jordan Henderson dan lain-lain, harga striker itu terlalu mahal, baik untuk klub Inggris maupun klub luar Inggris.

Menjual pemain ke Saudi adalah jalan ke luarnya, tapi siapa yang bisa menjamin pembelinya tak ada kaitan dengan Public Investment Fund (PIF) yang merupakan lembaga dana pemerintah Saudi dan pemilik Newcastle.

Tapi semua itu tak menghilangkan fakta bahwa uang Saudi sudah menjadi solusi untuk klub-klub Eropa.

Manchester United sempat kesulitan mencari pembeli Ronaldo ketika klub ini menghadapi dilema dalam memperpanjang kontrak pemain Portugal itu karena gaji yang terlampau tinggi. Saudi lalu menjadi solusi baik untuk United maupun Ronaldo sendiri.

Lionel Messi nyaris memasuki situasi seperti Ronaldo. Namun, megabintang Argentina itu memilih Major League Soccer di Amerika Serikat dan berani membuang kesempatan menjadi pemain termahal sepanjang masa.


Kiblat baru olahraga

Kendati Saudi gagal mendapatkan Messi, manuver-manuver mereka dalam sepakbola dan olahraga umumnya, tak diragukan lagi telah menggetarkan "iman" klub, penyelenggara turnamen, dan pemain.

Fulus Saudi yang tak akan habis dimakan tujuh generasi itu tak saja mengusik kemapanan kompetisi olahraga global, tetapi memberi kesempatan kepada atlet untuk lebih kaya atau semakin kaya.

LIV Golf adalah contohnya. Turnamen golf ini didanai oleh PIF si pemilik Newcastle.

Banyak yang menilai LIV Golf adalah tempat "mencuci" kesalahan Saudi dalam soal hak asasi manusia dan sejenis itu. Yang lain menilainya sebagai salah satu cara Saudi dalam menaikkan citra positifnya di mata dunia.

LIV Golf awalnya ditolak para legenda seperti Greg Norman dan Tiger Woods, tapi akhirnya terselenggara juga, karena pegolf-pegolf besar lainnya seperti Dustin Johnson, Bryson DeChambeau dan Brooks Koepka bersemangat mengikutinya, apalagi nilai hadiahnya lebih dari dua kali lipat yang ditawarkan PGA Tour.

Kini, ada wacana menyatukan LIV Golf dengan PGA Tour dan European Tour. Perkembangan ini kian membuktikan sulit melawan kekuatan uang Saudi, yang sama sulitnya dengan mengimbangi tekad Saudi dalam memberi warna baru kepada olahraga global.

Baca juga: Chelsea gaet talenta muda asal Brazil Angelo Gabriel dari Santos

Olahraga sendiri menjadi bagian dari banyak matra kehidupan yang ingin dimodernisasi oleh Saudi lewat Visi Saudi 2030.

Penguasa de facto mereka, Pangeran Muhammad bin Salman yang biasa disapa MBS, menginginkan Saudi yang lebih modern, terbuka, dan tak hanya menggantungkan diri kepada minyak. Pariwisata dan olahraga adalah dua dari banyak sektor yang dibidik pangeran muda nan progresif itu.

Upaya agresif Saudi dalam menghadirkan turnamen-turnamen besar, membuat turnamen yang sama hebatnya dengan yang sudah ada, dan caranya dalam memikat olahragawan global agar berkompetisi di Saudi, membuahkan hasil positif.

Menurut laporan The Guardian pada 8 Juni 2023, tahun depan Saudi diprediksi meraup keuntungan 3,3 miliar dolar AS dari acara-acara besar olahraga. Angka itu 8 persen lebih besar ketimbang nilai 2018 yang mencapai 2,1 miliar dolar AS.

Tak hanya itu, warga Saudi juga menyambutnya dengan antusias, sampai atlet-atlet besar seperti petinju Anthony Joshua merasakan kegembiraan sejati nan paripurna dari para penikmat olahraga di Saudi.

Baca juga: Arsenal resmi umumkan transfer Declan Rice dari West Ham United

Dari sini, MBS sepertinya sudah benar dalam membuka jalan lain bagi Saudi. Tak heran, MBS jalan terus dengan rencana-rencana besarnya dalam Visi Saudi 2030.

Dia tak ambil pusing dengan kritik Barat mengenai pelanggaran HAM dan sejenisnya, malah mungkin bilang, "anjing menggonggong kafilah tetap berlalu".

Kritik-kritik itu acap hipokrit yang bahkan juga disampaikan oleh para atlet dan badan-badan olahraga profesional dunia.

Di Inggris misalnya, atlet-atlet keheranan mengapa pemerintahnya sensitif dalam soal itu, ketika saat bersamaan gencar mengekspor senjata bernilai miliaran dolar AS ke Saudi dan agresif menarik modal masuk dari Saudi.

Alhasil, hipokrasi ini justru membuat Saudi makin agresif. Dan ini dirasakan kalangan elite olahraga global, salah satunya pegolf Rory McIlroy yang menilai Saudi tak akan berhenti meramaikan panggung dan industri olahraga global.

"Pada akhirnya uang yang berbicara," kata McIlroy.

Tapi memang tak ada tanda-tanda Saudi mengendurkan manuver dalam membangun citra lewat ekspansi soft power di arena-arena olahraga.

Keberhasilan negeri dalam menawarkan atmosfer turnamen atau kompetisi yang menarik, dari Formula 1 dan Reli Dakar sampai sepak bola dan kriket, justru membuat Saudi berubah menjadi terlampau seksi untuk diabaikan, sampai superstar seperti Ronaldo pun bersedia tinggal lama di sana.

Suatu saat nanti, apalagi jika perhelatan akbar semacam Olimpiade dan Piala Dunia FIFA digelar di Saudi, negara penjaga tempat suci Mekah dan Madinah itu bisa menjadi salah satu kiblat olahraga global dan kutub baru modernitas yang sangat ingin didatangi dan digandeng oleh siapa pun.

Copyright © ANTARA 2023