Istanbul (ANTARA News) - Koalisi oposisi Suriah pada Senin menggelar pertemuan di Istanbul, Turki, untuk memilih perdana menteri pertama mereka, yang tugasnya akan memimpin wilayah yang bebas dari pasukan pemerintah namun diliputi kekacauan dan kemiskinan.

Seorang mantan pejabat pertanian Suriah, seorang pakar ekonomi dan seorang tokoh bidang komunikasi memimpin persaingan menjelang pemungutan suara yang akan diselenggarakan oleh Koalisi Nasional Suriah.

Pemilihan perdana menteri tersebut diharapkan oleh semua pihak terkait bisa mengubah haluan perang saudara di Suriah.

Tugas pertama perdana menteri oposisi nantinya adalah membentuk sebuah pemerintahan sementara.

Pemerintah kemungkinan akan berpusat di dalam wilayah-wilayah Suriah yang bebas dari kekuasaan Damaskus.

Keberadaan perdana menteri diharapkan sebagian pihak akan meningkatkan kredibilitas oposisi di mata dunia internasional serta reputasi mereka di antara sesama kalangan penentang rezim yang berkuasa.

Namun, pemerintahan gerilyawan akan mengurangi peluang melakukan pembicaraan dengan rezim Presiden Bashar al-Assad, seperti yang diusulkan pemimpin Koalisi Moaz al-Khatib pada Januari lalu.

"Rezim telah menolak proses negosiasi, jadi hal itu tidak menjadi pertimbangan untuk saat ini," kata juru bicara Koalisi, Khaled al-Saleh.

Surat kabar harian pro-Bashar al-Assad, Al Watan, langsung menyerang upaya Koalisi untuk membentuk sebuah pemerintahan, dengan menyebut upaya itu sebagai tindakan "mengigau dan membingungkan".

"Pihak koalisi sekali lagi telah memperlihatkan bahwa mereka tidak realistis dan tidak melihat perkembangan di lapangan," ujar koran itu.

Pemimpin Tentara Suriah Merdeka, Selim Idriss, mengatakan mereka akan mendukung dan "bekerja di bawah payung pemerintahan ini".

Ia bersikeras bahwa pemerintahan sementara hanya akan menjadi "pemerintah sah satu-satunya" dan memimpin seluruh Suriah, dan tidak hanya wilayah-wilayah yang bebas dari pasukan rejim.

"Lembaga apa pun yang tidak mengikuti pemerintahan ini akan dianggap bekerja secara tidak sah dan akan dihukum," kata Idriss kepada AFP.

Idriss juga mengulang desakan kepada Barat untuk mempersenjatai para gerilyawan.

Koalisi memperingatkan tidak ada jaminan bahwa pemungutan suara untuk memilih perdana menteri akan berlangsung sesuai jadwal karena proses tersebut sebelumnya mengalami penundaan.

Di lapangan, terdapat pandangan terpecah, yaitu antara para warga yang sangat berharap mendapatkan pelayanan-pelayanan dasar serta aturan hukum dan mereka yang merasa bahwa Koalisi tersebut tidak pantas memilih pemerintahan yang kompeten.

Koalisi yang memiliki 73 anggota itu akan menggelar pemungutan suara awal dan ditindaklanjuti dengan persaingan antar dua kandidat dengan perolehan suara terbanyak.

Pemenang kemudian akan membentuk kabinet, yang harus mendapat persetujuan dari Koalisi, demikian seperti yang dilaporkan oleh AFP.

Penerjemah : Tia Mutiasari

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2013