Tahun Baru Hijriah diperingati sebagai momen hijrahnya Rasulullah SAW (shallallahu 'alaihi wa sallam) dari Mekah ke Madinah untuk berdakwah secara terang-terangan.
Jakarta (ANTARA) - Tidak lama lagi, miliaran umat Islam di seluruh penjuru dunia akan merayakan Tahun Baru Hijriah, atau yang dikenal sebagai Tahun Baru Islam.
 
Tahun Baru Hijriah diperingati sebagai momen hijrahnya Rasulullah SAW (shallallahu 'alaihi wa sallam) dari Mekah ke Madinah untuk berdakwah secara terang-terangan.
 
Dalam sistem penanggalan kalender Hijriah, Bulan Muharram ditetapkan sebagai bulan pertama, diikuti dengan Safar, Rabiulawal, Rabiulakhir, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rajab, Syakban, Ramadhan, Syawal, Zulkaidah, dan ditutup dengan Zulhijah.
 
Bulan Muharram secara bahasa berasal dari kata harrama, dalam Bahasa Arab yang berarti diharamkan, yang dimaknai oleh umat Muslim pada zaman nabi untuk tidak boleh berperang di bulan tersebut.
 
Bulan Muharram juga merupakan bulan yang spesial, karena Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa terdapat empat bulan haram dalam Islam, yakni Zulkaidah, Zulhijah, Muharram, dan Rajab.
   
Dalam sejarah Islam sendiri, terdapat sejumlah peristiwa penting yang terjadi pada Bulan Muharram. Imam Ghazali menyebutkan dalam kitabnya yang berjudul Mukasyafah al Qulub al-Muqarrib min 'Allam al-Ghuyub (Pembuka Hati yang Mendekatkan dari Alam Ghaib) bahwa pada hari 'Asyura (hari kesepuluh), Allah SWT (subhanahu wa ta'ala) menciptakan 'Arsy, langit, bumi, matahari, bulan, bintang, dan surga.
 
Pada bulan itu juga Nabi Adam diciptakan, bertaubat, dan dimasukkan ke dalam surga, Nabi Idris diangkat ke tempat yang tinggi, Perahu Nabi Nuh merapat ke Bukit Judi, Nabi Ibrahim dilahirkan dan diselamatkan dari api unggun Raja Namrud, dan Nabi Yaqub disembuhkan dari semua penyakitnya.
 
Selain itu, pada bulan itu pula Nabi Yusuf dikeluarkan dari penjara, Nabi Musa dan pengikutnya selamat menyeberangi lautan, Raja Firaun tenggelam di lautan, Nabi Sulaiman diberikan karunia kerajaan yang besar, Nabi Yunus dikeluarkan dari perut ikan, serta Nabi Isa dilahirkan dan diangkat ke langit.
 
Banyaknya peristiwa yang terjadi di Bulan Muharram,  membuat Rasulullah SAW  memanfaatkan momentum Bulan Muharram untuk melakukan puasa 'Asyura, sembari melakukan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
 
Maka dari itu, mayoritas umat Muslim di seluruh dunia merayakannya sebagai momen refleksi diri atas dosa-dosa dan kesalahan yang telah diperbuat satu tahun belakangan, sembari bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT.
   
Namun, tidak sedikit pula umat Muslim yang merayakannya dengan berbagai macam kegiatan, seperti halnya sejumlah umat Muslim di Mesir, yang merayakannya dengan sebuah festival dan pawai keliling kota.
 
Begitu pula dengan sejumlah umat Muslim di Indonesia yang turut meramaikan euforia Tahun Baru Hijriah dengan berbagai macam upacara dan tradisi sesuai dengan budaya yang dianut.
 
Di Pulau Jawa contohnya, terdapat sejumlah tradisi seperti Grebeg Sura di Ponorogo, Jawa Timur, Kirab Kebo Bule Satu Sura di Surakarta, Jawa Tengah, dan bahkan 10 Muharram yang umumnya diperingati dengan memakan Bubur Sura yang terdiri dari bubur berwarna merah dan putih, di sejumlah kawasan di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
 
Ketiganya memiliki kesamaan, yaitu penyematan kata Sura dalam penamaan tradisinya. Sebenarnya, apakah arti dari Sura itu sendiri?
 
Kata Sura, yang dipahami sebagai Bulan Muharram dalam Bahasa Jawa, diambil dari Bahasa Arab 'Asyura, yang berarti sepuluh, dan merujuk kepada hari ke-sepuluh di Bulan Muharram yang berarti bagi umat Islam.
 
K.H. Muhammad Sholikhin dalam bukunya yang berjudul Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010) mengatakan Sultan Agung menerapkan penanggalan Islam di Jawa dengan tetap menggunakan tahun Saka (tahun Hindu-Jawa), namun perhitungan harinya diubah menjadi sistem kamariah seperti kalender Hijriah, di mana hal tersebut merupakan ijtihad penting yang dilakukan Sultan Agung, yang menjadi simbol asimilasi budaya Islam dan budaya Jawa.
 
Hal tersebut dikarenakan terdapat keyakinan pada sebagian masyarakat Jawa, bahwa Bulan Sura adalah bulan kedatangan Aji Saka -yang konon dikenal sebagai pencipta Tahun Saka- di Tanah Jawa, untuk membebaskan Jawa dari cengkeraman makhluk-makhluk raksasa, yang menjajah manusia generasi pendahulu Aji Saka.
 
Maka dari itu, Padanan kata Sura lebih populer dibandingkan dengan Muharram di Jawa, sebab, terdapat riwayat yang mengatakan penyebutan Sura dipopulerkan oleh Sultan Agung, pada masa pemerintahan Kesultanan Mataram Islam, sebagai upaya untuk mempersatukan kaum santri dan kaum abangan.

Baca juga: Umat Islam Biak zikir bershalawat sambut Tahun Baru 2023
 
Satu kesamaan di antara berbagai ritual yang dilaksanakan pada Bulan Sura adalah niatnya, yang diutarakan untuk senantiasa bersyukur kepada Allah SWT dan diwujudkan dalam berbagai tradisi, dari kesenian hingga acara makan bersama.
 
Hingga kini, sejumlah ritual tersebut masih dilaksanakan oleh sebagian umat Islam yang mendiami Tanah Jawa.
 
Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama dalam menyikapi hal-hal terkait perayaan Tahun Baru Hijriah dengan berbagai macam ritualnya, tradisi peringatan Satu Sura yang dilakukan secara turun temurun, menjadi salah satu faktor yang menyatukan umat Muslim di Indonesia untuk dapat bersama-sama memperoleh kemerdekaannya, dan mampu mengantarkan Indonesia hingga saat ini.
 
Walakhir, berkat kegigihan para leluhur dan nenek moyang dalam upayanya untuk melestarikan budaya Bulan Sura, umat Muslim di Indonesia yang hidup pada zaman ini, dapat menikmati ragam budaya, adat istiadat, dan mewarisi budaya Bulan Sura dari leluhur, sembari merasakan faedahnya beribadah di Bulan Muharram.

Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023