Singapura (ANTARA) - Dolar AS bertahan tepat di atas level terendah lebih dari satu tahun di awal sesi Asia pada Rabu pagi, karena para pedagang menilai prospek suku bunga AS, sementara dolar Selandia Baru sempat melonjak setelah data inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan mendorong kembali lebih jauh prospek pelonggaran kebijakan.

Dolar AS berhasil naik setelah laporan penjualan ritel beragam semalam, dengan pertumbuhan penjualan meleset dari perkiraan pada Juni tetapi konsumen mendorong atau mempertahankan pengeluaran di tempat lain, menunjukkan ketahanan konsumen yang kemungkinan akan menjaga ekonomi pada jalur pertumbuhan yang solid.

Terhadap sekeranjang mata uang, dolar AS rebound dari level terendah 15 bulan di sesi sebelumnya, dengan indeks stabil di 99,943 di awal perdagangan Asia.

"(Data) menunjukkan penjualan ritel tangguh, dan saya pikir itu karena pertumbuhan upah AS masih kuat," kata Tina Teng, analis pasar di CMC Markets.

Baca juga: Dolar "rebound" dari terendah 15 bulan dipicu penjualan ritel AS kuat

Greenback telah menghentikan penurunan tajamnya dari minggu lalu setelah pembacaan inflasi AS yang lebih dingin dari perkiraan menyebabkan para pedagang menetapkan perkiraan puncak suku bunga AS akan segera terjadi.

Ekonom yang disurvei oleh Reuters memperkirakan Federal Reserve akan memberikan kenaikan suku bunga 25 basis poin pada pertemuan kebijakan mendatang bulan ini, dengan mayoritas bertaruh bahwa akan mengakhiri siklus pengetatan moneter bank sentral saat ini.

Di seberang Atlantik, pembuat kebijakan Bank Sentral Eropa (ECB) juga mengadopsi nada yang lebih dovish pada prospek suku bunga, dengan anggota dewan gubernur Klaas Knot mengatakan dalam sebuah wawancara pada Selasa (18/7/2023) bahwa ECB akan mencermati tanda-tanda penurunan inflasi dalam beberapa bulan mendatang untuk menghindari kebijakan pengetatan yang berlebihan.

Baca juga: Dolar jatuh di Asia dekati terendah 1 tahun, euro di puncak 17 bulan

Euro terakhir stabil di 1,1230 dolar, jauh dari puncak 17 bulan sesi sebelumnya di 1,1276 dolar. Sterling dibeli 1,3035 dolar, menjelang data inflasi Inggris yang akan dirilis Rabu nanti.

"Kekakuan ukuran inflasi Inggris sangat kontras dengan ukuran harga di zona euro dan AS yang telah bergerak lebih rendah," kata kepala strategi valas Rabobank, Jane Foley.

"Jika ekonomi Inggris tetap tangguh, kami perkirakan (pound) kemungkinan akan bereaksi dengan baik terhadap ekspektasi hawkish mengenai kebijakan bank sentral (Bank of England).

"Namun, jika risiko resesi meningkat di Inggris, pound dapat kembali terdorong lebih rendah di tengah kenaikan suku bunga karena investor takut pada latar belakang ekonomi Inggris secara keseluruhan dan mengurangi posisi long (pound) mereka."

Di Selandia Baru, inflasi konsumen datang sedikit di atas ekspektasi pada kuartal kedua, data yang keluar pada Rabu menunjukkan, menyebabkan lonjakan singkat pada kiwi karena para pedagang mendorong ekspektasi ketika bank sentral Selandia Baru (RBNZ) mungkin mulai memangkas suku bunganya.

Kiwi terakhir 0,25 persen lebih tinggi pada 0,6291 dolar AS, setelah melompat lebih dari 0,6 persen ke tertinggi sesi 0,6315 dolar AS setelah rilis data inflasi.

"Sementara inflasi 'lebih rendah', itu tidak 'rendah' oleh imajinasi apa pun. Yang penting, ukuran inflasi inti terus berjalan pada tingkat sekitar 6,0 persen, dan beberapa telah benar-benar meningkat pada kuartal Juni," kata Satish Ranchhod, ekonom senior di Westpac di Selandia Baru.

"Itu menunjukkan kekuatan yang tersisa dalam tekanan harga yang mendasarinya."

Dolar Australia terakhir 0,08 persen lebih rendah pada 0,68065 dolar AS.

Di tempat lain, yen Jepang turun tipis menjadi 138,88 per dolar.

Gubernur Bank Sentral Jepang Kazuo Ueda mengatakan pada Selasa (18/7/2023) masih ada jarak untuk mencapai target inflasi 2,0 persen bank sentral secara berkelanjutan dan stabil, menandakan tekadnya untuk mempertahankan kebijakan moneter yang sangat longgar saat ini.

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2023