Manggarai Barat, NTT (ANTARA) -
Siang itu cukup terik di Pulau Papagarang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Meski angin laut cukup panas dan matahari tepat berada di atas kepala, ada sekitar tujuh  remaja yang mandi di pinggir dermaga, mengaku sekalian mandi karena di pulau yang cukup kering itu, kepemilikan jamban sehat masih sedikit dan air tawar cukup sulit didapatkan, sehingga mereka memilih untuk berenang di laut saja sambil membersihkan badan.
 
Sekitar 700 meter dari dermaga, ada rumah Kepala Desa Papagarang 2 Abdulloh. Saat ditemui, ia pun bercerita panjang lebar tentang perjuangan masyarakat Papagarang untuk mendapatkan air bersih, mulai membeli dari pemasok, hingga berjuang menempuh birokrasi agar masyarakat Papagarang bisa punya jamban  sendiri.
Kepala Desa Papagarang 2, NTT, Abdulloh. (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)
Kepemilikan jamban memang identik dengan faktor ekonomi. Di Papagarang, masih ada seorang nelayan yang dalam sehari hanya mendapatkan penghasilan Rp10.000, sehingga jangankan untuk memiliki jamban, untuk kebutuhan sehari-hari pun rasanya masih sulit untuk dipenuhi.
 
Dari catatan seorang perawat desa yang juga kepala puskesmas pembantu (Pustu) bernama Nurbaya, Abdulloh mendapatkan data bahwa dari tiga dusun di Papagarang, masih ada sekitar 100 rumah yang belum memiliki jamban, dan di tahun 2023 ini, ada secercah harapan bahwa akan ada bantuan stimulan jamban sehat untuk 17 rumah dari pemerintah.
 
Medis di tengah keterbatasan
Nurbaya menangani pasien gawat darurat di atas kapal, di tengah perjalanan menuju puskesmas pusat Labuan Bajo. (ANTARA/HO-Dokumentasi Pribadi/Nurbaya)
Nurbaya, atau dikenal sebagai Bu Baya, sudah mengabdi di Papagarang selama 20 tahun.
 
Ia sudah sering membantu para ibu melahirkan di atas kapal, di tengah laut dengan kondisi gelombang tinggi, bahkan saat malam hari hanya dibantu dengan penerangan yang terbatas dari ponsel. Ia berjuang untuk menyelamatkan nyawa ibu dan si jabang bayi, sembari mempertaruhkan nyawanya sendiri.
 
Di tengah sulitnya akses air bersih, Nurbaya masih mengedukasi masyarakat dengan penuh sabar.
 
Bersama dua orang bidan lainnya, juga dibantu 13 kader yang fokus pada pelayanan di posyandu, ia memberikan penyuluhan tentang kesehatan setiap hari tanpa henti.
 
Nurbaya merasa, insentif yang diberikan masih belum cukup untuk menunjang kesejahteraan para perawat dan bidan di daerah terluar, belum lagi ditambah dengan kebutuhan untuk membeli air bersih.
 
“Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, rata-rata satu drum yang berisi 200 liter itu, harganya Rp 35.000. Biaya hidup di sini sudah cukup mahal, ditambah kalau harus merujuk, kami pasti menghadapi bahaya di tengah laut,” katanya.
 
Meskipun sedikit demi sedikit sudah mulai ada perbaikan, kendala operasional Pustu Papagarang masih terbatas karena kurangnya air bersih. Dengan tiga orang tenaga kesehatan (satu perawat dan dua bidan), yang menangani 458 KK atau sekitar 1.570 jiwa, butuh upaya ekstra yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
 
Ada nyawa yang dipertaruhkan untuk menyelamatkan seseorang karena komplikasi darah tinggi dan sesak nafas, atau saat menangani ibu hamil yang mempertahankan hidup sambil meregang nyawa di atas kapal.
 
Dengan sedikit menahan tangis, Nurbaya membeberkan setiap kesulitan yang ia hadapi selama 20 tahun berjuang di pedalaman Papagarang, dimana masyarakatnya masih bergantung pada keberadaan bidan dan perawat desa, yang berarti ia harus memiliki kemampuan di luar kewajibannya.
 
“Belum lagi kalau ada kasus kematian, habis sudah kami, tanpa ada tunjangan risiko kerja, tunjangan daerah terpencil, kami belum punya itu semua. Biaya hidup di pulau ini mahal, air bersih harus beli. Rujuk pasien gawat darurat pun, kami rela menerjang gelombang besar, basah kuyup dengan perahu kecil, dua setengah jam lebih kami tempuh untuk sampai ke Labuan Bajo,” tuturnya.
 
Hingga saat ini, ia masih berjuang keras mengedukasi masyarakat bagaimana memberi makanan yang bergizi pada anak, memanfaatkan yang murah, dan ada di sekitar pulau, mengingat jumlah protein yang banyak dari ikan dan pohon kelor yang mulai dimanfaatkan melalui program pemberian makanan tambahan (PMT) dari Kementerian Kesehatan.
 
Perlahan tapi pasti, permasalahan jamban sehat juga sudah mulai bisa diatasi sedikit demi sedikit, dengan bantuan dari Dana Desa, dan ide untuk mengaktifkan arisan jamban, masyarakat perlahan sudah mulai mendapatkan akses ke sanitasi yang bersih.

Nurbaya juga aktif berkolaborasi dengan salah satu yayasan yang fokus pada penanganan stunting, yakni Yayasan Seribu Cita Bangsa atau 1000 Days Fund yang memberikan bantuan berupa pelatihan dan pemberian insentif bagi pada kader kesehatan.

 
Berharap ada puskesmas keliling
Perawat dan bidan harus mendaki bukit dan melewati jalan berbatu dengan berjalan kaki karena medan yang tidak memungkinkan untuk dilalui kendaraan bermotor demi menangani pasien. (ANTARA/HO-Dokumentasi Pribadi Nurbaya)
Nurbaya berharap, pemerintah bisa berkolaborasi untuk memberikan puskesmas keliling yang selalu siap sedia selama 24 jam, dan sewaktu-waktu bisa dihubungi jika ada keadaan gawat darurat. Kendaraan seperti perahu cepat akan sangat membantu mereka untuk segera membawa pasien ke puskesmas atau rumah sakit umum yang ada di pulau utama, Labuan Bajo.
 
Di musim hujan dan gelombang tinggi, selama ini ia selalu khawatir akan kehilangan nyawanya ketika harus berlayar di tengah laut demi merujuk pasien, sehingga ia berharap ada dokter yang bisa membantu untuk melayani masyarakat Papagarang, atau setidaknya kapal cepat, sehingga waktu yang lama bisa dipangkas.
 
“Kalau ada speed boat atau mungkin puskesmas keliling yang siap sedia lewat panggilan 24 jam, bisa lebih cepat, misalnya sewaktu-waktu ada pasien gawat darurat yang kami harus rujuk ke pusat atau ke rumah sakit, ada yang bisa dihubungi, selama ini kami hanya pakai kapal-kapal kecil karena keterbatasan biaya,” ujarnya.
 
Para perawat dan bidan desa hingga kini masih mengerjakan banyak hal di luar kewajiban mereka. Pekerjaan administratif, melayani masyarakat yang sakit, hingga keterbatasan akses masih dihadapi setiap hari.
 
Padahal, mereka adalah pejuang di garis depan. Di Papagarang sendiri, angka stunting sudah turun berkat perjuangan mereka, dari 70 persen hingga saat ini sudah 39 persen.
 
Saat harus menghadiri rapat di puskesmas utama di Labuan Bajo, mereka juga menyeberang dengan biaya pribadi, tanpa bantuan operasional kesehatan (BOK).
 
Sudah semestinya ada perhatian khusus bagi para perawat dan bidan desa yang bekerja di wilayah terluar Indonesia, seperti Bu Baya, dengan cita-cita transformasi layanan kesehatan primer, dimana mereka adalah penggerak utamanya. Perlu ada campur tangan kebijakan yang bisa membuat pekerjaan mereka, setidaknya menjadi lebih ringan, atau sedikit terhibur dengan tambahan insentif yang bisa membuat dapur rumah tangga mereka menjadi lebih layak.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023