Bila lingkungan tidak dekontaminasi dengan benar, maka penyakit itu bisa muncul
Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mulai mengidentifikasi isolat antraks untuk pembuatan vaksin oral pada hewan ternak sebagai upaya mengendalikan kasus penyebaran bakteri Bacillus anthracis di Indonesia.
 
"Kami cek dulu isolatnya kalau prospektif baru kami ajukan pembuatan vaksin," kata Peneliti Ahli Muda dari Pusat Riset Veteriner BRIN, Rahmat Setya Adji dalam sebuah diskusi di Gedung B.J. Habibie, Kompleks BRIN, Jakarta Pusat, Kamis.
 
Saat ini vaksin antraks yang marak beredar di masyarakat adalah berbentuk injeksi yang terkadang menimbulkan pembengkakan leher pada kambing.

Baca juga: BRIN sebut hujan bisa mempercepat penyebaran spora antraks
 
Efek samping itu membuat para peternak enggan memberikan vaksin pada hewan ternak mereka.

Rahmat menuturkan vaksin oral lebih aman dan mudah diaplikasikan karena bisa lakukan secara mandiri oleh peternak, sehingga bisa menarik minat mereka untuk melakukan vaksinasi hewan ternak.
 
"Kegiatan vaksinasi ternak tidak semudah memberikan vaksin kepada manusia, sehingga tantangan ke depan bagaimana menciptakan vaksin yang mudah diaplikasikan. Masyarakat bisa melakukan sendiri, tinggal kita sebar, sehingga safe, applicable, murah, dan protektif," ujar Rahmat.
 
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa antraks adalah penyakit bakterial pada hewan domestik maupun liar, terutama hewan herbivora. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yang bisa menghasilkan spora bila terekspos oleh oksigen.
 
Bila hewan yang terinfeksi itu tidak disembelih, maka bakteri itu berbentuk vegetatif. Namun, ketika disembelih dan darah hewan terinfeksi terpapar oksigen menyebabkan bakteri antraks membentuk spora.

Baca juga: BRIN sarankan warga memvaksinasi hewan ternak untuk antisipasi antraks
 
Spora antraks dapat menyebar dengan cepat saat terkena air hujan karena bisa mengalir hingga sungai-sungai. Namun, spora tidak mampu bertahan hidup di lahan gambut karena tanah punya kadar keasaman yang tinggi.
 
Rahmat menuturkan spora antraks mampu bertahan hingga ratusan tahun di wilayah kering. Kelangsungan hidup terpanjang untuk spora antraks berkisar 150 sampai 200 tahun yang ditemukan pada tulang selama penggalian arkeologi di Afrika Selatan.
 
"Bila lingkungan tidak dekontaminasi dengan benar, maka penyakit itu bisa muncul," ucapnya.
 
Pembakaran bangkai hewan ternak terinfeksi antraks adalah dekontaminasi paling efektif untuk mengatasi penyakit itu. Namun, pembakaran memerlukan biaya dan energi yang besar.
 
Dekontaminasi dengan menyiramkan cairan disinfektan pada lokasi penyembelihan hewan ternak terpapar antraks paling memungkinkan untuk diterapkan. Salah satu cairan disinfektan yang marak digunakan untuk membunuh antraks adalah formalin 10 persen.
 
Proses dekontaminasi membutuhkan 50 liter cairan desinfektan untuk setiap satu meter persegi.
 
Hewan ternak yang sudah melalui tahap dekontaminasi harus dikubur dan dilapisi semen agar menjadi tanda bahwa lokasi itu adalah kuburan hewan terpapar antraks, sehingga manusia tidak menggali kembali makam tersebut.
 
"Kalau ada hewan mati mendadak harus diwaspadai. Hewan antraks tidak boleh dibuka (red: disembelih) karena sporanya bisa tahan ratusan tahun," pungkas Rahmat.

Baca juga: Menyelamatkan Gunungkidul dari wabah antraks

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Sambas
Copyright © ANTARA 2023