Jakarta (ANTARA) - Dokter ahli onkologi dari RSUPN Cipto Mangunkusumo DR. Dr. Andhika Rachman, SpPD-KHOM, FINASIM mengatakan kanker payudara HER2-positif merupakan salah satu jenis kanker payudara yang lebih agresif dan lebih cepat menyebar.

"Memang pada pasien-pasien dengan HER2-positif itu berisiko tinggi. Begitu dia didiagnosis (HER2-positif), berisiko tinggi untuk jadi advance," kata Andhika saat dijumpai media di Jakarta, Jumat.

Kanker payudara HER2-positif merupakan jenis kanker payudara di mana pasien dinyatakan positif protein yang disebut human epidermal growth factor receptor 2 (HER2).

Andhika menjelaskan HER2 terdapat di permukaan sel yang berfungsi untuk pertumbuhan dan penyebaran sel. Namun apabila jumlah HER2 terlalu banyak, hal ini dapat mengakibatkan pertumbuhan sel yang cepat dan tidak terkendali.

"Pada sel kanker HER2-positif maka sel kanker menjadi lebih agresif dan menyebar dengan cepat," ujar dia.

Baca juga: Kanker payudara HER2 tak bisa dideteksi jika hanya meraba benjolan

Andhika menyebutkan bahwa kanker payudara HER2-positif ditemukan pada 15–20 persen dari kanker payudara dan memiliki prognosis atau perjalanan penyakit yang buruk.

"Nggak tanggung-tanggung, memang metastasisnya itu targetnya adalah di otak. Itu pada yang MBC (metastatic breast cancer) yang HER2-positif," kata dia.

Kanker payudara HER2-positif dapat dikatakan jenis kanker payudara terberat kedua. Sementara jenis triple-negatif, dengan reseptor estrogen atau progesteron serta HER2 yang negatif, merupakan jenis kanker payudara yang terberat.

"Dia (kanker payudara triple-negatif) kemungkinan risiko untuk muncul kembali dalam dua tahun, itu bisa," ujar Andhika.

Kemunculan kanker payudara jenis HER2-positif sulit untuk diprediksi, bahkan pemeriksaan tak cukup hanya meraba benjolan fisik. Pasien harus melalui rangkaian pemeriksaan termasuk CT scan, biopsi, hingga imunohistokimia.

Baca juga: Kenali penanganan dan deteksi dini kanker payudara

Dengan progres perburukan yang cukup tinggi pada HER2-positif, Andhika menekankan pentingnya pengobatan yang tidak hanya pada terapi kemoterapi melainkan juga terapi antibodi monoklonal.

Hasil pengobatan yang mengombinasikan kemoterapi dan antibodi monoklonal jauh lebih baik dibandingkan kemoterapi saja.

"Terus terang, berbeda signifikan antara mereka (pasien) yang mendapatkan (antibodi monoklonal) anti-HER2 dan tanpa anti-HER2," kata dia.

Namun pemberian antibodi monoklonal pada pasien berupa infus pertuzumab dan trastuzumab dapat memakan waktu cukup lama hingga 150 menit. Hal ini, menjadi tantangan tersendiri karena cost atau bentuk pengorbanan yang lebih besar yang dilakukan oleh pasien.

"Tentu butuh sumber daya. Dan yang paling besar adalah biaya masalahnya, biaya tunggu dan biaya untuk di rumah sakitnya," kata Andhika.

Baca juga: LIPI kembangkan KIT deteksi Biomarker Kanker Payudara HER-2

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2023