....Kemudian data terbaru tahun 2018 itu meningkat sampai 21,8 persen. Jadi 'kan ada peningkatan dua kali lipat
Jakarta (ANTARA) - Forum untuk kaum muda Indonesia (Forum for Young Indonesians/ FYI) menggalang suara masyarakat untuk menolak obesitas pada anak semakin marak, salah satunya lewat diskusi tentang 'Anak Berhak Minum Sehat' di  Tebet Ecopark, Jakarta Selatan, Sabtu.

FYI yang dikelola oleh Pusat Inisiatif Pembangunan Strategis Indonesia (CISDI) menjaring sekitar 50 orang yang berkunjung ke Tebet Ecopark bersama anaknya untuk mendiskusikan kerawanan yang ditimbulkan pada tubuh akibat konsumsi gula berlebih.

Diskusi tersebut melibatkan sejumlah pemerhati anak, mulai dari dokter spesialis anak Natharina Yolanda, Ketua Umum Forum Warga Kota Ari Subagyo, Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sri Wahyuni, hingga AyahASI Shafiq Pontoh.

Pemimpin proyek kebijakan pangan CISDI Calista Segalita mengatakan berdasarkan perbandingan data obesitas hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan  2007 dan 2018, angkanya di Indonesia telah meningkat dua kali lipat.

"Data Riskesdas 2007 untuk obesitas di Indonesia tadinya menunjukkan angka sekitar 10,5 persen. Kemudian data terbaru tahun 2018 itu meningkat sampai 21,8 persen. Jadi 'kan ada peningkatan dua kali lipat," kata Calista.

Peningkatan angka prevalensi obesitas itu turut menaikkan peringkat diabetes sebagai salah satu penyakit dengan angka kematian tertinggi di Indonesia.

Karena, kata Calista, obesitas menjadi faktor risiko munculnya penyakit tidak menular seperti diabetes.

"Pada 2009, diabetes masih menempati peringkat ke-9 penyebab kematian di Indonesia. Sedangkan pada 2019, sudah menempati peringkat ketiga. Ini meningkat," kata Calista.

Meski data riset yang dipaparkan merupakan angka secara umum, bukan hanya untuk kasus melibatkan anak-anak. Namun FYI merasa perlu mengadvokasi pemerintah untuk mengintervensi hal tersebut. Salah satunya lewat pengenaan cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).

"Supaya anak-anak tidak ikut-ikutan menjadi diabetes, kami ingin mengajak semua pihak ikut merekomendasikan kepada pemerintah untuk mengenakan kebijakan cukai untuk MBDK sebagai bentuk komitmen nyata Pemerintah melindungi masyarakat dari produksi dan praktik pemasarannya," kata Calista.

Shafiq Pontoh mengatakan setuju dengan implementasi cukai terhadap MBDK karena bisa dijadikan alasan penolakan untuk membeli produk minuman dengan kandungan gula berlebih itu, disebabkan harganya yang akan semakin mahal (setelah dikenakan cukai).

Namun selain itu, menurut Shafiq, lebih efektif untuk mengedukasi orang tentang kebiasaan meminum minuman dengan gula berlebih sebagai gaya hidup yang tidak keren terlebih dahulu.

"Agar terbentuk kesepahaman mengenai kebiasaan meminum minuman dengan gula berlebih sebagai gaya hidup yang tidak keren di masyarakat," kata Shafiq.

Dia menyarankan FYI membuat lebih banyak video yang mengandung konten edukasi mengenai gaya hidup agar bisa menyebar kepada setiap orang melalui aktivitas di grup-grup keluarga.

"Unsur gaya hidup ini mesti ada yang dorong juga, minimal sampai gerakan ini punya basis pendukung (fanbase)-nya sendiri. Supaya kalau nanti ada yang coba-coba endorse produk minuman dengan gula berlebih, banyak netizen yang bisa bersuara menolaknya karena tahu bisa berdampak merugikan bagi kesehatan," kata Shafiq.

Sementara itu dokter spesialis anak Natharina Yolanda mengatakan, untuk menimbulkan dampak sosial terhadap produk yang membahayakan kesehatan, tentu harus dipikirkan bagaimana faktor yang mendorongnya selain dengan cara menaikkan harga jualnya.

"Betul yang mas Shafiq bilang juga, setiap orang mesti diajak menjalankan peran perubahan terhadap pola konsumsi minuman dalam kemasan dengan kadar gula berlebih ini, agar bisa menjalankan perannya di mana saja dia berada," kata Natharina.

Sebagai dokter, Natharina ingin menjalankan perannya terlebih dahulu untuk melakukan konseling kesehatan terhadap orang tua, agar bisa mencegah anak mengonsumsi produk minuman dalam kemasan yang mengandung gula berlebih.

Calista mengatakan setuju bahwa untuk pengenaan kebijakan cukai terhadap produk MBDK tidak perlu dilakukan langsung, melainkan secara bertahap.

Selain itu, tujuan gerakan advokasi terhadap kebijakan cukai untuk produk MBDK ialah melindungi hak atas kesehatan dan hak masyarakat terhadap akses ketersediaan pangan yang layak.

"Selain riset dan advokasi, kami juga melakukan kampanye publik seperti kegiatan ini, yang ada cek kesehatan, konseling gizi, kemudian pelibatan anak muda. Jadi itu serangkaian FYI ini agar kita bisa melindungi hak atas kesehatan dan hak masyarakat terhadap akses ketersediaan pangan yang layak," kata Calista.

Advokasi bahaya MBDK di akar rumput tidak selalu berbuah positif. Ketum Forum Warga Kota Ari Subagyo mengatakan pihaknya pernah membuat survei di wilayah pendampingan mereka di Jakarta Timur.

Hasilnya, 77 persen responden menganggap MBDK tidak bertujuan menjaga kesehatan. Namun, survei serupa menunjukkan 58 persen responden menganggap MBDK berguna mengatasi rasa lelah, sebagai pengganti ASI, mengurangi rasa kantuk, dan menyegarkan tubuh.

Atas dasar itulah, Ari menilai instrumen cukai MBDK sangat diperlukan untuk mengontrol konsumsi minuman manis.

Menurut Calista, penerapan cukai MBDK dapat menurunkan tingkat pembelian minuman berpemanis serta mendorong formulasi ulang produk menjadi lebih sehat (lebih rendah gula).

“Dalam jangka panjang, penerapan cukai MBDK berperan menurunkan obesitas, diabetes, dan risiko kesehatan lainnya di lebih dari 40 negara,” kata Calista.

CISDI bersama YLKI dan FAKTA terus mendorong pemerintah memberlakukan cukai MBDK sebesar 20 persen Melalui petisi yang sudah ditandatangani
sekitar 16 ribu orang, CISDI juga mendesak pemerintah untuk mempertajam peraturan mengenai pelabelan informasi gizi.

Menurut Sri Wahyuni dari YLKI, tidak ada petunjuk atau panduan berapa kemasan yang boleh dikonsumsi per hari, mengingat anak-anak cenderung atau kemungkinan mengonsumsi lebih dari satu kemasan per hari.

Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023