Tindakan ini sangat mencederai perasaan umat Islam dan tidak bisa dibenarkan. Kebebasan berekspresi harus menghormati nilai dan kepercayaan agama lain
Jakarta (ANTARA) - Setidaknya sudah ada lima aksi penistaan dan pembakaran Al Quran yang terjadi pada 2023 ini yang semuanya terjadi di Eropa. Namun, tidak ada tindakan tegas dari pemerintah setempat dalam menangani masalah tersebut selain kecaman.

Aksi itu diawali ketika politisi sayap kanan Rasmus Paludan membuat dunia murka karena membakar salinan Al Quran dalam unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm, Swedia, pada 21 Januari 2023.

Beberapa hari kemudian, Edwin Wagensveld, aktivis kelompok anti-Islam, merobek beberapa halaman dari Al Quran dan menginjak-injaknya di dekat gedung parlemen Belanda di Den Haag.

Tepat pada Idul Adha pada 25 Juni, seorang imigran Irak di Swedia, Salwan Momika kembali membuat dunia marah karena aksinya membakar Al Quran di depan masjid terbesar di Stockholm sebagai tindakan protes anti-Islam.

Momika kembali melakukan aksi tercelanya dengan menendang dan menginjak Al Quran di depan Kedubes Irak di Stockholm, yang memicu unjuk rasa besar-besaran di Baghdad, Irak.

Tidak berhenti sampai di situ, aksi pembakaran Al Quran kembali terjadi pada 22 Juli ketika anggota kelompok sayap kanan Denmark, Danske Patrioter, membakar Al Quran di depan Kedubes Irak di Kopenhagen, Denmark.

Seluruh insiden penodaan Al Quran itu memicu kemarahan dan protes diplomatik dari banyak pemerintah di seluruh dunia, terutama negara berpenduduk mayoritas Muslim, termasuk Indonesia.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri mengecam keras insiden di Swedia.

”Tindakan ini sangat mencederai perasaan umat Islam dan tidak bisa dibenarkan. Kebebasan berekspresi harus menghormati nilai dan kepercayaan agama lain,” demikian pernyataan Kemlu Indonesia di Twitter, Kamis (29/6/).

Kecaman juga disampaikan oleh beberapa organisasi internasional, seperti Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Irak bahkan langsung memutuskan hubungan diplomatik dengan Swedia sebagai protes atas tindakan penodaan kitab suci umat Islam. Irak juga menarik kuasa usahanya dari Swedia serta mengusir Dubes Swedia dari Irak.


Dilindungi konstitusi

Di negara-negara Uni Eropa, termasuk Swedia, pembakaran kitab suci tidak dilarang oleh pemerintah. Tidak ada hukum di Swedia yang secara khusus melarang pembakaran atau penodaan Al Quran atau kitab-kitab agama lainnya. Seperti banyak negara Barat, Swedia tidak memiliki undang-undang penistaan agama.

Banyak negara Muslim telah meminta pemerintah Swedia untuk menghentikan pengunjuk rasa yang membakar Al Quran. Namun, di Swedia, semua keputusan terkait izin unjuk rasa menjadi wewenang kepolisian, bukan pemerintah.

Kebebasan berpendapat di Swedia dilindungi oleh konstitusi. Polisi harus memiliki alasan jelas untuk menolak izin demonstrasi, misalnya ada risiko atau ancaman keselamatan publik.

Polisi Stockholm pernah menolak dua permohonan izin unjuk rasa pembakaran Al Quran pada Februari, dengan alasan bahwa demonstrasi tersebut dapat meningkatkan risiko serangan teror terhadap Swedia.

Namun pengadilan Swedia membatalkan keputusan tersebut, dengan mengatakan bahwa polisi harus memberikan alasan yang lebih jelas.

Pemerintah Swedia menyatakan bahwa tindakan pembakaran Al Quran merupakan bentuk kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi, dan Stockholm tidak bisa melarang aksi-aksi provokatif seperti yang dilakukan oleh Paludan dan lainnya.

”Kebebasan berekspresi adalah bagian fundamental dalam demokrasi … Namun, membakar kitab-kitab yang suci bagi banyak orang adalah tindakan yang menghina,” kata Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson di Twitter.

Undang-undang di Swedia memang menjamin hak-hak mengekspresikan pendapat di depan umum. Namun, Stockholm tetap melarang segala tindakan penghasutan atau ujaran kebencian.

Undang-undang tentang ujaran kebencian Swedia melarang penghasutan terhadap sekelompok orang berdasarkan ras, etnis, agama, orientasi seksual, atau identitas gender.

Kepolisian Swedia telah mengajukan tuntutan awal terhadap Momika atas kasus kejahatan rasial yang dilakukannya dengan membakar Al Quran di depan masjid di Stockholm pada Juni lalu.

Resolusi PBB

Protes Muslim di dunia terkait pembakaran Al Quran menarik perhatian Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (HAM PBB) yang kemudian  menggelar pertemuan darurat pengajuan mosi terkait tindakan tersebut.

Beberapa negara Muslim mengatakan penistaan Al Quran merupakan hasutan kekerasan dan menyerukan pertanggungjawaban.

Pada 12 Juli 2023, HAM PBB mengadopsi resolusi bertajuk “Perlawanan terhadap aksi kebencian agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan”.

Dalam resolusi itu, Dewan HAM menyerukan negara-negara anggota untuk mengadopsi undang-undang, kebijakan, dan kerangka kerja penegakan hukum nasional untuk mencegah, menangani, dan menuntut tindakan serta advokasi kebencian agama.

Resolusi tentang perlawanan terhadap aksi kebencian agama di Dewan HAM PBB itu mendapat penolakan dari Amerika Serikat, Uni Eropa, dan sejumlah negara Barat lainnya, sebelum diadopsi dengan hasil suara 28 negara mendukung, 12 negara menolak, dan tujuh lainnya abstain.

Pada 25 Juli, Majelis Umum PBB juga telah mengadopsi resolusi bertajuk "Mempromosikan dialog dan toleransi antaragama dan antarbudaya dalam melawan ujaran kebencian”.

Utusan Tetap Indonesia untuk PBB di New York, Arrmanatha Nasir, saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Rabu (26/7), mengatakan resolusi tersebut diajukan oleh Maroko dan di co-sponsor 47 negara termasuk Indonesia, Malaysia, dan Filipina dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Resolusi tersebut menguatkan upaya negara-negara dalam melawan ujaran kebencian dan intoleransi terhadap kitab suci, simbol agama ,dan Islamofobia.

Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang mendukung inisiatif resolusi tersebut.

“Indonesia sejak awal telah ikut mengawal pembahasan dan penguatan posisi dan kepentingan OKI dalam negosiasi teks resolusi tersebut,” kata Arrmanatha.

Dalam resolusi itu, Majelis Umum menyatakan “menyesalkan semua tindakan terhadap orang-orang berdasarkan agama atau kepercayaannya, serta tindakan semacam itu yang diarahkan terhadap simbol agama, kitab suci, rumah, bisnis, properti, sekolah, pusat budaya atau tempat ibadah, serta semua serangan terhadap dan di tempat-tempat keagamaan, tempat-tempat suci dan tempat-tempat suci yang melanggar hukum internasional.”

Majelis Umum meminta negara anggota terlibat dengan semua pemangku kepentingan untuk mempromosikan dialog antaragama dan antarbudaya serta menghormati dan menerima perbedaan.

Majelis Umum juga menyerukan penolakan terhadap penyebaran ujaran kebencian yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan.

Sebelum resolusi diadopsi, ada upaya dari beberapa negara untuk mengajukan amandemen. Spanyol, yang berbicara atas nama Uni Eropa, mengusulkan  kata-kata “tindakan yang melanggar hukum internasional” dalam paragraf dalam resolusi tersebut dihapus. Namun, negara-negara lain menolak usulan tersebut, dan resolusi pun diadopsi secara konsensus.

Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023