Jakarta (ANTARA News) - Penutupan transaksi penjualan 24,9 persen saham PT Semen Gresik Tbk dari Cemex Asia Holding Ltd kepada Grup Rajawali terancam batal karena hingga saat ini pemerintah belum memberikan persetujuan untuk transaksi itu, meski batas waktunya tinggal 10 hari lagi. Jika transaksi itu akhirnya batal, maka kemungkinan Cemex tidak akan mencabut tuntutannya kepada pemerintah Indonesia melalui badan arbitrase internasional, kata Managing Director Rajawali Grup, Darjoto Setiawan, di Jakarta, Jumat. Menurut Darjoto, Rajawali sudah mengirim surat ke Menteri Negara BUMN dan Menteri Keuangan dengan tembusan Presiden dan Wakil Presiden RI, untuk meminta persetujuan itu, namun sampai saat ini belum ada jawaban resmi dari Pemerintah. "Padahal persetujuan dari pemerintah ini penting karena akan memberi kepastian terjadinya transaksi. Selain itu, yang penting di antara kita (Rajawali), Cemex, dan Pemerintah Indonesia bisa duduk bersama membahas jual beli saham sekaligus pencabutan tuntutan arbitrase Internasional," katanya. Jangka waktunya kini semakin mepet dan transaksi ini juga membutuhkan waktu untuk penunjukan pengacara (lawyer), pembahasan aspek legal, arbitrase internasional, serta proses pemberitahuan dan public expose terkait dengan pasar modal. "Tenggat waktu semakin dekat, tinggal sepuluh hari lagi, karena tanggal 2 Juli itu jatuh pada Minggu, maka tenggat waktu sesungguhnya pada Jumat 30 Juni 2006," katanya. Darjoto mengungkapkan pihaknya juga mengharapkan kalau bisa bertemu dengan Menteri BUMN dan Menteri Keuangan untuk membahas soal Cemex termasuk masalah arbritase internasional. Ia mengatakan, bila selesai membahas transaksi jual beli tersebut pihak Rajawali terbuka dan kooperatif untuk membahas kemungkinan adanya keinginan beberapa pemerintah daerah menyangkut kepemilikan saham Semen Gresik tersebut. "Apabila daerah ingin juga mendapatkannya kita bisa berdiskusi segala hal termasuk prosedur, nilai dan sistem pembayarannya. Namun, saat ini yang penting kita bisa menutup dulu transaksi jual beli dengan Cemex, yang memerlukan persetujuan pemerintah," tegasnya. Pencabutan proses arbitrase yang menjadi permintaan pemerintah Indonesia, juga tertuang dalam program 100 hari Menneg BUMN Sugiharto. Keinginan mencabut arbitrase itu disampaikan dalam surat Menneg BUMN Sugiharto yang dilayangkan kepada Cemex pada 25 Mei 2006. Dalam jawaban resminya, Cemex juga bersedia berdiskusi dengan pemerintah guna membahas persoalan hukum dan kemungkinan pencabutan arbitrase. Apabila transaksi itu batal dan arbitrase dilanjutkan, pemerintah berpotensi merugi dengan membayar denda sebesar 400-500 juta dolar AS akibat kemungkinan kalah. Pemerintah juga harus mengeluarkan uang 800 ribu sampai 1 juta dolar AS per tahun untuk membayar pengacara. Cemex menuntut pemerintah Indonesia ke arbitrase dengan beberapa alasan. Salah satunya adalah pemerintah dianggap telah gagal memenuhi kewajiban yang tertuang dalam perjanjian bersyarat dalam lima tahun terakhir.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006