"Kami meminta penjelasan lebih utuh, konteks evaluasi yang dimaksud Presiden ini seperti apa? Apalagi ada pernyataan 'semua akan dievaluasi' ini maksudnya bagaimana? Harus jelas dulu di situ," kata Christina dalam keterangan diterima di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, evaluasi menyangkut pos penempatan perwira TNI pada jabatan sipil akan menyangkut pula revisi undang-undang, sebab penempatan jabatan tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI).
Dia menjelaskan, Pasal 47 UU TNI mengatur ketentuan prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
"Apakah konteks pos penempatan yang mau dievaluasi? Maka tentunya kita membutuhkan penjelasan yang lebih utuh mengenai hal ini agar tidak menimbulkan polemik atau pertanyaan," tuturnya.
Christina lebih lanjut mempertanyakan, apakah konteks evaluasi yang dimaksud lebih terkait kepada persoalan 'hukum' dan penyelewengan anggaran agar di kemudian hari tidak kembali terjadi apa yang dialami Kepala Basarnas dengan KPK.
"Kami kembalikan dulu pada Presiden Jokowi, maksud evaluasinya seperti apa. Meski kami tentu sepakat jika tujuan evaluasi dalam rangka perang terhadap korupsi dan memastikan koordinasi antar lembaga negara bisa berjalan dengan baik," kata Christina.
Sebelumnya, Senin (31/7), Presiden Joko Widodo mengatakan akan mengevaluasi menyeluruh soal penempatan perwira TNI aktif dalam sejumlah jabatan sipil di kementerian dan lembaga pascapenetapan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) sebagai tersangka kasus dugaan suap di KPK.
"Semuanya akan dievaluasi, tidak hanya masalah itu, semuanya, karena kita tidak mau lagi di tempat-tempat yang sangat penting terjadi penyelewengan, terjadi korupsi," kata Presiden Jokowi di Jakarta, Senin.
Diketahui KPK pada Rabu (26/7) telah menetapkan Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi (HA) sebagai tersangka oleh KPK lantaran diduga menerima suap sebesar Rp88,3 miliar dari beberapa proyek pengadaan barang di Basarnas pada rentang waktu 2021-2023.
Namun, penetapan itu kemudian diprotes oleh TNI, karena proses hukum terhadap prajurit aktif harus melalui mekanisme hukum dari militer, yaitu melalui Puspom TNI, Oditurat Militer, dan Pengadilan Militer.
KPK, beberapa hari setelah protes itu pun, mengaku khilaf dan menyerahkan kasus suap Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas kepada Puspom TNI.
Kemudian, Senin (31/7), Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI menetapkan Kepala Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Kabasarnas) Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi (HA) dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm. Afri Budi Cahyanto (ABC) sebagai tersangka kasus suap dalam pengadaan alat-alat di Basarnas.
"Penyidik Puspom TNI meningkatkan tahap penyelidikan kasus ini ke tingkat penyidikan dan menetapkan kedua personel TNI tersebut atas nama HA dan ABC sebagai tersangka," tutur Komandan Puspom TNI Marsekal Muda TNI Agung Handoko saat jumpa pers bersama KPK Firli Bahuri di Mabes TNI, Jakarta, Senin.
Baca juga: Presiden Jokowi akan evaluasi penempatan perwira TNI di jabatan sipil
Baca juga: MPR: langkah mundur tempatkan perwira aktif di jabatan sipil
Baca juga: Presiden Jokowi diminta tolak perwira TNI di jabatan sipil
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2023