Jakarta (ANTARA) - Letak Port Moresby, Ibu Kota Papua Nugini (PNG), hampir sejajar dengan Merauke di Indonesia, dalam jarak sekitar 751 km atau setara dengan jarak Jakarta-Surabaya.

Semasa Perang Dunia Kedua, Port Moresby adalah pangkalan besar Sekutu dalam menghadapi Jepang.

Delapan puluh tahun lalu itu kota tersebut meriah oleh lalu lalang pasukan dan alat-alat perang Sekutu.

Setelah perang itu berakhir, kota tersebut tak pernah lagi mengalami masa sibuk disinggahi wahana-wahana perang asing.

Namun, Juli tahun ini, kota pelabuhan di bagian tenggara PNG itu mendadak ramai disinggahi kapal-kapal perang asing, dari dua kekuatan yang semasa Perang Dunia Kedua malah saling bermusuhan.

Dikelilingi bukit-bukit hijau, seperti Jayapura di Papua, Port Moresby mendadak disinggahi kapal perang Jepang, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat.

JS Izumo menjadi kapal perang asing pertama yang berlabuh di Port Moresby.

Kapal induk helikopter yang menjadi kapal perang terbesar yang dimiliki matra laut pada Pasukan Bela Diri Jepang itu membuang sauh di Port Moresby awal Juli 2023.

Tak lama kemudian, kapal patroli HMS Lamar dari Angkatan Laut Inggris juga melepas jangkar di pelabuhan Port Moresby.

Angkatan Laut Prancis tak mau ketinggalan. Mereka mengutus kapal patroli La Glorieuse.

Tak hanya kapal perang asing, negara yang merdeka dari Australia pada 16 September 1975 itu juga sibuk menerima sejumlah tamu agung yang membuat PNG terlihat sedang menjadi rebutan.

Kemudian, Mei lalu, Perdana Menteri India Narendra Modi mengunjungi PNG. India adalah satu dari empat negara yang menandatangani Dialog Keamanan Quadrilateral, bersama Australia, Jepang, dan Amerika Serikat.

Awal Juli lalu, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo juga mengunjungi PNG untuk menguatkan kerja sama ekonomi, sekaligus meningkatkan keterlibatan Indonesia dan ASEAN di Pasifik, yang memang penting, termasuk dalam rangka menciptakan situasi damai di Indo-Pasifik.

Namun, yang paling menarik perhatian dari semua itu adalah kunjungan pejabat Amerika Serikat dan Prancis.

Presiden Joe Biden sedianya melawat ke PNG pada Mei lalu, tapi tertunda akibat debat plafon utang di parlemen Amerika Serikat.


Menjawab manuver China

Amerika Serikat kemudian mengutus Menteri Luar Negeri Antony Blinken. Hasilnya, pada Mei, kedua negara menyepakati perjanjian kerja sama pertahanan.

Perjanjian itu ditindaklanjuti oleh Menteri Pertahanan Lloyd Austin yang mengunjungi PNG akhir Juli lalu. Dia datang hanya sehari sebelum Presiden Prancis Emmanuel Macron tiba di PNG.

Austin menjanjikan kapal patroli militer AS akan menjaga perairan PNG yang memang sangat luas yang membuat PNG sendiri mengaku tak bisa menjaga penuh perairannya.

Sedangkan Macron datang sambil membawa janji membantu PNG mengatasi dampak pemanasan global yang sudah menjadi kekhawatiran seluruh Pasifik Selatan.

Namun, manuver Amerika Serikat cs sebenarnya adalah reaksi dari manuver China di Pasifik Selatan, terutama setelah Beijing berhasil mengikat Kepulauan Solomon dalam kerja sama keamanan yang kemudian ditandatangani pada 11 Juli 2023.

Perjanjian keamanan itu membuat cemas Australia yang merupakan pentolan Pasifik Selatan, selain Prancis yang memiliki teritori di Pasifik Selatan, termasuk Kaledonia Baru.

Tentu saja yang paling was-was adalah Amerika Serikat, yang selain mempunyai beberapa teritori di Pasifik, juga memiliki pangkalan militer yang besar di Guam yang berada di utara PNG dan Kepulauan Solomon.

China sendiri hanya melakukan apa yang dilakukan Amerika Serikat dan kekuatan-kekuatan imperialis di masa lalu, yang akan terus terancam ketika kepentingannya sudah jauh merentang ke mana-mana.

China yang semakin kaya dan semakin luas kepentingannya, tentu ingin memastikan keamanan kepentingan nasionalnya terjaga dan sekaligus keselamatan warga negaranya di luar negeri.

Ini mendorong negara tersebut membuat kesepakatan-kesepakatan keamanan yang tak selalu berujung dengan membangun pangkalan atau basis militer.

Meskipun demikian, langkah ini tetap dipandang ancaman oleh kekuatan-kekuatan lain yang menjadi pesaing, terutama Amerika Serikat.

Dalam perspektif itu, kehadiran besar militer di luar negeri kerap menjadi keharusan bagi negara yang kepentingannya jauh melewati batas nasionalnya, seperti China dan Amerika Serikat.

Amerika Serikat saja memiliki 759 pangkalan militer di luar negeri, selain mengoperasikan tujuh armada angkatan laut, termasuk Armada III dan Armada VII yang beroperasi di Samudera Pasifik dan bagian timur Samudera Hindia.

Mungkin bukan untuk ekspansi wilayah, melainkan sebagai penjamin bagi stabilitas kepentingan mereka di luar negeri, terutama kepentingan ekonomi, dengan memastikan dinamika di negara mitra, termasuk pergantian rezim, tak mengganggu kepentingan mereka.

Sarana penjaminnya adalah instrumen ekonomi, diplomasi, dan militer.


PNG tak mau berpihak

Dalam konteks PNG, ada aspek-aspek lain yang membuat sejumlah negara besar mendekati negara itu.

Salah satunya adalah posisi PNG yang memiliki hutan amat luas sebagai salah satu garis depan dalam proyek global mendinginkan suhu dunia yang disebut Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sudah menjadi "pendidihan global" itu.

Aspek lain yang diinginkan Amerika Serikat cs dari PNG adalah sumber daya alamnya yang kaya. Bukan hanya emas, PNG juga kaya dengan mineral-mineral yang dibutuhkan untuk energi hijau, seperti nikel yang menjadi bahan dasar untuk baterai.

PNG juga menjadi eksportir gas alam cair (LNG) yang besar, berkat kerja sama dengan perusahaan-perusahaan Amerika dan Prancis.

Negara itu juga didekati karena menjadi pemimpin Forum Kepulauan Pasifik yang beranggotakan 18 negara Oseania.

Meskipun begitu, perhatian global yang mendadak tercurah ke PNG itu membuat negara berpenduduk 10,3 juta jiwa tersebut menjadi mati gaya.

"Kami bingung. Laksana menyaksikan dua gajah bermain di satu lapangan rumput, dan kami itulah lapangan rumputnya," kata Winnie Kiap, mantan diplomat PNG, kepada mingguan ekonomi terkemuka The Economist.

Sebuah kekhawatiran dan kebingungan yang wajar, karena proyeksi kepentingan nasional satu negara besar di luar negeri akan selalu bersinggungan dengan kepentingan nasional negara besar lainnya.

Ketika persinggungan itu menguntungkan semua pihak, maka hasilnya kerja sama. Namun, ketika persinggungan kepentingan itu merugikan salah satu pihak, maka hasilnya konflik, atau setidaknya persaingan pengaruh.

Keadaan inilah yang sedang terjadi di PNG, yang seperti kebanyakan negara, tak ingin memusuhi dan menjadi musuh untuk yang lain.

PNG tak mau berpihak, dan sebaliknya ingin bekerja sama dengan siapa pun, sehingga enggan mengecualikan China yang selalu siap memberikan bantuan keuangan yang lebih likuid ketimbang kreditor-kreditor asing pada umumnya.

Namun begitu, kekuatan-kekuatan besar, seperti China dan Amerika Serikat, dengan caranya masing-masing, pada dasarnya akan berusaha memaksa negara lain untuk berpihak kepada mereka.

Yang pasti, apa yang terjadi di PNG menegaskan bahwa sudah tak ada lagi tempat di dunia ini yang bebas dari persaingan antara Amerika Serikat dan China.


 

Copyright © ANTARA 2023