Surabaya (ANTARA) - Sejak pertengahan Juli 2023, media sosial mulai menebar informasi edisi lama yang dikeluarkan menjelang 14 Februari 2024 (Pilpres), apalagi tahun 2024 juga ada pemilu untuk 580 anggota DPR. Pertengahan tahun 2023, "kampanye pemilu" sudah dimulai secara digital.

Serangan-serangan digital dalam kurun Pemilu 2024 kurang 7 bulan lagi, masih dibumbui dengan isu-isu "kuno", seperti pemilu-pemilu sebelumnya, yakni PKI, SARA, dan data-data lama untuk pro-kontra atau saling benci/serang.

Misalnya, ada yang "diserang" dengan pelanggaran HAM yang kejadiannya sudah belasan tahun silam. Ada pula yang "diserang" isu non-pribumi (berkebangsaan non-Indonesia). Ada pula yang diserang sebagai "petugas partai" atau suka nonton video porno, dan isu SARA lainnya.

Kampanye dini secara digital itu tidak hanya "membelokkan" informasi-informasi lama untuk "kampanye" (asal serang), namun tidak jarang juga informasi-informasi baru berpola hoaks yang dikampanyekan.

Anggota Komisi I DPR RI Rudianto Tjen, menghitung dari Maret sampai Juni 2023 ada 425 berita hoaks yang ditangani dengan dominasi berita politik.

Bahkan, saat Rudianto Tjen melakukan kunjungan kerja di Kabupaten Bangka (27/7), mencatat selama tiga tahun (2021-2023) ada 15.000 berita hoaks yang ditindak.

Melihat fakta-fakta itu, semangat persatuan dan kesatuan harus kembali diingatkan, jangan sampai terpecah akibat berita hoaks. Masyarakat jangan mudah terprovokasi dengan berita yang belum jelas kebenarannya atau sumber.

Bisa jadi, pemilu digital itu merujuk pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 yang didominasi generasi milenial (lahir 1980-1995) atau generasi Y dan Generasi Z (lahir 1997-2006).

Divisi Data dan Informasi KPU RI, Betty Epsilon Idroos, dalam Rapat Pleno Terbuka Penetapan Rekapitulasi DPT Pemilu 2024 (2/9/2023) menunjukkan hasil rekapitulasi, mayoritas pemilih merupakan generasi milenial. Sebanyak 66.822.389 atau 33,60 persen pemilih dari generasi milenial. Dari jumlah itu, khusus Generasi Z mencapai 46.800.161 pemilih atau 22,85 persen.

Untuk generasi sebelumnya atau Generasi X mencapai 57.486.482 atau 28,07 persen pemilih, generasi baby boomer 28.127.340 atau 13,73 persen pemilih, dan generasi pre-boomer 3.570.850 atau 1,74 persen pemilih.

Riset LSI Denny JA, Januari 2023, melaporkan pengguna media sosial di Indonesia ada "Top 3 Platform" pengguna, yakni Facebook (52,5 persen), Instagram (31,1 persen) dan Tiktok (29,4 persen). Pengguna Twitter hanya 8,3 persen.

Di tingkat dunia, secara demografi, profil pemilih pengguna internet media sosial lebih banyak di kalangan usia 50 tahun ke bawah (79 persen), pria dan wanita lebih banyak wanita (75 persen), lebih banyak penduduk kota (73 persen), pendidikan tinggi (SMA ke atas) 72 persen, dan penghasilan tinggi Rp5 juta sebulan ke atas (72 persen).

Kampanye digital dengan isu-isu pemilu yang hoaks dan framing atau "membelokkan" informasi, agaknya justru terlalu rentan bagi generasi non-digital, karena mereka tidak paham rekayasa/manipulasi digital seperti milenial (generasi Y) dan generasi Z. Padahal generasi non-digital itu "hidup" di dunia digital.


"PR" generasi koran

Adalah Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Gaffar Karim yang menilai pemilu digital justru menjadi persoalan bagi generasi non-digital (generasi sebelum Y dan Z).

Bagi Gaffar, orang muda saat ini (Gen-Y dan Gen-Z) merupakan digital native atau penghuni ruang digital. Hal ini berbeda dengan para orang tua atau generasi terdahulu yang merupakan "perantau" di dunia digital. Orang tua terdahulu memiliki literasi digital yang rendah, sehingga berpotensi mengakibatkan banyak hal.

Banyak orang-orang dari generasi terdahulu yang mengira semua pemberitaan yang sampai ke gadget mereka itu adalah benar. Generasi terdahulu itu adalah generasi koran. Kalau mereka membaca koran, mereka biasanya yakin bahwa berita yang disampaikan pasti benar. Kalau mereka membaca koran dengan nama yang sudah kondang, mereka yakin bahwa berita yang ada di koran itu pasti benar.

Generasi terdahulu memperlakukan berita di dunia digital yang sampai ke gawai mereka seolah sama dengan berita yang didapat dari koran, majalah, dan televisi. Mereka kemudian menyebarkannya dengan cepat, tanpa merasa perlu melakukan konfirmasi.

Menurut Gaffar, rendahnya literasi di kalangan generasi terdahulu sebagai perantau di dunia digital itu menjadi awal terciptanya hoaks atau berita bohong. Akibat dari merebaknya hoaks, relasi sosial bisa terganggu.

Dalam "Temu Kebangsaan (Tembang) 2023" di Pondok Remaja Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Cisarua, Bogor, Jawa Barat, 14-16 Juli 2023, yang melibatkan anak-anak muda lintas agama, Gaffar menyebut kata kunci pemilu digital adalah literasi digital bagi generasi X dan sebelumnya.

Hal itu agar semua pemilih bisa menggunakan dunia digital untuk menciptakan ikatan-ikatan sosial baru, ikatan-ikatan sosial yang lebih kuat di masyarakat, sehingga masyarakat kita yang majemuk itu kian lama kian baik, bukan kian buruk, bukan kian ambyar.

Terkait literasi digital itu, Generasi Koran (Generasi Media Massa) yang mengunduh media sosial (medsos) agaknya harus cerdas secara mandiri dalam menyeleksi kebenaran informasi agar tidak terjebak dengan pembelokan informasi ala media digital. Itulah "PR" (pekerjaan rumah) generasi non-digital memasuki dunia digital.

Apalagi, jebakan pembelokan di dunia digital itu tidak sedikit, seperti sikap ekstrem, sikap anti, hoaks-bully-spam, phubbing, hack/pishing, scams, viralisasi untuk gaduh/panik, klaim sepihak, positif untuk dunia keilmuan-kemanusiaan, dan deep-fake/AI.

Yang lebih gawat lagi, ruang-ruang digital yang bersifat "tontonan" itu justru didominasi "panggung" digital dengan tema-tema intoleransi dan SARA yang fokus pada identitas dan antiperbedaan pendapat, meski perbedaan adalah keniscayaan yang semestinya menjadi "rahmat" untuk saling mengenal, saling menghormati, dan bukan saling menyalahkan, apalagi saling menghujat.

Makanya, ruang-ruang di "panggung" digital dengan tema-tema intoleransi dan SARA yang antiperbedaan pendapat itu justru memudahkan dan membuat penyebaran hoaks dan politik identitas menjadi murah dan cepat. Alasannya juga "ngeri", yakni hoaks dan politik identitas itu akan membantu kemenangan calon pemimpin tertentu di segmen pemilih tertentu pula. Mirip terpilihnya presiden di sebuah negara yang sesungguhnya tidak lebih dari hoaks juga, meski dikemas sebagai demokrasi.

Namun, politik identitas dan berita hoaks yang menebarkan kebencian untuk semata-mata merebut kekuasaan harus dicegah sejak dini, karena itu pemilih/generasi non-digital saat memasuki pemilu/dunia digital perlu memiliki sikap cerdas dalam menyeleksi informasi secara mandiri. Paling tidak perlu mengecek tiga standar yakni narasumber, konten, dan rujukan. Tiga standar itulah yang akan menyelamatkan penerima informasi digital dari jebakan digital yang menyesatkan.

Untuk standar narasumber adalah perlunya pengecekan ada-tidaknya narasumber dalam informasi medsos itu, atau cuma narasi anonim? Kalau ada narasumber juga perlu dicek, apakah kompeten atau tidak. Kalau narasumber tidak ada dan kompetensi narasumber juga tidak pas, maka informasi itu sebaiknya tidak disebarluaskan. Untuk standar konten adalah perlu ada cek ulang ke pihak terkait dalam informasi yang ada, lalu konten juga harus objektif, bukan sepihak, lalu konten juga harus penting untuk publik, bukan personal.

Selain narasumber dan konten, standar yang juga penting adalah rujukan/referensi, apakah data/kutipan (Hal. 89-99 buku "Kesalehan Digital", 2023). Nah, tiga standar itulah yang penting untuk aman dalam menyimak informasi digital, sehingga pemilih non-digital tidak salah pilih atau bahkan tertipu dalam suasana "pemilu digital".

 

Copyright © ANTARA 2023