Orang yang terpapar akan cenderung menolak berita dari kelompok lain. Itulah yang disebut dengan echo chamber effect
Jakarta (ANTARA) - Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho mengingatkan warga untuk menghindari radikalisasi di media sosial dengan menerapkan metode berpikir kritis.

Septiaji, seturut keterangan tertulis diterima di Jakarta, Kamis menyebut kemampuan berpikir kiritis dan logis menjadi mutlak dalam mencerna dan menyimpulkan konten yang tersebar luas di tengah derasnya arus informasi dalam peradaban modern.

“Logikanya, seharusnya kalau orang mengakses media sosial, akses informasi menjadi tidak terbatas, dan pada akhirnya bisa memiliki wawasan yang luas dan mampu melihat dari berbagai perspektif, tetapi faktanya tidak demikian, justru yang terjadi malah sebaliknya,” kata dia.

Alumnus Technische Universitaet Muenchen itu mengatakan ketika seseorang telah merasa sesuatu hal benar tanpa mencari tahu betul latar belakang informasi tersebut, maka ia cenderung menutup diri dari informasi lain di luar yang dia anggap benar itu.

Baca juga: BNPT dorong pemerintah tindak lanjuti RAN PE dengan regulasi daerah

Menurut dia, pada kondisi itulah radikalisasi terjadi. Seseorang yang telah fanatik terhadap suatu informasi, kemungkinan besar akan percaya dengan apapun yang disajikan oleh pemasok informasi itu.

"Orang yang terpapar akan cenderung menolak berita dari kelompok lain. Itulah yang disebut dengan echo chamber effect," kata dia.

Sebagai solusinya, Septiaji mendorong tiga hal. Pertama adalah berperilaku pintar dalam menelaah informasi, yakni selalu seleksi informasi yang diterima: fakta atau fiktif, serius atau tidak, serta bersumber otoritatif dan kredibel atau justru sumbernya tidak jelas.

“Kedua adalah guyub. Kalau dia sebagai masyarakat bisa guyub dengan orang lain, maka dia akan sering berinteraksi dengan berbagai kalangan. Meskipun dia punya keyakinan yang sangat kuat, dia juga terlatih untuk menghargai perbedaan terhadap orang lain," tambahnya.

Sementara itu, solusi ketiga menurut Septiaji adalah guyon. Menurutnya, seseorang yang senang berkelakar cenderung memiliki imunitas yang kuat dan kebal dari upaya radikalisasi.

Baca juga: Indonesia-Kanada perkuat kolaborasi hadapi radikalisasi online

"Kalau misalnya dia terbiasa dengan srawung atau berkumpul dengan orang lain dan juga bercanda, maka upaya radikalisasi itu akan sering bertemu dengan jalan buntu," ujarnya.

Kepada kaum muda, Septiaji berharap agar mereka bisa bersikap rasional dalam menanggapi sebuah informasi. Rasionalitas, ucapnya, ditandai dengan bagaimana seseorang sadar diri untuk melakukan pengecekan pada sumber informasi pembanding.

Selain itu, ia juga mendorong generasi muda Indonesia untuk memperbanyak produksi konten media sosial yang moderat. Hal itu bertujuan menekan masifnya konten radikal di internet.

“Jadi, harus ditenggelamkan pandangan-pandangan radikal itu dengan cara memperbanyak, memperbaiki, dan membuat konten-konten yang mengajak masyarakat menjadi lebih moderat," ujarnya.

Dia menambahkan kemampuan berlogika dan berpikir kritis kaum muda Indonesia perlu ditingkatkan agar tidak terjebak dalam ruang gema (echo chamber) media sosial yang membahayakan.

“Saya rasa kemampuan berlogika dan berpikir kritis masih sangat kurang di generasi muda kita. Perlu rasanya kita bisa memahami kesalahan-kesalahan dalam berlogika, sehingga dapat meningkatkan kemampuan untuk berpikir kritis,” imbuhnya.

Baca juga: BNPT pelajari cara Arab Saudi sadarkan teroris
Baca juga: Mafindo catat 664 hoaks selama kuartal I-2023

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2023