Jakarta (ANTARA) - Dua peneliti asal Indonesia yang tergabung dalam Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim atau Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) mendorong negara-negara dunia mengambil aksi iklim yang lebih cepat dan konkret.

Mereka adalah Edvin Aldrian yang terpilih kembali menjadi Vice Chair Working Group dan Joni Jupesta yang menjadi anggota The Task Force on National Greenhouse Gas Inventories (TFI).
 
"Indonesia harus bisa memainkan peranan penting untuk turut serta menangani krisis iklim," kata Joni dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
 
Joni yang menjabat sebagai dosen dan peneliti aktif di The United Nations University (UNU) Tokyo, Jepang, mengatakan bahwa mitigasi perubahan iklim perlu dilakukan lebih agresif.
   
IPCC akan membuat metodelogi yang dapat digunakan negara-negara dalam melakukan perhitungan gas rumah kaca dan melakukan tabulasi statistik serta pengumpulan data.
 
Dengan demikian, harmonisasi data antarnegara berkembang dan negara maju dapat tercipta, seperti Indonesia, Brazil, Rusia, dan China.
 
Dua ilmuwan Indonesia yang terpilih di IPCC itu tidak terlepas dari dukungan negara-negara Asia Pasifik Barat, yaitu negara-negara kepulauan kecil mulai dari Kepulauan Samoa, Fiji, Tuvalu, Solomon, hingga Tonga.
 
Mereka adalah negara yang sangat rentan terdampak iklim, sehingga kepentingan negara-negara kepulauan dalam berbagai komitmen internasional seperti COP perlu diakomodir.
 
Joni berharap ada komitmen dari negara-negara maju dalam melakukan pendanaan untuk melindungi negara-negara rentan dari ancaman perubahan iklim pada COP 28 di Expo City, Dubai, akhir tahun ini.   
 
Sementara itu, peneliti Edvin Aldrian mendapat penugasan untuk assessment report ke-7 yang fokus terhadap tiga pilar dunia, yaitu polar pertama di kutub es, polar kedua di daratan, dan polar ketiga di Himalaya.
 
Dia menilai apa yang terjadi di Himalaya merupakan hal penting terkait perubahan iklim.
 
"Apa yang terjadi di Himalaya dapat berdampak kepada negara-negara sekitar, seperti Pakistan, India, Sri Lanka, Bangladesh, dan sebagian negara di Asia Tenggara," kata Advin.
 
Edvin turut melakukan penelitian di bidang urban climate yang berkaitan dengan polusi udara yang berpengaruh pada kesehatan manusia.
 
Dirinya berharap kebijakan mitigasi perubahan iklim harus lebih kuat. Ini karena berdasarkan kalkulasi IPCC, secara periodik dari tahun 2018, pencapaian kenaikan suhu 1,5 derajat diperkirakan bisa terjadi tahun 2052.
 
Tetapi ketika dilakukan proyeksi kembali tiga tahun kemudian atau pada tahun 2021, perkiraannya semakin memburuk, yakni ditaksir kenaikan suhu 1,5 akan terjadi pada 2042. Bahkan, temuan terakhir pada tahun ini, kenaikan suhu 1.5 derajat justru akan dicapai tahun 2030.

Baca juga: Pemerintah persiapkan Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim

Baca juga: Perempuan Indonesia didorong jadi peneliti UNESCO "Women in Science"

Baca juga: PBB sebut aksi dunia terhadap perubahan iklim masih menyedihkan

Baca juga: Presiden: Bumi butuh aksi nyata bukan sekadar retorika


 

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2023