Di sebuah negara demokratis, tidak boleh ada dua militer. Kidal adalah bagian dari wilayah Mali."
Bamako (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius mengatakan, Jumat, separatis Tuareg juga harus menyerahkan senjata bersama kelompok-kelompok lain di Mali utara yang dilanda kekerasan.

Gerakan Nasional Pembebasan Azawad (MNLA) meninggalkan pemberontakan puluhan tahun bagi kemerdekaan untuk membantu Prancis menghalau militan garis keras yang menguasai wilayah utara Mali.

Namun, mereka menolak mengizinkan pasukan Mali memasuki kota gurun kecil Kidal, 1.500 kilometer sebelah timurlaut Bamako yang merupakan pangkalan tradisional Tuareg.

"Ketika waktunya tiba semua kelompok, MNLA dan kelompok-kelompok bersenjata lain, harus setuju berada di wilayah kantung dan menyerahkan senjata mereka," kata Fabius pada jumpa pers di Bamako, ibu kota Mali.

MNLA merebut Kidal tahun lalu sebagai bagian dari pemberontakan baru Tuareg bagi kemerdekaan Mali utara, juga kota-kota Timbuktu dan Gao, yang menyulut gelombang kekerasan cepat di negara itu.

Namun, mereka segera kehilangan kendali atas kota-kota itu pada militan garis keras yang sebelumnya sekutu mereka.

MNLA kembali ke Kidal ketika militan meninggalkan kota itu setelah ofensif pimpinan Prancis terhadap kelompok garis keras pada Januari.

Kidal kini menjadi pangkalan bagi pasukan Prancis dan Chad yang memerangi militan yang bersembunyi di kawasan pegunungan Ifoghas.

"Di sebuah negara demokratis, tidak boleh ada dua militer. Kidal adalah bagian dari wilayah Mali," kata Fabius, dalam pernyataan yang menyoroti bahwa tidak ada hubungan antara MNLA dan pasukan Prancis.

Prancis akan mengurangi pasukannya yang kini berjumlah 4.000 orang menjadi 1.000 pada akhir tahun ini ketika mereka menyerahkan misi itu kepada pasukan regional Afrika.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

PBB telah menyetujui penempatan pasukan intervensi Afrika berkekuatan sekitar 3.300 prajurit di bawah pengawasan kelompok negara Afrika Barat ECOWAS. Dengan keterlibatan Chad, yang telah menjanjikan 2.000 prajurit, berarti jumlah pasukan intervensi itu akan jauh lebih besar.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013