Jadi kalau ada kesadaran berbagi, gotong royong dari mereka (remaja), itu bagus banget.
Semarang (ANTARA) - Stunting memiliki dampak yang tidak bisa dianggap enteng sehingga menjadikan banyak pihak bergerak untuk bersama-sama menekan prevalensi kasus tengkes tersebut.

Sejumlah potensi negatif dari masalah stunting tidak hanya berdampak pada kesehatan seperti gagal tumbuh karena berat lahir rendah, kecil, pendek, kurus, hambatan kognitif juga motorik, tapi juga sampai dengan gangguan metabolik pada saat dewasa berisiko penyakit tidak menular seperti diabetes, obesitas, stroke, penyakit jantung, dan lainnya.

Dampak lainnya yakni ekonomi, masalah stunting berpotensi menimbulkan kerugian setiap tahunnya dua sampai tiga persen produk domestik bruto (PDB).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), stunting disebabkan karena asupan nutrisi yang tidak adekuat (mencukupi kebutuhan gizi yang diperlukan bayi) atau kronis pada 1.000 hari pertama kehidupan, mulai terbentuknya janin di dalam kandungan (270 hari) sampai anak berusia 2 tahun (730 hari).

Kabar baiknya, stunting bisa dicegah sehingga seluruh pihak perlu bergerak bersama termasuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) serta Generasi Berencana (Genre) dan ditargetkan pada 2024 angkanya bisa turun menjadi 14 persen.

Berdasarkan data Survei Status Gizi Nasional (SSGI) prevalensi stunting di Indonesia terus mengalami penurunan yakni 21,6 persen di 2022 dari 24,4 persen pada 2021.


One Day One Endog

Beragam upaya pencegahan dilakukan dengan sasaran, misalnya, untuk remaja putri agar mengonsumsi tablet tambah darah; ibu hamil agar mengonsumsi makanan sehat, asupan mineral seperti zat besi, asam folat, dan yodium; dan kepada balita agar menyusu sejak dini untuk mendapatkan ASI eksklusif, imunisasi; serta penerapan gaya hidup bersih dan sehat.

Upaya tersebut digarap bersama dan salah satunya oleh remaja di Jawa Tengah yang tergabung dalam Genre kabupaten/kota dan tingkat Provinsi Jateng yang mendeklarasikan diri sebagai kakak asuh stunting.

Pendeklarasian kakak asuh tersebut berlangsung di sela-sela acara "Workshop Upgrade tentang Kita bicara soal life skill dan kekerasan seksual di Semarang, Kamis-Jumat (3-4/8).

Pada pendeklarasian tersebut, mereka menyatakan siap berpartisipasi aktif dan berdedikasi menjadi pionir penanganan stunting dalam mewujudkan aksi nyata bersama seluruh pemangku terkait.

Aksi nyata yang dilakukan mereka salah satunya adalah membagikan satu telur dalam sehari melalui Gerakan One Day One Endog yang dibagikan kepada anak-anak dengan risiko stunting.

Telur tersebut dimaksudkan menyasar anak-anak bawah lima tahun (balita) yang berisiko stunting sehingga dapat memenuhi kebutuhan protein selain tetap harus dalam pantauan klinik tumbuh kembang anak.

"Kami membagikan telur kepada satu anak yang berisiko stunting setiap harinya. Aksi tersebut kami jalankan di 35 kabupaten kota di Jawa Tengah," kata Ketua Forum Genre Jateng Hijrianda Niko ditemui seusai pendeklarasian.

Agar tepat sasaran, pihaknya menggunakan data dari organisasi perangkat daerah (OPD) setempat begitu juga dalam merealisasikan aksi nyata tersebut.


Apresiasi

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengapresiasi Gerakan One Day One Endog yang digencarkan Genre Jateng karena bagian dari bentuk kesadaran dari mereka sendiri.

"Penurunan stunting untuk siapa to, ya untuk mereka sebetulnya. Jadi kalau ada kesadaran berbagi, gotong royong dari mereka (remaja, red.), itu bagus banget," kata Hasto.

Remaja di Jawa Tengah dalam hal ini Genre kab/kota dan tingkat Jateng, lanjut Hasto, mengawali gerakan untuk berbagi, peduli dalam penanganan stunting, dan diharapkan langkah tersebut bisa menjadi contoh untuk wilayah lain agar melakukan aksi sama.

Untuk mengatasi masalah mendasar seperti kemiskinan juga stunting, dibutuhkan dukungan dari masyarakat. Keterlibatan masyarakat, termasuk remaja yang menjadi kakak asuh, itu penting agar penurunan tengkes bisa lebih cepat.

Workshop tersebut sangat penting bagi Genre karena bisa menjadi bekal untuk berbagi ilmu kepada teman sebaya yang ada di lingkungan tempat tinggal.

Apalagi tidak sedikit dari mereka yang bergabung dalam Genre karena berasal dari lingkungan yang tidak dalam kondisi baik atau bahkan ada yang menjadi korban sehingga ada keinginan kuat dari mereka untuk bisa menerapkan berbagi kepedulian atau sharing is caring dari bekal ilmu yang didapat.

Dari ilmu yang didapat dengan bergabung dalam Genre, mereka bisa menjadi duta, figur, atau role model, dan bisa merangkul teman sebaya sekitar, sehingga pesan yang ingin disampaikan lebih mengena.

“Bukan benar atau salah, melainkan kami hadir sebagai jalan tengah. Banyak kasus dianggap biasa seperti hamil di luar nikah atau ada anak usia 10 tahun mengonsumsi minuman keras. Pada kasus seperti itu, kami tentu tidak bisa sekadar teori,” kata Niko.

Untuk masuk dalam permasalahan tersebut, Genre mengaku mencari cara yang menyenangkan (fun) agar edukasi bisa mengena. Termasuk edukasi mengenai tidak nikah dini sampai dengan penanganan stunting.

Semakin tinggi tingkat kesadaran dari remaja salah satunya dengan bergabung dalam Genre, tentu akan kian banyak remaja yang memiliki sehat jiwa dan raga, menunda pernikahan dini, remaja berprestasi, dan kreatif sesuai dengan mars mereka. 

Keterlibatan para remaja menjadi kakak asuh membuktikan mereka mau bertindak konkret dalam menyiapkan generasi berkualitas pada masa mendatang.








 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023