Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Prof Gilbert Simanjuntak meminta Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono untuk merevisi atau mengeluarkan peraturan gubernur (pergub) baru terkait proyek ITF sebagai bentuk mematuhi regulasi.

“Adapun Pergub yang dimaksud adalah Pergub Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penugasan Lanjutan Kepada Perseroan Terbatas Jakarta Propertindo Dalam Penyelenggaraan Fasilitas Pengelolaan Sampah di Dalam Kota (Intermediate Treatment Facility/ITF),” kata Gilbert saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.

Gilbert menilai pembangunan ITF tidak disebutkan melalui peraturan daerah maupun Peraturan Presiden No 35 tahun 2018 yang hanya menyebutkan pengolahan sampah.

Diketahui hanya Peraturan Gubernur No 65 tahun 2019 tentang Penugasan Kepada Perseroan Terbatas Jakarta Propertindo (perseroan Daerah) Dalam Penyelenggaraan Fasilitas Pengolahan Sampah Antara Di Dalam Kota, atau nama lain dari ITF.

Sehingga, lanjut dia, tidak ada penjelasan spesifik kewajiban DKI harus membuat ITF.

“Itu potensi melanggar regulasi belum terbukti dan saya sudah pertanyakan di mana melanggar karena Pergub-nya saja yang menyebutkan ITF,” jelasnya.

Terlebih, dia juga mempertanyakan urgensi sejumlah anggota DPRD lainnya yang memilih menggunakan hak angket buntut dari batalnya pembangunan ITF. Dibanding memakai hak angket, kata dia, sebaiknya legislatif melakukan penajaman lewat komisi.

Menurutnya, hak angket merupakan hak yang melekat bagi setiap anggota dewan dengan bermuatan politis, dan digunakan ketika yang bersangkutan tidak mendapat jawaban dari pihak eksekutif.

“Jadi yang paling benar itu adalah mencari data, dari hak angket apa yang mau diharapkan, apa yang mau diangkat, orang datanya belum punya. Lalu nanti mau bahas apa?” sambungnya.

Gilbert juga menyoroti pernyataan Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekda DKI Jakarta Sri Haryati yang juga bisa menjadi bahan pendalaman bahwa finansial menjadi salah satu alasan membangun RDF.

“Secara sepintas saya melihat RDF itu biayanya lebih rasional, sedangkan ITF itu biayanya jumbo dan tidak masuk akal,” ujarnya.

Berdasarkan data yang diterimanya, pembangunan ITF menyedot biaya yang cukup besar hingga Rp3 hingga 4 triliun, dan belum termasuk biaya pengolahan sampah (tipping fee) kepada mitra swasta. Sedangkan pembangunan RDF hanya di kisaran Rp 800 miliar.

Hak angket

Sementara, anggota DPRD DKI Jakarta lainnya mengusulkan hak angket untuk menyelidiki dugaan pelanggaran pada penghentian proyek pembangunan pengolahan sampah menjadi listrik (intermediate treatment facility/ITF) Sunter dalam penanganan sampah di Ibu Kota.

"Dari anggota komisi B maupun C mengusulkan hak angket untuk menyelidiki atas dugaan pelanggaran terhadap kebijakan yang dibuat Penjabat Gubernur DKI Heru Budi Hartono,” kata Ketua Komisi B DPRD DKI Ismail saat ditemui di Jakarta, Rabu.

Ismail merinci dugaan pelanggaran itu terhadap Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden No 35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan dan Peraturan Gubernur No 65 tahun 2019 tentang Penugasan Kepada Perseroan Terbatas Jakarta Propertindo (perseroan Daerah) Dalam Penyelenggaraan Fasilitas Pengolahan Sampah Antara Di Dalam Kota.

“Ini perlu dikonfirmasi terkait penghentian proyek tersebut, kita perlu selidiki apa yang jadi alasan dilanggar. Padahal, sudah kuat dasar hukumnya,” tegasnya.

Terlebih, jika alasan dari pemerintah provinsi DKI membatalkan proyek ITF lantaran refuse-derived fuel (RDF) terbilang murah dan tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Padahal seluruh dana investasi ITF berasal dari pihak swasta.

Baca juga: Legislator usulkan hak angket selidiki dugaan pelanggaran proyek ITF

Baca juga: Legislator: Pengolahan sampah Jakarta butuh teknologi seperti ITF

Baca juga: Pemprov DKI tegaskan pengolahan sampah Sunter tak dibatalkan

Pewarta: Luthfia Miranda Putri
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2023