Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Zita Anjani menilai pengolahan sampah menjadi bahan bakar (Refused Derived Fuel/RDF) lebih efisien dalam segi anggaran dan waktu pembangunan.

“Saya pikir kita sudah bisa menilai, dari efisiensi anggaran dan waktu, sudah jelas RDF lebih ideal, apalagi soal manfaatnya,” kata Zita kepada wartawan di Jakarta, Selasa.

Zita menuturkan, dari segi pembangunan RDF di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, mampu dibangun selama 1,5 tahun saja. Sedangkan ITF yang berada di Sunter, Jakarta Utara, yang dibangun sejak 2016 belum rampung hingga kini.

Mengenai anggaran, ITF lebih banyak pengeluaran dengan adanya biaya yang dibebankan kepada pemerintah daerah untuk mengumpulkan sampah dari rumah ke tempat pengolahan (tipping fee) daripada biaya yang dikeluarkan untuk RDF.

“Sebetulnya ini soal perampingan anggaran. Tujuan Pak Pj Gubernur Heru Budi Hartono baik agar tidak boros anggaran,” katanya.

Baca juga: RDF dinilai ramah lingkungan dan ekonomis

Terlebih, RDF dinilai tidak terlalu mengeluarkan anggaran malahan produknya bisa dibeli untuk pabrik semen dan PT PLN (Persero) yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan untuk pembangkit tenaga listrik.

Harapan Zita, dengan adanya pembangunan RDF kedepannya bisa dibiayai sendiri, tidak membebani pemerintah.

“Dalam peralihan dari ITF ke RDF, Pemprov bisa memikirkan tata letaknya, jangan di tempat padat penduduk, karena sangat tidak tepat jika pengolahan sampahnya dekat dengan pemukiman,” ujarnya.

Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Ida Mahmudah menilai pembangunan pengolahan sampah menjadi bahan bakar terbilang rasional untuk mengatasi persoalan sampah di Ibu Kota.

"Saya menegaskan penanganan sampah melalui RDF menjadi pilihan terbaik dan paling rasional saat ini," kata Ida.

Baca juga: Semen Indonesia gunakan 76 ribu ton RDF sebagai bahan bakar alternatif

Ida menuturkan pihaknya sudah menjadi mitra kerja Dinas Lingkungan Hidup (LH) sehingga mendukung kebijakan tersebut agar terus digencarkan.

Dia juga meminta agar Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono untuk segera mencabut penugasan pembangunan RDF dari PT Jakpro (Perseroda) dan Perumda Pembangunan Sarana Jaya lalu mengalihkan kepada Dinas Lingkungan Hidup DKI.

Ia menambahkan, dengan pengolahan sampah RDF mencapai 2.000 ton per hari hanya diperlukan subsidi Rp54 miliar per tahun.

Jika dibandingkan pengadaan fasilitas pengelolaan sampah di dalam kota (intermediate treatment facility/ITF) dengan biaya pengolahan (tipping fee) sekitar Rp2 triliun per tahun tentunya RDF lebih ekonomis.

Jika dirinci "tipping fee" menghabiskan Rp800 ribu per ton sehingga bisa mencapai Rp2 triliun per tahun dan tercatat kontraknya hingga 30 tahun. Belum lagi, pembangunan ITF memerlukan biaya Rp4-5 triliun.
Baca juga: Legislator minta BPKD DKI rinci pendapatan hasil olah sampah RDF

Pewarta: Luthfia Miranda Putri
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2023