Malang (ANTARA) - Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A., menyatakan bahwa semua survei, termasuk survei politik, boleh salah, tetapi tidak boleh bohong.

"Survei politik boleh saja salah, namun sama sekali tidak boleh bohong," tegas Siti Zuhro dalam Bincang Politik Nasional dan Rilis Hasil Survei Opini Publik Jawa Timur yang digelar Laboratorium Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) di kampus setempat, Kamis.

Zuhro mengatakan bahwa sebenarnya dia tidak begitu menyukai survei politik, apalagi lembaga-lembaga survei seringkali tidak transparan dengan siapa yang mendanai.

Dia mengaku tertarik dengan hasil survei laboratorium politik UMM karena ternyata korespondennya didominasi oleh warga Nahdlatul Ulama (NU).

"Sebagian besar koresponden seakan ingin bilang agar Muhammadiyah juga harus turun gunung dan seharusnya bisa tampil di wilayah politik," ujarnya.

Belakangan ini, kata Zuhro, muncul nama Pak Muhadjir Effendy yang digadang-gadang menjadi pilihan salah satu bakal calon wakil presiden.

Menurut dia, Muhadjir memang bisa dikatakan sebagai salah satu sosok pemimpin di Jatim sehingga wajar jika dalam survei ini namanya cukup dikenal. "Namun, sayangnya Muhadjir dirasa terlalu kalem dan harusnya bisa lebih lincah," ujarnya.

Zuhro menilai Muhammadiyah memiliki banyak sumber daya manusia yang bisa bersaing, tetapi tidak muncul nama di kancah politik. Maka, survei ini dapat mendorong Muhammadiyah untuk segera tampil dan berkontribusi.

Selain itu, berdasarkan data hasil survei, suara calon presiden nyatanya tidak ditentukan oleh partai, namun tergantung sosok yang bersangkutan.

Menurut Zuhro, dalam sistem pemilihan langsung, popularitas masih menjadi hal yang sangat memengaruhi pilihan.

Dia juga mengapresiasi UMM yang dapat memberikan jembatan agar tidak terjadi salah paham dengan mendatangkan pengamat dan perwakilan partai.

"Saya ingin bilang Indonesia memiliki masyarakat yang selalu maintaining harmony dan ini perlu kita jaga. Kalau kita ingin Indonesia baik-baik saja, kita harus mencari dan memilih pemimpin yang nawaitu-nya (niat) benar-benar ingin Indonesia jadi lebih baik,” katanya.

Sementara itu, pengamat politik Universitas Airlangga Surabaya Prof. Dr. Kacung Marijan, MA. Ph.D., mengatakan bahwa seringkali muncul fenomena split ticket voting pada pemilu, yakni konsep perilaku pemilih ketika dihadapkan pada pilihan yang beragam dalam suatu pemilihan.

Hal ini biasanya terjadi saat tidak ada titik sambung antara partai dan pilihan presiden. Kemungkinan hal ini kembali terjadi saat pemilu 2024.

"Misalnya saja, saat Pilpres 2019. Kita bisa melihat bahwa tidak semua kader PDIP waktu itu memilih Jokowi. Begitupun dengan Prabowo yang tidak semua gen Z memilihnya," ucapnya.

Sedangkan pengamat politik UMM Dr. Asep Nurjaman, M.Si., menilai keinginan dari masyarakat agar kader Muhammadiyah bisa muncul ke permukaan, salah satu yang sedang hangat adalah Muhadjir Effendy.

"Saya rasa ada kerinduan masyarakat akan calon-calon yang punya upaya pengabdian dan ketulusan pada bangsa. Perasaan inilah yang seharusnya terus ditumbuhkan untuk mencegah munculnya fenomena politik uang," katanya.

Asep memberikan pandangan lain terkait survei politik. Di negara lain, survei yang berdasarkan sampling sudah ditinggalkan dan beralih pada penggunaan AI serta big data.

Berbagai kelebihan bisa didapat, seperti pemetaan calon yang lebih akurat, karena tidak ada batasan data. Sehingga, ia berharap partai politik dan lembaga survei juga bisa segera memanfaatkan teknologi tersebut (AI).

Pewarta: Endang Sukarelawati
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2023