Jakarta (ANTARA News) - Ketua Panitia Kerja RUU Pemilukada DPR RI Abdul Hakam Naja menegaskan perlu adanya pembatasan belanja kampanye pada penyelenggaraan pemilukada guna mengatasi praktik politik biaya tinggi.

"Saat ini Panja RUU Pemilukada sedang merumuskan standar belanja kampanye penyelenggaraan pemilukada," kata Abdul Hakam Naja pada "Dialog Pilar Negara: Pembiayaan Partai Partai dalam Pemilukada" yang diselenggarakan MPR RI di Gedung MPR/DPR/DPD RI Jakarta, Senin.

Pembicara lainnya adalah Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Thohari dan Pakar Ekonomi yang juga Staf Khusus Presiden Firmanzah.

Menurut Hakam Naja, selama ini DPR RI lebih banyak mengatur soal besaran maksimal sumbangan dari perorangan maupun lembaga kepada partai politik maupun penyelenggaraan pemilukada, tapi belum membatasi belanja kampanye pada pemilukada.

"Ini berdampak pada belanja kampanye yang tidak terbatas sehingga menjadikan politik biaya tinggi," katanya.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI ini menjelaskan, politik biaya tinggi ini memberikan ekses hanya orang-orang yang memiliki modal besar yang berani tampil sebagai calon kepala daerah atau tokoh yang didukung oleh sponsor.

Namun, setelah terpilih menjadi kepala daerah rawan terjadi praktik korupsi dan nepotisme yang jutsru merugikan negara dan rakyat.

Hakam menggambarkan, dampak dari politik biaya tinggi, saat ini ada sekitar 291 kepala daerah yang tersandung kasus hukum terutama korupsi.

"Karena itu, pada pembahasan RUU Pemilukada saat ini akan merumuskan pembatasan belanja kampanye sekaligus penyelenggaraan pemilukada serentak, untuk efisiensi anggaran," katanya.

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini mencontohkan, pembatasan belanja kampanye tersebut di antaranya, pembatasan pemasangan spanduk baik lokasi maupun jumlah dan pembatasan pemasangan iklan di media massa.

Pewarta: Riza Harahap
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013