Jakarta (ANTARA) - Saat perjalanan pesawat dari New York ke Jakarta, saya mendapatkan pesan bertubi-tubi dari beberapa rekan wartawan terkait dengan bantahan dari pengamat ekonomi Faisal Basri terhadap pernyataan Presiden Jokowi terkait dengan hilirisasi nikel.

Bantahan utama Faisal Basri adalah hilirisasi nikel 90 persen hanya menguntungkan investor Tiongkok dan data-data yang disampaikan oleh Presiden Jokowi menyesatkan.

Ada lima klaim Faisal Basri di dalam artikel bantahannya yang menurut saya tidak tepat, yaitu:

(1) Angka ekspor produk hilirisasi nikel Rp510 triliun yang disampaikan Presiden Jokowi salah.

(2) Pemerintah mendapatkan pajak dan penerimaan negara yang lebih kecil dengan melarang ekspor bijih nikel.

(3) Pemerintah memberikan harga bijih nikel “murah” kepada para smelter.

(4) Nilai tambah hilirisasi nikel 90 persen dinikmati investor Tiongkok.

(5) Kebijakan hilirisasi nikel tidak menimbulkan pendalaman industri karena kontribusi industri pengolahan terhadap PDB justru menurun.

Saya akan menjawab klaim tersebut satu persatu secara ringkas dengan data-data yang memadai.

Terkait klaim Faisal Basri bahwa angka ekspor hilirisasi nikel tahun 2022 Rp510 triliun yang disampaikan Presiden Jokowi salah, karena, menurut hitungan dia, angkanya Rp413,9 triliun.

Kesalahan utama Faisal Basri di sini adalah tidak update terhadap perkembangan hilirisasi di Indonesia, sehingga dia hanya memasukkan angka ekspor besi dan baja senilai 27,8 miliar dolar AS atau Rp 413,9 triliun. Padahal hilirisasi nikel Indonesia juga memproduksi bahan lithium baterai seperti nickel matte dan mixed hydrate precipitate (MHP) yang tergabung dalam HS Code 75.

Pada 2022, nilai ekspor nickel matte dan MHP adalah 3,8 miliar dolar AS dan 2,1 miliar dolar AS. Selain itu masih ada beberapa turunan nikel di HS Code 73.

Jika angka ekspor semuanya di total maka angkanya adalah 34,3 miliar dolar AS atau Rp510,1 triliun. Tepat sesuai yang Presiden Jokowi sampaikan.

Klaim Faisal Basri bahwa negara menerima pendapatan negara yang kecil akibat pelarangan ekspor bijih nikel, karena para smelter tersebut mendapatkan tax holiday 20 tahun. Di sini Faisal Basri tidak memahami ketentuan tax holiday di Indonesia sehingga mencapai kesimpulan yang keliru.

Tax holiday 20 tahun diberikan dengan investasi sebesar Rp30 triliun atau lebih. Jika kurang dari itu maka akan menyesuaikan periodenya, antara 5-15 tahun. Insentif tax holiday ini hanya untuk PPh Badan, pajak-pajak lainnya tetap harus dibayar.

Berdasarkan data pemberian tax holiday tahun 2018-2020, rata-rata perusahaan smelter yang memperoleh tax holiday 7-10 tahun. Hanya ada 2 yang memperoleh 20 tahun, dimana saat ini hanya 1 yang beroperasi.

Masih ada banyak juga smelter yang tidak memperoleh tax holiday karena tidak memenuhi persyaratan selain nilai investasi. Setelah periode tax holiday habis, maka mereka harus membayar pajak sesuai ketentuan.

Untuk smelter-smelter yang dibangun periode 2014-2016 dan memperoleh tax holiday selama 7 tahun, saat ini sudah memulai membayar PPh Badan.

Dengan mencocokkan data KBLI perusahaan-perusahaan yang memperoleh tax holiday (KBLI 24202), dan penerimaan perpajakan dari KBLI tersebut, dapat terlihat tren peningkatan yang signifikan dari pendapatan perpajakan tahun 2016-2022.

Penerimaan perpajakan tahun 2022 dari sektor hilirisasi nikel adalah Rp17,96 triliun, atau naik sebesar 10.8x dibandingkan tahun 2016 sebesar Rp1,66 triliun.

Untuk pendapatan PPh Badan tahun 2022 adalah Rp7,36 triliun atau naik 21,6 kali lipat dibandingkan tahun 2016 sebesar Rp0,34 triliun.

Jika kebijakan ekspor bijih nikel tetap dilakukan dengan menggunakan data tahun 2019, pendapatan pajak ekspor hanyalah sebesar 0,11 miliar dolar AS (Rp1,55 triliun) atau 10 persen dari nilai ekspor bijih nikel sebesar 1,1 miliar.

Angka tersebut tetap lebih kecil jika dibandingkan dengan pendapatan pajak dari sektor hilirisasi nikel sebesar Rp3,99 triliun di tahun 2019.

Jadi, analisis yang disampaikan Faisal Basri dalam menyanggah pernyataan Presiden Jokowi terkait dengan perpajakan ini juga keliru.

Dari data tersebut, telah terjadi peningkatan pajak yang cukup signifikan dari sektor hilirisasi ini.

Perlu dicatat pula bahwa penerimaan perpajakan dari sektor hilirisasi nikel ini, belum memasukkan pendapatan pajak dari sektor lain yang ikut tumbuh akibat hilirisasi nikel ini seperti pelabuhan, steel rolling, jasa konstruksi, industri makanan dan minuman dan akomodasi.


Ibarat memancing

Pemberian tax holiday seperti kegiatan mancing.
Kalau mau mendapatkan ikan yang besar dan banyak, maka perlu mengeluarkan modal untuk beli/sewa kapal, peralatan, umpan, dan memperkerjakan kapten kapal dan kru ABK yang mumpuni.

Semua itu tentu saja tidak gratis. Tax holiday pun sama, kebijakan insentif ini digunakan untuk menarik investasi masuk ke Indonesia dan berkontribusi kepada perekonomian nasional. Seseorang tak bisa mendapatkan ikan besar hanya dengan duduk diam di pinggir pantai sambil bengong.

Terkait klaim Faisal Basri bahwa Pemerintah memberikan harga bijih nikel yang “murah” kepada smelter, dimana selisih di dalam negeri dengan harga internasional bisa mencapai puluhan dolar/ton dengan menggunakan data tahun 2022.

Maka klaim ini harus dikaitkan dengan hukum supply dan demand. Bahwa jika supply menurun sementara demand tetap, maka akan ada kenaikan harga.

Hal ini lah yang terjadi pada saat Pemerintah melakukan pelarangan ekspor tahun 2020 saat ini, harga internasional naik karena supply bijih nikel dari Indonesia hilang, sehingga smelter-smelter nikel di Tiongkok hanya mengandalkan supply dari Filipina dan beberapa negara lain. Padahal Indonesia adalah supplier terbesar bijih nikel ke Tiongkok sebelumnya.

Artinya, jika ekspor bijih nikel Indonesia kembali dibuka, maka harga internasional pasti akan turun karena supply bertambah dari Indonesia, sehingga perbedaan antara harga nikel internasional dengan HPM pasti akan lebih kecil.

Untuk itu, saatnya membandingkan harga ekspor bijih nikel periode tahun 2018-2019, ketika ekspor bijih nikel masih dilakukan, dengan HPM Nikel di periode yang sama.

Berdasarkan data yang diperoleh selisih antara harga ekspor dengan harga HPM dengan grade 1,7 persen dan MC 35 persen hanyalah 5,5 dolar/ton dan 6,9 dolar AS/ton masing masing di tahun 2018 dan 2019. Selisih ini, berdasarkan temuan kami pada waktu itu, ada sebagian disebabkan karena kualitas bijih nikel yang diekspor melebihi 1,7 persen (batas maksimum kualitas ekspor saat itu).

Terkait penalti dan beban biaya lain yang harus ditanggung oleh penambang nikel, memang benar pernah terjadi pembebanan yang tidak fair oleh smelter kepada para penambang.

Hal ini disebabkan karena jumlah smelter yang sedikit dibandingkan dengan volume produksi bijih nikel dalam negeri yang besar. Namun sejak diberlakukan Permen ESDM 11/2020 dan tindakan enforcement-nya kasus-kasus tersebut jauh berkurang, apalagi kondisi saat jumlah smelter yang sudah cukup banyak justru menciptakan kekurangan supply bijih nikel.

Menurut informasi terakhir yang saya terima dari para pelaku, harga beli bijih nikel saat ini bukan lagi HPM + 2 dolar, tapi bisa jauh lebih besar dari itu apalagi untuk yang mau berkontrak jangka panjang.

Memang masih ada perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan pemerintah terkait hal ini, antara lain enforcement terhadap aturan ESG, dan juga beberapa aspek tata kelola nikel yang lain. Namun, jika Faisal Basri menyatakan bahwa Pemerintah memberikan harga bijih nikel “murah” kepada smelter, hal itu adalah berlebihan.


Nilai manfaat

Saatnya merespons klaim Faisal Basri bahwa nilai tambah dari hilirisasi nikel 90 persen dinikmati oleh investor Tiongkok. Dalam hal ini cukup sederhana untuk membuktikan bahwa pola pikir Faisal Basri keliru.

Jika ekspor bijih nikel ini terus dilakukan maka nilai manfaat dari bijih nikel yang kita miliki 100 persen dinikmati oleh negara lain. Jadi negara asing 100 persen dan Indonesia 0 persen. Tidak ada pajak dan penambahan tenaga kerja yang tercipta di Indonesia.

Bagaimana jika kita mengukur nilai tambah hilirisasi lebih detail?

Prinsipnya sederhana, yaitu menghitung seberapa besar sumber daya yang harus dikeluarkan untuk memproses bijih nikel menjadi nikel pig iron (produk smelter).

Sumber daya tersebut bisa dalam bentuk tenaga kerja, teknologi, listrik, dan bahan baku lainnya. Lalu kita menganalisis, pihak mana (dalam negeri atau luar negeri) yang menikmati manfaat dari sumber daya tersebut.

Berdasarkan analisis yang saya lakukan, dari 100 persen nilai produk smelter, kontribusi bijih nikel adalah 40 persen, 12 persen laba operasi yang bisa dinikmati investor (asumsi mendapatkan tax holiday), dan 48 persen adalah sumber daya tambahan yang perlu dikeluarkan untuk mengolah bijih nikel tersebut.

Dari 48 persen angka tersebut, 32 persen dinikmati oleh para pelaku ekonomi di dalam negeri dalam bentuk batubara (untuk listrik), tenaga kerja, dan bahan baku lain. Sehingga hanya 16 persen yang dinikmati oleh pihak supplier dari LN.

Berdasarkan hitungan tersebut, nilai tambah yang dinikmati oleh pihak LN (investor dan supplier) adalah 16 persen ditambah komponen laba operasi 12 persen, sehingga menjadi 28 persen.

Sehingga, nilai tambah yang dinikmati oleh dalam negeri adalah 32 persen atau secara proporsi mencerminkan sekitar 53 persen (32 persen dibagi 32 persen +12 persen +16 persen) dari seluruh nilai tambah hilirisasi nikel.

Nilai tambah dalam negeri akan lebih besar jika pihak investor asing tersebut melakukan reinvestasi di dalam negeri, sudah tidak mendapatkan tax holiday, atau bahkan ada keterlibatan investor lokal, seperti Harum Energy, Trimegah Bangun Persada, dan Merdeka Battery Materials.

Satu hal lain yang cukup penting adalah mayoritas dari investasi hilirisasi nikel di lakukan di wilayah Sulawesi dan Halmahera yang sebelumnya memiliki gap aktivitas ekonomi yang besar dengan Jawa.

Dengan adanya investasi ini, terjadi penciptaan tenaga kerja dan aktivitas ekonomi yang besar, yang tidak akan terjadi tanpa adanya hilirisasi nikel ini.

Untuk IMIP jumlah pekerja saat ini mencapai 74,7 ribu orang dan IWIP sekitar 56 ribu orang. Hal ini belum memperhitungkan kawasan industri lain seperti VDNI, Gunbuster, dan Pulau Obi.

Dampak penciptaan lapangan pekerjaan dari hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah dan Halmahera juga berdampak positif terhadap penurunan angka kesenjangan pendapatan (koefisien gini). Angka koefisien gini di Sulawesi Tengah dan Halmahera turun dari 37,2 persen dan 32,5 persen di 2014 menjadi 30,8 persen dan 27,9 persen di tahun 2022.

Untuk IWIP dan IMIP, jumlah tenaga kerja lokal rata-rata mencapai 85-90 persen dari total tenaga kerja. Gaji yang mereka hasilkan pun juga jauh lebih tinggi dari UMR, tidak seperti klaim Faisal Basri. Rata-rata gaji di IWIP bisa mencapai Rp7 juta sebulan, bahkan lebih tinggi dari UMR Jakarta

Meskipun angka tersebut adalah estimasi, tapi saya cukup yakin angka itu cukup akurat dibandingkan klaim Faisal Basri yang menyebutkan hanya 10 persen nilai tambah di dalam negeri yang dinikmati dari hilirisasi nikel ini.

Terkait klaim bahwa kebijakan hilirisasi nikel tidak menimbulkan pendalaman industri karena kontribusi industri pengolahan terhadap PDB justru menurun.

Dalam mencapai kesimpulan ini, Faisal Basri tidak menganalisis data dengan cermat.

Memang benar kontribusi industri pengolahan menurun pada periode 2014 dibandingkan 2022, namun hal itu sebagian besar disebabkan karena turunnya kontribusi subsektor industri batubara dan pengilangan migas, industri alat angkutan dan industri kayu, alat dari kayu dan lain-lain yang turun masing-masing hingga 1,3 persen, 0,5 persen, dan 0,4 persen terhadap PDB.

Sementara itu, kontribusi subsektor industri logam dasar terhadap PDB justru meningkat 0,1 persen utamanya didorong oleh hilirisasi nikel.

Tanpa ada hilirisasi nikel, penurunan kontribusi industri pengolahan tentunya akan lebih turun.
Kinerja hilirisasi nikel dalam mendorong industrialisasi terlihat di level provinsi.

Sejak 2014 hingga 2022, provinsi dimana hilirisasi nikel terjadi mengalami peningkatan share industri manufaktur yang signifikan. Kontribusi industri pengolahan di Sulawesi Tengah mengalami peningkatan hingga 34,4 persen, sementara kontribusi industri pengolahan di Maluku Utara mengalami peningkatan hingga 24,0 persen.

Terkait pendalaman industri, semuanya membutuhkan proses. Ini bukan sulap atau sihir yang bisa terjadi seketika.

Perlu diingat kebijakan hilirisasi nikel baru dilaksanakan secara konsisten sejak awal 2020, ketika pemerintah menerapkan larangan ekspor bijih nikel. Sebelumnya pernah ada pelarangan, namun tahun 2017-2019 sempat diizinkan kembali ekspor bijih nikel. Jadi baru kurang lebih 3 tahun kebijakan hilirisasi nikel ini.


Menarik investor

Apa dampak konsistensi hilirisasi nikel ini selain sektor besi baja? Kita mampu menarik investasi-investasi baru dalam bidang baterai lithium.

Nikel kadar rendah kita yang sebelumnya tidak dipakai, saat ini bisa diproses menjadi mixed  hydrate precipitate (MHP) yang merupakan bahan baku utama baterai lithium.

Bayangkan barang yang tadinya hanya sampah, saat ini bisa diproses menghasilkan bahan baku lithium baterai. Pastinya nilai tambahnya sangat besar.

Perlu diketahui bahwa untuk membuat baterai lithium membutuhkan ekosistem industri yang kompleks.

Tidak hanya dibutuhkan nikel, tetapi juga produk hilirisasi kobalt, aluminium, tembaga, lithium dan lain-lain.

Tidak semuanya ada di Indonesia bahan bakunya. Ekosistem inilah yang saat ini sedang kita bangun di Indonesia. Semuanya sedang berproses dan tidak mudah.

Hasilnya, saat ini kita sedang membangun lithium refinery di Morowali, yang bahan mentah lithiumnya diimpor dari Australia dan Afrika.

Kita juga sedang membangun pabrik copper foil untuk bahan lithium baterai, lokasinya persis di depan smelter tembaga yang dibangun Freeport di Gresik.

Kita juga sedang membangun pabrik Anoda di Morowali juga dengan kapasitas 80 ribu ton, dimana pabriknya belum selesai tapi 100 persen produknya sudah dipesan semua. Mereka tidak perlu pusing mencari pembeli.

Antam juga saat ini sedang memfinalkan negosiasi dengan CATL dan LG Chemical, dua perusahaan baterai terbesar di dunia, untuk membangun ekosistem baterai lithium dari hulu sampai hilir.

Tidak mudah untuk meyakinkan para investor tersebut, dan negosiasi bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Untuk pabrik baterai sendiri, Indonesia akan memiliki pabrik baterai lithium (cell dan pack) pada tahun depan, saat pabrik baterai lithium yang dibangun LG dan Hyundai selesai konstruksi.

Kapasitasnya sekitar 10GWh, cukup untuk membangun 120ribu mobil EV. Kami sudah melakukan mapping supply chain untuk baterai lithium dan mana saja target investasi yang akan kita peroleh.

Sebagai Deputi Investasi dan Pertambangan di Kemenko Marves, saya banyak bertemu dengan berbagai macam investor baik dari sektor keuangan ataupun pemain dalam industrinya. Dari berbagai pertemuan tersebut, semuanya menyatakan apresiasi atas transformasi struktural melalui hilirisasi nikel ini.

Tidak sedikit yang menyampaikan minatnya untuk melakukan investasi tambahan meskipun bukan dalam sektor nikel. Saat ini Pemerintah sedang memproses investasi strategis dalam bidang petrokimia, solar panel dan fiberglass. Semuanya memiliki turunan industri yang sangat banyak

Dalam pertemuan dengan Managing Director IMF Kristalina Georgieva pada Rabu, 9 Agustus 2023 yang lalu, ia menyampaikan apresiasi terhadap program hilirisasi nikel yang sudah dilakukan oleh Pemerintah yang sudah berkontribusi signifikan terhadap perekonomian dan stabilitas makro Indonesia. Beliau juga menyampaikan permintaan maaf kepada Pemerintah Indonesia melalui Menko Marves Luhut Panjaitan, jika laporan IMF yang keluar baru-baru ini menimbulkan polemik di Indonesia.

Jika dunia internasional saja mengapresiasi upaya Presiden Jokowi melakukan hilirisasi ini, sangat disayangkan masih ada orang-orang di dalam negeri yang mengkritik tanpa dasar, apalagi sampai menyatakan Presiden Jokowi telah menyampaikan data yang menyesatkan.

Terakhir, ada satu pertanyaan yang cukup banyak saya peroleh akhir-akhir ini, yaitu bagaimana kelanjutan program hilirisasi dan transformasi ekonomi setelah Presiden Jokowi selesai pada tahun 2024?

Pertanyaan seperti ini cukup bertubi tubi saya terima. Jawabannya tentu saja akan berlanjut karena ini sudah menjadi program pemerintah. Meskipun saya tidak tahu apakah para investor ini puas dengan jawaban saya.

Masih banyak kekurangan dari program hilirisasi yang kita lakukan saat ini, oleh karena itu kritik dan masukan tetap kami butuhkan. Tentunya dengan dasar dan analisis yang jelas dan tidak asal tuduh apalagi sampai menyebutkan data yang Presiden Jokowi sampaikan menyesatkan.


*) Septian Hario Seto adalag Deputi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves.

 

Copyright © ANTARA 2023