Jakarta (ANTARA) -
Direktur Bina Kualitas Pelayanan Keluarga Berencana Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Martin Suanta mengatakan bahwa pemberian insentif pada kader Keluarga Berencana (KB) dapat bisa mengatasi kebutuhan KB yang tidak terpenuhi atau unmet need untuk mencegah stunting.
 
"Selama ini kan kendalanya, tugas kader itu berat, tidak dikasih honor yang layak, terkadang satu bulan hanya sekadar ongkos. Jadi diharapkan pemerintah mampu memberikan anggaran yang cukup besar kepada kader, ini belum ada sama sekali, ini kebaikan bupati/wali kota, bagaimana mereka menganggarkan," kata Martin di Jakarta, Senin.
 
Adapun berdasarkan hasil Indikator Kinerja Utama (IKU) 2022 BKKBN, angka kebutuhan KB yang tidak terpenuhi masih tinggi, yakni 14,7, sedangkan target seharusnya yakni 8, padahal terkait dengan stunting, salah satu faktor yang perlu dipenuhi yakni menjaga jarak kelahiran.
 
"Sebenarnya banyak yang sudah dilakukan BKKBN ya, misalnya kebutuhan KB yang tidak terpenuhi, kita sudah mempunyai alat kontrasepsi secara gratis kepada akseptor, hanya saja kita juga butuh yang mandiri, private, atau swasta, diharapkan juga mampu melakukan KB dengan pembiayaan sendiri," katanya.

Baca juga: BKKBN: Juang Kencana beri warisan penguatan KB untuk turunkan stunting
 
Ia menyebutkan selama ini kader belum ada yang mendapatkan insentif layak dari pemerintah daerah.
 
"Jadi insentif kader ini tidak ada anggaran dari pusat, tetapi kebijakan pemerintah daerah, selama ini luar biasa kerja bakti, karena kader KB ini dulunya mungkin orang-orang BKKBN, kader-kader PKK, yang peduli terhadap lingkungan, bagaimana penduduk tidak booming, tumbuh seimbang, tidak ada kelahiran yang sangat tinggi, tidak ada anak-anak yang kurang gizi, kerja mereka tanpa pamrih, luar biasa," ujar dia.
 
Ia mengatakan pemerintah perlu saling berkolaborasi mempersiapkan insentif kader yang layak, demi mengawal akseptor KB agar tidak lepas pakai dalam ber-KB.
 
"Pemerintah seharusnya melihat ini, ada di APBD untuk mempersiapkan para kader supaya layak, jadi kerjanya bukan hanya tanpa pamrih, tetapi mereka juga layak menerima insentifnya, kalau uangnya cukup, saya yakin mereka bisa mengawal. Jadi dikawal betul akseptor mereka tidak lepas-pakai KB-nya," kata dia.

Baca juga: BKKBN: Kebutuhan KB tidak terpenuhi picu kehamilan tak direncanakan
 
"Perlu insentif, mereka kerja sudah luar biasa, lho, kalau mengawalnya per desa, per RW, kita terus kawal mereka, masyarakat KB nya apa, satu RW berapa sih orang yang dibutuhkan, berapa insentifnya, jadi harus ada kolaborasi juga dengan pemda," kata Martin.
 
Menurut dia, apabila insentif kader terpenuhi, maka angka drop out atau lepas-pakai KB bisa teratasi.
 
"Ini perlunya kader-kader KB di lapangan mengawal akseptor-akseptor yang pelaksanaannya kadang hanya ada pada event nasional tertentu sekali waktu, jangan-jangan ada akseptor yang masih mau melakukan itu karena hanya ingin mendapatkan uang transport, setelah itu lepas tidak diteruskan, dan dia tidak ber-KB, ini yang masih harus terus kita lakukan edukasi dan sosialisasi pada teman-teman kader di lapangan," tuturnya.

Baca juga: BKKBN: Kader KB dan TPK selamatkan bangsa dari "aging population"
 
Untuk itu, kata dia, pemerintah pusat terus berkolaborasi dengan pemerintah daerah untuk memberikan insentif pada kader demi mengurangi angka lepas-pakai KB bisa terkendali, sehingga angka stunting juga bisa diturunkan.

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2023