Karena bidang yang saya tekuni adalah sastra, maka lewat sastra inilah saya wakafkan hidup saya,
Bondowoso (ANTARA) - Belajar menulis karya sastra? Jangankan menulis, menikmati sastra sebagai bacaan saja, bagi kebanyakan orang terasa memberatkan.

Karena itu, sastra menjadi berjarak dengan masyarakat atau pelajar di kalangan generasi muda. Sastra kemudian menjadi konsumsi kalangan tertentu.

Seorang penyair yang juga akademikus dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Dr. Tengsoe Tjahjono berusaha membuat formula bagaimana sastra itu menjadi sesuatu yang terasa mudah diselami oleh banyak orang, baik sebagai penikmat maupun mereka yang ingin menulis.

Banyak orang memiliki ide-ide kreatif untuk ditulis menjadi cerita pendek (cerpen) atau menjadi karya puisi, tapi ide itu hanya berputar-putar di otak dan beberapa hari kemudian menguap ditelan keriuhan dari rutinitas pemilik ide.

Kegundahan melihat sastra yang terus berjarak dengan masyarakat itu membawa Tengsoe untuk berpikir dan menemukan formula menulis sastra yang ringan, namun tidak mengurangi esensi sastranya.

Pria kelahiran Jember dan besar di Banyuwangi, Jawa Timur, ini kemudian menemukan ide menulis serba 3, yakni cerita pendek 3 paragraf atau pentigraf, cerita 3 kalimat (tatika), puisi 3 bait, dan puisi 3 baris atau putiba.

Selain memberi ruang bagi mereka yang ingin mengabadikan ide-idenya dalam wujud tulisan, Sastra 3 itu ternyata juga menjadi jawaban atas kegelisahan banyak orang pada era serbatergesa-gesa ini.

Dengan format pendek itu, memungkinkan seseorang menulis karya di tengah kesibukannya yang superpadat. Karya semacam ini juga memudahkan pembaca menikmati sastra di sela waktu yang berputar cepat.

Pergulatan Tengsoe dalam menemukan formula sastra yang bersahabat dengan perkembangan zaman tampaknya akan berakhir dalam posisinya sebagai pegawai negeri sipil karena pria kelahiran 3 Oktober 1958 ini akan memasuki pensiun sebagai dosen PNS per 1 November 2023.

Meskipun demikian, pengelola Komunitas Kampung Pentigraf Indonesia, Teras Putiba Indonesia, dan Desa Tatika Indonesia ini menyatakan tidak ada kata pensiun untuk urusan sastra.

Lelaki berambut sebahu itu menegaskan bahwa dirinya telah "mewakafkan" hidupnya untuk kebaikan orang banyak.

"Karena bidang yang saya tekuni adalah sastra, maka lewat sastra inilah saya wakafkan hidup saya," kata Tengsoe dalam perbincangan dengan ANTARA.

Bersamaan dengan masa akan memasuki pensiun itu, Tengsoe juga akan bertambah usia dan berulang tahun pada Oktober mendatang.

Bagi dia, bertambahnya usia bukan sekadar angka, melainkan menjadi waktu untuk berefleksi atas perjalanan diri. Jika apa yang selama ini dijalani merupakan sebuah kesalahan, maka dia mengubahnya menjadi lebih baik.

"Saya dari dulu memang tidak pernah menempatkan diri dengan membawa kultur kampus saat bersama dengan masyarakat. Saya bergaul dengan orang secara apa adanya sebagai manusia. Itu membuat saya lebih bahagia," kata penulis sejumlah buku sastra dan ilmiah itu.

Dalam bahasa lain, Tengsoe selalu ingin menyederhanakan sesuatu, termasuk dalam urusan sastra agar lebih banyak orang bisa menikmati. Gelar doktor bukan malah menjadi beban tambahan baginya untuk menebar kebaikan.

Masih terkait berbagi kebahagiaan, menyambut ulang tahunnya yang ke-65, Tengsoe mengundang para sastrawan se-Indonesia untuk membuat dan mengirim puisi dengan tema mengenai "Usia dan Waktu".

Puisi yang terkumpul itu akan diterbitkan dalam bentuk buku dan akan diluncurkan pada ulang tahunnya, Oktober mendatang.

Tengsoe mengajak para sastrawan untuk berefleksi mengenai usia dan waktu, yang ditulis dalam format puisi. Refleksi dalam kumpulan puisi itu akan menjadi warisan bagi anak muda untuk tidak menyia-nyiakan waktu, dengan terus berkarya.

Lelaki yang aktif di Dewan Kesenian Malang (DKM) dan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) itu berseloroh bahwa perjalanan hidup itu sesungguhnya setiap saat kita meniti "Shirothol mustaqim", yakni titian super tipis, yang dalam agama disebut setipis rambut dibelah tujuh. Karena tipis dan licinnya jembatan itu, manusia harus selalu berhati-hati dalam bersikap dan bertindak dalam menjalani kehidupan.

Sementara itu, pakar sastra Dr. Sutejo menilai Tengsoe Tjahjono adalah penyair yang gigih dan konsisten dengan dunia sastra. Konsep dan genre sastra baru yang dikembangkan oleh Tengsoe, yakni Sastra 3 adalah buah dari kegigihannya dalam berkarya dan berinovasi di bidang yang ditekuninya.

Karena itu, Tengsoe layak menjadi panutan bagi generasi muda yang ingin menggeluti sastra untuk belajar. Kaum muda tidak saja belajar menulis karya sastra pada Tengsoe, tapi juga pada semangatnya yang selalu membara dan tidak pernah padam oleh waktu dan rintangan.

Tengsoe, bagi Sutejo adalah sastrawan yang rendah hati, selalu bersahabat dengan siapa pun, dan selalu menumpahkan sikap yang penuh cinta serta perhatian.

Bukan hanya sebagai sastrawan, Tengsoe juga dikenal sebagai guru dan motivator yang kehadirannya membawa suasana batin menyenangkan, bersikap humoris, dan selalu berpenampilan santai. Gelar doktor yang disandangnya tidak menghalangi dia untuk duduk bersama dengan siapa pun, termasuk yang baru belajar menulis karya sastra.

Kalau kehadiran sastra diyakini bermanfaat untuk pembentukan karakter seseorang menjadi lebih humanis, Tengsoe telah menunjukkan manfaat itu. Ia terus istikamah mengajak banyak orang tidak lelah berlatih menulis karya sastra, khsusunya dengan Sastra 3 yang dikembangkannya.






 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023