Jakarta (ANTARA) -
Sebuah motor roda tiga dengan bak pengangkut tersandar pada halaman kantor yang terletak di sudut Kampung Pulo Kambing, Cakung, Jakarta Timur. Di sekeliling motor tersebut, terlihat tumpukan sampah yang sudah dipilah-pilah dan dikelompokkan sesuai jenisnya, mulai dari botol, plastik, gabus sintetis (styrofoam), dan lain sebagainya.
 
Selang beberapa menit, seorang lelaki menyembul dari balik tumpukan sampah dan terlihat sibuk memindahkan beberapa bagian sampah ke dalam bak pengangkut. Sambil tersenyum, ia masuk ke dalam kantor dan keluar bersama sosok perempuan yang mengenakan baju biru tua dan kerudung merah jambu.
 
Perempuan ini bernama Vera Nofita. Sosok ibu muda yang gerak-geriknya gesit, namun penuh kehangatan ini, adalah pemilik Yayasan Pulo Kambing dan inisiator Bank Sampah Gunung Emas yang pada Bulan Juni 2023 mendapatkan penghargaan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar sebagai bank sampah terbaik tingkat nasional.
 
Di dalam kantor yang lebih pas disebut sebagai rumah karena terasa sejuk dan menenangkan tersebut, Vera mengisahkan perjalanannya membuat bank sampah yang awalnya ia buat untuk menyelamatkan para ibu di lingkungan sekitarnya dari rentenir panci, sandal, baju sekolah, hingga daster.
Vera Nofita bersama tim saat ditemui di kantor Bank Sampah Gunung Emas pada Senin (19/6/2023). (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)
Awalnya Vera hanya membuat kegiatan menabung rutin, untuk memberdayakan ibu-ibu rumah tangga yang tidak bekerja agar menyisihkan uangnya sedikit demi sedikit untuk masa depan keluarga. Karena, mereka itu ada yang kredit panci, sandal, bahkan daster, baju sekolah, itu mereka kredit. Sehari cicilannya Rp1.000 hingga Rp2.000.
 
Vera mengaku bahwa memang dirinya tidak pernah mengalami hal yang sama seperti para ibu tersebut. Namun, hatinya tergerak karena setelah ia mengulik cerita dari ibu-ibu ini, barang yang dicicil oleh mereka tak hanya satu, melainkan banyak jenis, sehingga ketika dihitung, dalam sehari mereka bisa mengeluarkan uang Rp 50.000 untuk melunasi cicilan barang-barang tersebut.
 
Miris memang ketika mendengar bahwa di sudut ibu kota, masih ada ibu-ibu yang untuk membeli daster saja harus mencicil. Padahal, ketika uang tersebut ditabung dan dikumpulkan, bisa untuk membeli barang lain yang lebih penting secara tunai.
 
Perjuangan Vera tak mudah, karena sebagian besar ibu-ibu ini tidak mau mendatangi rumah ibunya, tempat awal ia menginisiasi koperasi simpan pinjam kecil-kecilan. Namun, langkahnya tak berhenti, ia akhirnya pergi sendiri mengetuk pintu demi pintu dan mengajak ibu-ibu ini menabung, meski hanya Rp1.000 atau Rp2.000 per hari.
 
Hingga ketika koperasinya mulai membesar dan memiliki banyak anggota, ada salah satu ibu yang mendatangi rumahnya, dan menyatakan bahwa ia ingin ikut menabung, tetapi tak punya uang, mengingat sang suami yang bekerja sebagai tukang pelitur harian hanya mendapatkan penghasilan Rp50.000 per pekan.
 
Dari situlah, ia akhirnya membesarkan hati sang ibu tersebut dan mengatakan bahwa ia menerima tabungan dalam bentuk sampah. Meskipun saat itu ia belum paham akan dibuat apa sampah yang terkumpul itu, tetapi ia memiliki keyakinan bahwa setiap sampah yang dikumpulkan pasti memiliki nilai tersendiri.
 
Keyakinan Vera itu muncul karena beberapa waktu sebelum memulai kegiatan koperasi itu, dia melihat beberapa teman yang orang tuanya mengumpulkan botol-botol minum bekas. Di depan rumahnya juga sering ada yang lewat membawa karung kosong, sorenya sudah terisi penuh. Dari itu dia berpikir, ternyata botol itu ada nilainya.
Tumpukan sampah yang telah dipilah berdasarkan jenisnya di halaman kantor Bank Sampah Gunung Emas. (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)
Di tahun 2013 saat internet belum selancar saat ini, Vera memberanikan diri membuat bank sampah tersebut dengan modal yang tak banyak. Dengan modal ponsel dan jaringan internet seadanya, ia menghubungi rekan-rekan sekolahnya, hingga sampailah ia pada seorang kawan yang bekerja di salah satu Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang kemudian menghubungkannya kepada sang pemilik LBH yang diketahui bernama Aulia Prima Kurniawan.
 
Dari Aulia, Vera kemudian dibekali oleh dua orang tim tentang cara membangun bank sampah. Ia mendapatkan bantuan berupa buku, tabungan, buku besar, timbangan sampah, alat tulis kantor (ATK) untuk beroperasi. Dari perjuangan awal itu, usaha Vera mencapai keadaan seperti saat ini.
 
Selama enam bulan dia dilatih bagaimana cara memilah sampah, nilai mana yang bagus, apa dulu yang harus dikerjakan, dan lainnya. Awalnya ia mendirikan bank sampah di tahun 2014.
 
Bukan sekadar bank sampah
Hasil pemanfaatan minyak jelantah (minyak bekas masak) menjadi produk sabun untuk mencuci baju di Bank Sampah Gunung Emas. (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)
Bank sampah hanyalah satu titik mula yang membawa Vera dan beberapa orang timnya untuk berjuang memberdayakan para perempuan dan ibu-ibu rumah tangga agar memiliki nilai lebih dan kepercayaan diri bahwa setiap orang itu berharga.
 
Vera memang tidak menjanjikan pendapatan secara rutin kepada timnya, tetapi tim yang sebagian besar ditemukannya di bawah pohon menunggu kedatangan tukang sandal dan daster kredit, dengan muka berkerut karena cicilan yang menumpuk, kini dapat tersenyum lebar dan menebar kebaikan serta pengetahuan yang didapatkannya selama mengikuti pelatihan dan pembinaan yang difasilitasi oleh Bank Sampah Gunung Emas.
 
Kini, ada kurang lebih 15 orang ibu yang berhasil ditempa dan diberdayakan oleh bank sampah tersebut. Ada yang menjadi pengelola keuangan yang mengatur alur kerja sama bank sampah dan koperasi milik Yayasan Pulo Kambing yang sudah mendapatkan legalitas hukum, beberapa menjadi pembicara, bahkan ada juga yang telah melebarkan sayapnya di kota lain untuk memberdayakan lingkungannya dengan hidroponik.
Tanaman kangkung hidroponik di lantai dua kantor Bank Sampah Gunung Emas. (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)
Ia terus memotivasi ibu-ibu ini untuk mengikuti pelatihan dan belajar, dengan ongkos yang diberikan dari pendapatan uang di bank sampah, melatih mereka agar mendapatkan sertifikat, dan memiliki ilmu yang cukup untuk menghidupi keluarga, atau paling tidak menjadi bekal bagi dirinya sendiri.
 
Vera berkaca pada pengalaman dirinya sendiri dan menyadari bahwa seorang perempuan yang sehari-harinya menjadi ibu rumah tangga, tidak bekerja, dan sibuk mengurus anak bukanlah hal yang buruk dan bisa dipandang sebelah mata, tetapi pada setiap diri perempuan ada nilai yang berharga, dan sekali waktu juga membutuhkan ruang untuk bertemu dengan orang, sekadar bercerita, dan berdiskusi.
 
Tetapi ketika keluar dari rumah, bagi Vera, kita juga harus punya kedewasaan, tidak boleh sedikit-sedikit terlalu terbawa perasaan (baper), juga tidak boleh langsung menceritakan segala problematika yang ada di diri kita kepada orang lain, tetapi bagaimana kita keluar itu untuk menyerap segala informasi yang kita butuhkan, dan ditularkan ke dalam keluarga dalam bentuk kebaikan.
 
Sampah hanyalah satu titik kegiatan. Di balik itu ada misi yang ingin ditularkan Vera, tentang bagaimana ibu rumah tangga harus pandai mengatur uang, bagaimana agar tidak konsumtif, dan tidak boleh mengutuk anak ketika diselimuti rasa marah dan emosi.
 
Sadar bahwa ibu-ibu menengah ke bawah yang tingkat ekonominya rendah cenderung meluapkan perasaannya secara berlebihan, ia berpesan ketika marah kepada anak juga harus disertai dengan kata-kata yang mengubah umpatan menjadi harapan dan doa.
 
Bagaimana caranya agar yang keluar itu harapan dan doa kepada anak itu disadari Vera memang tidak mudah, tetapi bisa dimulai dengan hal-hal yang kecil, misalnya, "Ya ampun, ini calon presiden, kok begini ya?" Dengan ungkapan seperti itu, maka emosi seorang ibu telah diubah menjadi doa.
 
Bank sampah bagi Vera hanyalah titik mula untuk kebaikan-kebaikan lain, dan lebih besar dari itu, ia merasa memiliki tanggung jawab untuk mengubah pola pikir para perempuan di sekitarnya.
 
Maka dari itu, dia menekankan kalau bank sampah itu jangan dikerjakan laki-laki. Kaum perempuan, ibu rumah tangga yang di rumah bisa melakukan pemilahan sampah. Dengan sampahnya dipilah, berarti anggota keluarga di rumah itu sehat, tidak akan terkena demam berdarah dan penyakit lainnya.

Menurut Vera, kalau anggota keluarga sakit, uang yang keluar lebih banyak. Biasanya, kalau sudah sakit dan banyak pengeluaran akan teriak-teriak meminta bantuan pada pemerintah, padahal sakit itu bermula dari baskom sisa cucian piring yang dibiarkan menggenang. Hal sederhana seperti itu yang harus diubah pelan-pelan.
 
Di bank sampah yang didirikannya, Vera berusaha menjadi kawan, tempat berdiskusi, dan saling belajar untuk memahami nilai diri perempuan, mulai dari ajakan untuk hidup sehat karena dengan sehat, maka pengeluaran keluarga bisa disimpan untuk hal-hal yang lebih penting dan berguna dalam jangka panjang, hingga berinvestasi untuk pendidikan anak dan kesehatan bagi keluarga.
 
Melalui bank sampah ini pula, Vera mengajak para perempuan di luar sana untuk memerdekakan pikiran dari belenggu barang-barang konsumtif yang tak ada nilainya dan mengajak untuk mulai menabung ilmu, pengalaman, dan pengetahuan demi masa depan keluarga ke depannya.

Vera juga mengajak para ibu untuk senantiasa bersyukur dan menerima berapa pun rezeki yang didapatkan dari Tuhan, dan berusaha semaksimal mungkin untuk menyisihkan dan menabungnya untuk kesejahteraan keluarga di masa depan.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023