Padang (ANTARA) - Pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Sumatera Barat Prof Zefrizal Nurdin menjelaskan sejumlah dilema yang muncul terkait aturan yang mengatur tentang tanah ulayat di masyarakat.

"Dilema yang pertama yakni persoalan sertifikasi," kata Prof Zefrizal saat pengukuhan dirinya sebagai guru besar dengan orasi ilmiah berjudul "Dilema pengaturan tanah ulayat dalam hukum negara" di Padang, Selasa.

Prof Zefrizal menjelaskan dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 9 Tahun 2015 dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan bahwa tanah ulayat menjadi objek untuk disertifikatkan.

"Berbagai pihak terutama ahli agraria memprotes aturan tersebut, salah satunya ahli agraria Maria Sri Wulan Sumardjono di Yogyakarta. Alasannya, jika tanah ulayat disertifikatkan maka akan mudah diperjualbelikan atau dialihkan," ujar guru besar pada Fakultas Hukum Unand ini.

Dia mengatakan bahwa bari polemik dan protes tersebut lahirlah Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 19 Tahun 2019 yang menyatakan tanah ulayat perlu dibuat penatausahaan. Dengan kata lain, tanah cukup diukur dan dipetakan kemudian dimasukkan ke dalam daftar buku tanah tanpa berujung keluarnya sertifikat.

Sementara di sisi lain, kata dia, merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 disebutkan bahwa tanah ulayat bisa disertifikatkan dengan dasar hukum hak pengelolaan lahan (HPL).

"Nah, nanti di atas HPL bisa diberikan HGU (hak guna usaha). Artinya, jika pemegang HPL ingin menjadikan tanah ulayat sebagai hak tanggungan maka PP Nomor 18 Tahun 2021 memberikan kesempatan atau peluang bahwa HGU bisa ditaruh di atas HPL," ujarnya.

Padahal, kata Prof Zefrizal, merujuk pada Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa HGU tidak bisa di atas HPL, dan hanya bisa tanah yang langsung dikuasai oleh negara.
 

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2023