Jakarta (ANTARA) - Permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI khususnya untuk Pasal 53 yang mengatur masa pensiun prajurit tercatat dalam Buku Register Perkara Mahkamah Konstitusi.

Para pemohon uji materi itu merupakan satu perwira tinggi TNI, Laksamana Muda (Laksda) TNI Kresno Buntoro (Pemohon I) yang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI, kemudian perwira menengah Kolonel Chk Sumaryo (Pemohon II), Serka Suwardi (Pemohon III), dan tiga purnawirawan TNI, Kolonel (Purn.) Lasman Nahampun (Pemohon IV), Kolonel (Purn.) Eko Haryanto (Pemohon V), dan Letda (Purn.) Sumanto (Pemohon VI).

"Perkara sudah diregistrasi pukul 13.00 WIB, Senin (21/8)," kata Kuasa Hukum Pemohon Viktor Santoso Tandiasa saat dihubungi di Jakarta, Selasa.

Dia menjelaskan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi mengatur sidang pertama ditetapkan paling lama 14 hari sejak perkara masuk dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK).

"Setelah permohonan dinyatakan lengkap dan diregistrasi dalam BRPK, MK akan menetapkan hari sidang pertama dalam dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja. Artinya, penetapan jadwal sidang pertama dimaksud adalah paling lambat 14 hari kerja sejak diregistrasi, sedangkan sidang pertama itu sendiri dapat dilakukan lebih dari 14 hari kerja," demikian penjelasan MK dalam Hukum Acara Konstitusi yang diterbitkan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK pada 2010.

Baca juga: Andi Widjajanto: Revisi UU TNI perkuat konsolidasi demokrasi

Baca juga: BEM Indonesia gelar konsolidasi nasional kaji revisi UU TNI


Dalam permohonan uji materi itu, para pemohon mengajukan tiga opsi kepada Mahkamah Konstitusi, yaitu memperpanjang masa pensiun prajurit yang semula 53 tahun untuk bintara dan tamtama, serta 58 tahun untuk perwira menjadi 60 tahun untuk seluruh prajurit TNI, atau memperpanjang masa usia pensiun menjadi 60 tahun untuk perwira dan 58 tahun untuk bintara dan tamtama, atau masa pensiun dapat diperpanjang sampai dengan 60 tahun bagi seluruh perwira sepanjang masih dibutuhkan untuk kepentingan pertahanan negara.

Setidaknya ada delapan alasan para pemohon meminta perpanjangan masa pensiun, di antaranya mereka menilai perlunya ada keseragaman masa dinas antara prajurit dan abdi negara lainnya seperti anggota Polri, ASN, jaksa, guru/dosen, dan hakim. Para pemohon juga melampirkan hasil penelitian mereka yang membandingkan dengan masa pensiun di lebih dari 40 negara rata-rata 60 tahun.

"Berpijak pada data-data tersebut, maka batas usia pensiun prajurit TNI tentunya harus disesuaikan setidaknya paling rendah 60 tahun. Penyesuaian batas usia pensiun prajurit TNI bisa untuk memenuhi kebutuhan personil yang mempunyai kematangan usia secara lebih dewasa, paham tentang berbagai masalah atau tantangan yang dihadapi oleh TNI," kata kuasa hukum para pemohon.

Gugatan terhadap pasal yang sama pernah diajukan oleh pensiunan TNI bersama lima orang lainnya pada November 2021. MK pada 29 Maret 2022 menolak permohonan itu, karena alasan kebijakan terkait masa pensiun merupakan open legal policy yang menjadi ranah pembuat undang-undang. Oleh karena itu, MK dalam putusan-nya juga memerintahkan pembentuk undang-undang merevisi UU TNI dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Baca juga: Panglima akan rapat dengan Menhan terkait revisi UU TNI

Terkait itu, Viktor menjelaskan permohonan yang diajukan saat ini juga karena revisi UU TNI juga tidak kunjung dibahas oleh pembuat undang-undang.

"Karena tidak adanya political will dari pembentuk undang-undang, ya kami mengajukan permohonan ini," ujar Viktor.

Tidak hanya itu, ada perkembangan di MK yang mana hakim konstitusi juga dapat ikut serta dalam ketentuan yang bersifat open legal policy, misalnya, dalam permohonan uji materi aturan batas usia pimpinan KPK yang diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.

"Itu seharusnya open legal policy, tetapi MK mengambil peran itu," ucap Viktor.

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023