... untuk melalui fase transisi ini, remaja perlu penopang untuk bersandar agar tidak jatuh dalam tindakan negatif atau kriminal.
Bondowoso (ANTARA) - Kisah remaja ini, sebut saja Ani, bisa menjadi bahan renungan mengenai fenomena tekanan mental yang dialami kaum remaja saat ini. Ani, kini berhasil meraih keinginannya mengenyam pendidikan tinggi atau kuliah setelah lulus dari sekolah menengah kejuruan (SMK).

Dulu, ketika masih kelas 2 di SMK, dia gundah memikirkan masa depannya yang dianggap tidak jelas. Kegundahan batinnya itu lebih membuncah ketika dia kelas 3 dan hampir lulus.

Pikirannya, setelah lulus sekolah tingkat menengah atas ini mau ke mana? Keinginan dia adalah kuliah, sebagaimana teman-teman sebaya atau sosok remaja lain yang dia baca dan lihat di berbagai media.

Memikirkan keinginan itu, Ani bukannya tenang, malah bertambah gundah. Biaya dari mana dia mau kuliah? Orang tuanya tidak mampu untuk membiayainya kuliah. Sudah bisa lulus dari SMK saja, di luar perkiraan, begitu pikirnya.

Hampir setiap malam, yang terpikir dalam batin Ani adalah bayangan buram kehidupan, yaitu menjadi seperti saudara-saudara atau tetangganya, yang setelah lulus SMA kemudian menikah. Jika begitu, pupus sudah harapan Ani untuk kuliah.

Jika ingin terlepas dari bayangan menikah di usia dini yang biasanya berujung dan lekat dengan percekcokan suami istri, kekurangan secara ekonomi dan lainnya, Ani hanya membayangkan bekerja menjadi pelayan di toko di kota. Pilihan lainnya adalah ikut keluarga dekatnya bekerja di luar pulau.

Allah mendengar jeritan hati kecil Ani yang dia panjatkan di malam-malam buta saat manusia yang lain terbuai dalam mimpi. Singkat cerita, Ani kemudian mendapatkan jalan untuk kuliah lewat beasiswa KIP Kuliah sehingga tidak perlu membebani orang tuanya.

KIP Kuliah adalah fasilitas yang disediakan oleh negara untuk memfasilitasi anak-anak berprestasi di sekolah, namun tidak memiliki biaya untuk kuliah.

Kini Ani sudah menikmati bangku kuliah, tentu di dalamnya ada juga anak-anak orang kaya, dengan fasilitas melimpah.

Jiwa sentimental Ani sering muncul saat dia sadar sudah berstatus mahasiswa. Status yang sungguh mewah di desa tempat asalnya. Dia sering menangis, kemudian puji-pujian dia haturkan ke Haribaan Rob pemilik alam semesta raya dan segala ketentuannya.

"Terima kasih Gusti. Alhamdulillah," begitu ia bergumam lirih, sambil mengusap air matanya yang meleleh, di sela-sela aktivitas kuliah.

Dulu, Ani gundah karena putus asa membayangkan tidak mungkin bisa kuliah. Kini, setelah bisa kuliah, bukannya kegundahan itu pergi. Malam-malam di tempat kosnya yang sederhana, ia masih sering dihinggapi rasa gelisah yang sering sumbernya tidak jelas.

Hal-hal yang semestinya tidak perlu menjadi pikiran bagi Ani, justru dia pikirkan. Dia sadar bahwa itu tidak perlu dipikir, tapi dia juga tidak mampu menolak. Misalnya, dia melihat teman-teman seangkatan di kelasnya sangat brilian. Saat ada kesempatan bertanya pada dosen, dia merasa teman-temannya sangat pintar.

Kalau dulu, gundah karena membayangkan tiadanya peluang untuk mewujudkan harapan, kini gundah karena terpaan rasa minder. Bisakah saya terus mengikuti kuliah ini sampai selesai atau wisuda, begitu pikirnya.

Sebetulnya, pertanyaan batinnya itu sudah ada jawaban. Bagian lain dalam dirinya menjawab, "Aku pasti bisa. Apa yang tidak mungkin jika semuanya bersandar pada kuasa Allah. Semua pasti bisa dilalui".

Tetap saja suara batin yang menggelisahkan itu kembali datang. Ada perang batin dalam diri Ani, si mahasiswa beruntung ini.

Kasus yang dialami Ani bukan khas atau derita khusus yang hanya dialami mahasiswa semester pertama ini. Kegelisahan ini merupakan fenomena umum kaum remaja yang secara psikologis memang rawan terkena tekanan mental.

Secara umum, ada perubahan-perubahan pola pikir yang dialami kaum remaja ini sehingga sering terjebak dalam tekanan mental. Salah satunya adakah karena overthinking, semua masuk dalam pikirannya sehingga pikirannya penuh dengan berbagai persoalan.

Jangankan sesuatu yang betul-betul dialami oleh remaja, seperti gelisah karena sering dimarahi oleh orang tua atau ada konflik dengan teman, sesuatu yang tidak begitu jelas saja juga menjadi masalah.

Seperti yang dialami oleh Ani di atas, semua itu hanya kesimpulan atau malah bayangan di pikirannya. Soal merasa tidak sepintar teman-temannya dan grogi mengajukan pertanyaan kepada dosen, sejatinya itu hanya bayangan di pikirannya.

Semua yang dialami itu bukan fakta yang sesungguhnya sehingga juga tidak perlu diselesaikan. Justru yang harus diselesaikan itu adalah bagaimana si remaja ini berdamai dengan dirinya. Menerima diri apa adanya. Bahwa tidak ada manusia yang sempurna dalam segala hal.

Contoh kasus dialami "remaja akhir" yang membunuh adik tingkatnya. Hasil penyidikan menunjukkan bahwa pelaku merasa iri dengan sejumlah prestasi dan tampilan korban di media sosial.

Iri ini bukan persoalan sesungguhnya dan penyebabnya harus diselesaikan di luar dirinya, misalnya, melarang korban untuk berhenti berprestasi sehingga tidak lagi menimbulkan iri pada diri pelaku.

Iri adalah bagian gejolak mental yang dihadapi remaja, sebagai bentuk lain dari rasa minder yang dihadapi Ani terhadap teman-teman seangkatannya.

Kalau minder, seseorang terjebak pada ketakberdayaan dan rasa putus asa, sedangkan iri muncul dalam posisi jiwa yang merasa lebih tinggi atau setidaknya setara dengan orang yang dijadikan tempat iri.

Remaja adalah fase transisi seseorang dari masa tuntasnya fase anak-anak menuju ke masa dewasa. Karena itu wajar jika ada pergolakan dalam dirinya. Hanya saja, untuk melalui fase transisi ini, remaja perlu penopang untuk bersandar agar tidak jatuh dalam tindakan negatif atau kriminal.

Sebagai masa transisi, kaum remaja ini merasa sudah mampu mandiri, namun di sisi lain sesungguhnya masih membutuhkan bantuan penopang, setidaknya dari orang tua.

Sebagai pribadi yang baru tahap belajar menapaki fase dewasa, lingkungan harus menjadi penopang kuat bagi seorang remaja dalam berproses untuk mematangkan jiwanya.

Lingkungan itu bisa orang tua atau keluarga dekat dan juga sekolah atau kampus, yakni para guru dan dosen.

Lingkungan keluarga dan sekolah atau kampus harus peka melihat perkembangan anak remaja ini. Keluarga, khususnya bapak dan ibunya, harus menjadi tempat curhat (curahan hati) yang nyaman bagi anak remaja.

Menyikapi keadaan remaja yang mau mencurahkan isi hatinya, orang tua harus ekstrahati-hati agar tidak mudah terjebak pada sikap menghakimi. Anak remaja itu sudah pusing, jangan ditambah pusing dengan penghakiman dan nasihat-nasihat yang tidak berpijak pada jiwa remaja itu.

Jika orang tua menerima curhat anak remajanya, kemudian muncul keinginan untuk memberikan nasihat, segera ditahan, agar tidak sampai terucap. Si anak tidak perlu nasihat. Ia hanya perlu didengarkan. Si anak remaja hanya perlu sarana katarsis untuk menumpahkan unek-unek yang bergejolak dalam batinnya.

Sambil menjadi pendengar yang baik sehingga si orang tua layak mendapat piala semacam "Adipura" (pelestarian lingkungan) atau piala "Citra" dalam perfilman, tunggu sampai si anak memunculkan pertanyaan yang mengarah pada kebutuhan pendapat.

Misalnya, "Kalau menurut pendapat Bapak/Ibu, bagaimana ini?"

Barulah si bapak atau ibunya masuk, namun tetap dengan sikap dan nada tenang. Lagi-lagi yang dibutuhkan si anak bukan nasihat, tapi pendapat. Sebagai pendapat, si bapak atau ibu jangan berharap semuanya akan diterima oleh si anak.

Orang tua menyampaikan pendapatnya bukan dengan cara mengintimidasi anak dan menggunakan kesempatan relasi kuasanya. Pilihan itu bukan menyelamatkan, justru membuat anak bertambah gundah.

Pilihan terbaik bagi orang tua menghadapi anak remaja adalah hanya menjadi pendengar yang baik. Jika orang tua merasa tidak mampu menyelesaikan persoalan remajanya, saat ini ada Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di puskesmas, yang diluncurkan Pemerintah untuk memberikan dukungan psikologis kepada remaja.

Program pendampingan psikologis ini juga sudah di-cover oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Bahkan di rumah-rumah sakit milik pemerintah daerah kini juga sudah menyediakan layanan poli jiwa.

Sementara untuk sekolah, kepedulian pada remaja ini menjadi tugas utama guru Bimbingan Konseling (BK). Meskipun demikian, guru bidang studi lainnya juga sudah selayaknya bersedia mendampingi muridnya bertumbuh menjadi pribadi yang lebih matang.







 

Copyright © ANTARA 2023