Sebenarnya masyarakat yang bersemangat ingin memulai penggunaan PLTS itu banyak.
Jakarta (ANTARA) - "Aku bahagia hidup sejahtera di khatulistiwa/ Alam berseri-seri bunga beraneka/
Mahligai rama-rama, bertajuk cahya jingga
Surya di cakrawala"


Makna mendalam terkandung dalam lagu Zamrud Khatulistiwa ciptaan Guruh Soekarno Putra yang dipopulerkan penyanyi legendaris Chrisye (almarhum). Melalui lagunya, Guruh mengungkapkan rasa syukur atas kekayaan alam Indonesia yang berada di wilayah khatulistiwa.

Rasa syukur sebagai warga yang wilayah negaranya berada di garis ekuator rupanya benar dialami oleh sejumlah warga pengguna pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap off grid atau sistem PLTS yang tidak terhubung jaringan listrik utama Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sinar Matahari yang merata sepanjang tahun khas negara tropis seperti di Indonesia ini tidak mereka sia-siakan untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik penyokong kehidupan sehari-hari.

Seorang warga Kapuk, Jakarta Barat, Nur Rohmandi, telah menjadi pengguna PLTS atap off grid sejak 2019 untuk kebutuhan listrik baik di rumah maupun bengkel elektronik miliknya. Bagi Nur, mengonversi menjadi energi listrik adalah cara terbaik untuk memanfaatkan sinar Matahari.

“Awalnya saya coba-coba,” kata Nur tentang awal perjalanannya sebagai pengguna PLTS off grid. Suatu hari pada 2019 salah satu kawannya bertandang ke rumah Nur dengan membawa panel surya (komponen dari PLTS yang mengubah energi cahaya Matahari menjadi listrik).

Sang kawan bercerita banyak tentang PLTS dengan segala manfaatnya kepada Nur. Setelah itu Nur pun tertarik untuk mencobanya. Dengan bermodal panel surya bekas sebesar 10 watt peak (wp) yang dibeli dari kawannya dan baterai rakitan sederhana, Nur mulai memanfaatkan PLTS untuk memasok listrik pada lampu penerangan rumah sebesar 12 volt. Modal awalnya pun dia keluarkan hanya ratusan ribu rupiah saja.

Awalnya, keluarga Nur masih belum peduli dengan panel-panel surya yang dia pasang. Akan tetapi, mereka mulai paham setelah ada momen pemadaman listrik PLN di lingkungan rumah mereka.

”Mereka heran lampu rumah-rumah tetangga mati, kok lampu di rumah kami hidup sendiri,” kata Nur. Setelah mengerti sumber listrik dari lampu rumah mereka berasal dari PLTS, istri dan anak Nur mulai mendukungnya untuk terus mengembangkan pemanfaatan sinar matahari sebagai sumber listrik.

Bukan hal mudah bagi Nur Rohmandi untuk menjadi pengguna PLTS atap off grid. Harga komponen-komponen yang mahal awalnya dirasa berat oleh keluarga Nur yang menggantungkan bengkel servis elektronik sebagai pemasukan utama.

"Komponen-komponen PLTS seperti panel surya, baterai-baterai penyimpanan listrik yang dihasilkan dan komponen-komponen lainnya harga barunya mencapai ratusan ribu atau bahkan jutaan rupiah," kata Nur.

Akan tetapi, kendala tersebut tidak menghalangi Nur untuk terus mengembangkan pemanfaatan PLTS sebagai sumber energi listrik bagi keluarganya. Dia menyiasati mahalnya instalasi PLTS dengan memasang komponen-komponennya secara mencicil sedikit demi sedikit dan sebagian dibeli dari barang bekas yang berharga lebih miring.

Kini setelah hampir 5 tahun sebagai pengguna, Nur telah menginvestasikan uangnya untuk komponen-komponen PLTS off grid tidak kurang dari Rp10 juta.

Usaha Nur tidak sia-sia. Efisiensi demi efisiensi terus dia tuai seiring semakin besarnya daya produksi PLTS yang dipasang. Dari tagihan listrik PLN yang biasa dia bayar Rp300.000 --Rp400.000 per bulan yang dia bayar setiap bulan, kini dia bisa menghemat hingga 50 persen. Bahkan, bengkel elektronik miliknya kini sepenuhnya menggunakan PLTS sebagai pemasok listrik sehari-hari. Jaringan listrik PLN masih Nur pasang dengan sistem prabayar untuk antisipasi bila PLTS-nya bermasalah.

"Sekarang saya hanya mengisi pulsa token listrik prabayar Rp20.000 setiap bulan, sekadar untuk mengaktifkan listrik dari PLN saja," kata Nur.

Nur bercerita pengalaman lucu usai menjadikan PLTS sebagai sumber utama listrik di bengkelnya. Suatu hari dia didatangi petugas Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) dari PLN karena dicurigai mencuri listrik.

“Mereka heran angka tagihan listrik dari PLN terus merosot drastis dalam beberapa bulan terakhir,” kata Nur. Setelah diberikan penjelasan bahwa kini dia juga menggunakan PLTS off grid   akhirnya petugas P2TL itu bisa memahami situasi tersebut dan tidak jadi menindak Nur.
Yohanes Bambang Sumaryo membersihkan panel-panel surya yang terpasang pada atap rumahnya di Sawangan, Kota Depok, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.

Seperti Nur Rohmandi, seorang warga pengguna PLTS off grid lainnya di Sawangan, Kota Depok, Jawa Barat, Yohanes Bambang Sumaryo juga memulainya dari keisengan pada 2012.

“Pertama kali pasang 180 watt, masih pakai baterai otomotif dan sistem pake DC,” kata pria pensiunan salah satu perusahaan swasta itu. Karena masih coba-coba dan dengan pengetahuan seadanya, sistem PLTS yang Yohanes pasang akhirnya jebol.

Menyerah bukan akhir bagi Yohanes. Selama 2 tahun dia mempelajari secara lebih serius dan terus melakukan trial and erorr.

Setelah itu, Yohanes akhirnya memasang PLTS secara on grid (sistem PLTS terhubung dengan jaringan listrik utama PLN) pada 2014.

“Awalnya saya pasang PLTS sebesar 4.000 wp,” kata Yohanes. Ketika itu PLTS-nya masih memasok sekitar 40 persen dari kebutuhan listrik harian di rumah Yohanes yang memiliki daya 2.200 volt ampere (VA). Namun, seiring meningkatnya pemakaian listrik harian, persentase kontribusi listrik dari PLTS on grid-nya pun turun menjadi sekitar 25 persen.

Yohanes merasa kurang puas dengan sistem on grid karena dia tidak bisa secara bebas menambah kapasitas produksi PLTS-nya. Oleh karena itu, mulai 2020 Yohanes memutuskan untuk mengalihkan sistem PLTS-nya dari on grid menjadi sistem off grid. Dengan begitu Yohanes dapat menambah kapasitas produksi PLTS-nya seiring dengan semakin bertambahnya pemakaian listrik harian di rumahnya.

Selain itu, dengan mengalihkan menjadi sistem off grid maka listrik dari PLTS atap milik Yohanes pun bisa dimanfaatkan dalam 24 jam. “Saat masih on grid, listrik dari PLTS hanya bisa saya manfaatkan saat pagi hingga sore hari saja dan kelebihan produksi listrik harus dipasok kembali ke jaringan PLN,” kata dia.

Saat malam pasokan listrik pun harus dialihkan ke jaringan utama milik PLN. Kini setelah beralih ke off grid, kelebihan listrik produksi dari PLTS off grid milik Yohanes pada siang hari dapat disimpan dalam baterai dan dimanfaatkan sendiri saat malam hari.

Setelah sekitar sepuluh tahun menjadi pengguna PLTS atap, kapasitas panel suryanya kini telah mencapai 12.000 wp. “Saat cuaca cerah, listrik yang diproduksi panel surya saya bisa memenuhi kebutuhan harian rumah kami 100 persen,” kata Yohanes.

Hanya saat kondisi cuaca hujan seharian saja, Yohanes menggunakan listrik PLN sekitar 20 persen untuk menutupi kekurangan karena sinar matahari kurang maksimal untuk produksi listrik dari panel suryanya.

Hingga saat ini Yohanes telah menginvestasikan uang sekitar Rp200 juta untuk seluruh instalasi PLTS atapnya. Meski sudah banyak uang yang dikeluarkan untuk PLTS, dia mengklaim sudah balik modal pada tahun ke-8 sebagai pengguna PLTS.

Menurut Yohanes, nilai investasi PLTS atapnya sudah setara dengan efisiensi dari angka tagihan listrik yang PLN selama delapan tahun itu yang sebelumnya rutin dia bayar setiap bulan.

“Kini setelah balik modal, saya tinggal menuai keuntungan,” kata Yohanes sambil membersihkan panel-panel suryanya yang umur pemakaiannya masih bisa sekitar 10 tahun lagi.

Rumah Yohanes sebagai pengguna PLTS off grid semakin mencolok dengan banyaknya panel surya di atap rumahnya. Kondisi itu mendorong banyak tetangga di perumahan untuk bertanya karena penasaran.

Ada yang terinspirasi untuk ikut memasang PLTS karena tertarik dengan manfaat dan keuntungannya. “Banyak juga yang mundur perlahan karena menilai untuk memasangnya membutuhkan biaya mahal,” kata Yohanes. Padahal, itu adalah investasi yang akan mereka tuai setelah waktu tertentu.

Untuk memulai, calon pengguna bisa memasang dari PLTS dengan daya kecil terlebih dahulu. “Kalo memang punya niat, pasang saja dengan sistem yang kecil dulu agar punya feeling,” kata dia. Kedua, pelajari dan coba mengerti konsep sistem PLTS secara benar. Dengan begitu, menurut Yohanes, semangat untuk menggunakan PLTS sebagai sumber energi dapat terjaga.
Panel-panel surya PLTS terpasang di atap rumah milik Riky di Duren Sawit, Jakarta Timur, DKI Jakarta. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.


PLTS untuk lingkungan yang lebih baik

Berbeda dengan Nur dan Yohanes, seorang warga Duren Sawit, Jakarta Timur, Riky mengawali perjalanannya sebagai pengguna PLTS atap off grid dari semangat berkontribusi menciptakan lingkungan yang lebih baik.

Energi surya adalah salah satu solusi untuk menciptakan lingkungan udara yang baik dan sehat untuk warganya. Selama bertahun-tahun dia mengaku geram dengan langit udara Jakarta yang selalu berselimut kabut polusi.

“Saya memimpikan langit Jakarta dapat kembali biru,” kata pria wiraswasta itu.

Awal 2015 Riky memulai kontribusinya dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik dengan mengganti kendaraan bermotornya yang berbahan bakar minyak menjadi kendaraan listrik yang ramah lingkungan. Merasa langkah itu belum cukup, mulai 2017 dia juga mulai menjadikan energi surya sebagai sumber energi listrik di rumahnya.

Sebetulnya keinginan untuk menggunakan energi surya sudah timbul jauh sebelum 2017. Akan tetapi, masa-masa sebelum 2017 harga komponen-komponen PLTS masih sangat mahal sehingga kondisi itu masih membuatnya menunda rencana memasang PLTS.

Penggunaan PLTS di Jakarta dinilai belum efisien bila dibandingkan dengan menggunakan listrik dari jaringan PLN pada masa-masa itu.

"Mungkin mahalnya harga komponen PLTS saat itu lebih sesuai untuk memenuhi kebutuhan listrik daerah terpencil yang belum dijangkau jaringan PLN," kata Riky.

Seiring semakin banyaknya permintaan masyarakat dan penawaran barang di pasaran, harga komponen-komponen PLTS menjadi semakin terjangkau. Titik cerah bagi peminat energi surya itu juga semakin terang dengan semakin banyaknya komponen-komponen PLTS yang ditawarkan dengan harga promo di sejumlah lokapasar (marketplace).

Oleh karena itu, sudah tidak ada alasan lagi bagi Riky untuk menunda keinginannya untuk mulai menggunakan PLTS. Secara bertahap sejak 2017 Riky mulai membangun PLTS-nya hingga kini telah berkembang sampai bisa memenuhi 100 persen kebutuhan listrik harian di rumahnya.

Langkah untuk menciptakan lingkungan udara yang lebih sehat harus dimulai dari dirinya sendiri baru selanjutnya dia tularkan ke orang lain. Setelah 5 tahun berjalan harapan untuk dapat menularkan semangat yang sama ke orang lain mulai berbuah. Beberapa tetangga rumahnya pun mulai mengikuti langkahnya.

Meski belum masif, Riky optimistis akan lebih banyak lagi yang mengikuti dirinya. Bila pengguna PLTS terus bertambah, Riky berkeyakinan langit Jakarta kembali biru suatu saat akan terealisasi.
Pengguna PLTS atap off grid yang juga aktivis energi terbarukan Hafiz Riza memberikan penjelasan tentang panel surya kepada anak-anak peserta acara 'Camping Kemerdekaan' di kawasan perkemahan Batu Kembar, Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (19/8/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.


Edukasi untuk masyarakat

Senada dengan Riky, seorang pengguna PLTS atap off grid yang juga aktivis energi terbarukan, Hafiz Riza mengatakan pemanfaatan PLTS atap tidak melulu seputar efisiensi saja, tetapi juga terkait manfaat keberlanjutan bagi lingkungan alam dan manusia yang tinggal di dalamnya.

Oleh kArena itu, Hafiz melalui komunitas "I Love Energi Surya", berupaya membuka mata masyarakat Indonesia untuk menggunakan energi matahari yang melimpah, murah, serta ramah lingkungan.

"Sebenarnya masyarakat yang bersemangat ingin memulai penggunaan PLTS itu banyak," kata dia.

Akan tetapi, lanjut Hafiz, mereka banyak yang mundur. Anggapan PLTS itu rumit dan mahal sering dijadikan kambing hitam. Melalui forum diskusi di komunitasnya serta pendampingan secara langsung, Hafiz ingin membantu masyarakat yang ingin memulai maupun yang baru saja menjadi pengguna PLTS agar semangat mereka dapat terus terjaga.

Tak hanya kepada para kalangan pengguna PLTS, Hafiz juga menjadikan generasi muda, khususnya anak-anak, sebagai sasaran sosialisasi. Kesadaran dan wawasan bangsa Indonesia terhadap energi yang lebih ramah lingkungan bagi masa depan negeri bisa ditumbuhkan mulai dari generasi muda.

Untuk itu, Hafiz rajin berkeliling ke sekolah-sekolah formal maupun nonformal untuk bercerita tentang energi-energi terbarukan yang ramah lingkungan, khususnya energi matahari.

Dengan pendekatan kekinian ala anak muda, Hafiz berharap pemahaman dan kesadaran terhadap energi yang ramah lingkungan dapat lebih efektif ditumbuhkan.

Namun, apa yang diupayakan Hafiz maupun para pegiat energi surya lainnya tidak akan maksimal bila berjalan sendiri tanpa dukungan Pemerintah.

“Yang terpenting adalah kebijakan dari Pemerintah yang lebih pro terhadap energi terbarukan dan ramah lingkungan,” kata Hafiz.
Pengguna PLTS atap off grid yang juga aktivis energi terbarukan Hafiz Riza memberikan penjelasan tentang panel surya kepada anak-anak peserta acara 'Camping Kemerdekaan' di kawasan perkemahan Batu Kembar, Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (19/8/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.

Dia mencontohkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang saat ini tengah direvisi Pemerintah.

Salah satu hal yang diatur dalam revisi tersebut adalah penghapusan sistem ekspor listrik ke jaringan PLN yang selama ini bisa berfungsi sebagai pengurang tagihan listrik. Menurut Hafiz, revisi ini berpotensi menurunkan minat masyarakat untuk menggunakan PLTS atap.

Hafiz berharap Pemerintah dapat membuat kebijakan yang lebih memudahkan dan memberikan keuntungan bagi masyarakat pengguna PLTS atap.

Dengan begitu, bukan tidak mungkin target pemerintah untuk bisa mengembangkan PLTS atap sebesar 3,61 giga watt (GW) pada tahun 2025 di Indonesia dapat tercapai melalui kontribusi masyarakat.

Dengan memanen cahaya Matahari yang melimpah ruah, negeri ini mendapatkan sumber energi bebas polusi yang abadi.


















 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023