Masih dikaji apakah ada regulasi yang mengatur untuk menetapkan harga di tingkat provinsi.
Denpasar (ANTARA) - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali mengkaji adanya Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk daging babi guna menjaga stabilitas harga dan pengendalian inflasi.

“Masih dikaji apakah ada regulasi yang mengatur untuk menetapkan harga di tingkat provinsi,” kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali Wayan Jarta, di Denpasar, Kamis.

Menurut dia, sampai saat ini pengaturan terkait harga eceran tertinggi tersebut diatur dan ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Berdasarkan pantauan harga daging babi di 60 pasar di Bali berdasarkan Sistem Informasi Harga Pangan Utama dan Komoditas Strategis (Sigapura) rata-rata mencapai Rp81.870 per kilogram.

Sementara itu, apabila dirinci harga daging babi tertinggi terjadi di sejumlah pasar tradisional di Kabupaten Buleleng yang mencapai Rp90 ribu per kilogram sejak 24 Agustus 2023.

Sedangkan di Pasar Pekutatan dan Pasar Melaya di Kabupaten Jembrana serta di Pasar Pupuan dan Pasar Penebel di Kabupaten Tabanan mencapai Rp85 ribu per kilogram.

Di Pasar Umum Semarapura, Pasar Tusan, Pasar Kusamba yang ketiganya di Kabupaten Klungkung juga mencapai Rp90 ribu per kilogram.

Ketua Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali Ketut Hari Suyasa mengungkapkan harga babi hidup di tingkat peternak rakyat di Bali per kilogram saat ini mencapai kisaran Rp28.000 hingga Rp30.000 per kilogram.

“Harga daging babi itu dua kali harga babi hidup. Saat ini harga babi hidup kisaran Rp30 ribu (per kilogram) seharusnya harga daging babi itu Rp60 ribu. Kalau harga daging babi Rp70 ribu-Rp80 ribu berarti terlalu besar ambil marjin,” katanya lagi.

Pada sisi lain, ia mengungkapkan saat ini harga pokok produksi yang ditanggung peternak rakyat untuk babi hidup mencapai sekitar Rp40 ribu per kilogram, atau lebih tinggi dari harga jual babi hidup saat ini kisaran Rp28 ribu hingga Rp30 ribu per kilogram.

Dengan demikian, kata dia lagi, peternak kecil mengalami kerugian dengan besarnya biaya produksi yang dikeluarkan salah satunya disebabkan kenaikan harga bahan baku pakan yakni jagung sekitar Rp200-Rp300 per kilogram.

Meski mendapat subsidi oleh salah satu perusahaan pangan dengan besaran hingga Rp500 per kilogram, namun itu bersifat sementara.

Sedangkan penurunan harga jual di tingkat peternak rakyat itu, kata dia lagi, salah satunya karena isu meningitis.

Namun, kata dia lagi, ada potensi dengan meningkatnya populasi babi hidup yang mencapai hingga 1,6 juta, karena tingginya animo masyarakat di Bali beternak setelah pandemi COVID-19.

Di sisi lain, Hari menambahkan ada permintaan tinggi dari daerah lain, karena Bali dinilai mampu pulih dari virus yang menyerang babi yakni African Swine Fever (ASF).

Untuk itu, ia berharap pemerintah daerah melakukan penetapan harga babi hidup khususnya yang dikirim keluar Bali sesuai nilai jual produksi tingkat peternak rakyat sebesar Rp40 ribu per kilogram dan juga terkait harga daging babi.

Sementara itu, berdasarkan data Neraca Pangan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali, stok daging babi di Bali mencapai 480,06 ton pada minggu keempat Agustus 2023 dengan rata-rata konsumsi rumah tangga mencapai 102,52 ton.
Baca juga: Dinkes Bali : 38 orang dirawat karena kasus meningitis

Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2023