Jakarta (ANTARA) - Upaya untuk mendukung transisi energi di Indonesia turut disuarakan PT Pertamina (Persero) melalui rangkaian kegiatan B20 Summit 2023 di New Delhi, India,  pekan lalu.

Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang energi, Pertamina menyuarakan mulai dari tantangan yang dihadapi hingga inovasi yang dilakukan dalam mendukung transisi energi di Tanah Air.

Di tengah upaya percepatan transisi energi, isu keamanan energi menjadi tantangan tersendiri bagi negara-negara berkembang, tak terkecuali bagi Indonesia.

Adanya pandemi COVID-19 dan kondisi geopolitik di Eropa Timur berdampak besar terhadap volatilitas harga energi global, kekurangan pasokan, serta masalah keamanan dan ketidakpastian ekonomi yang menyebabkan fokus transisi energi jangka pendek beralih ke keamanan energi.

Setiap negara memiliki cara berbeda dalam merespons isu tersebut. Sebagai contoh, negara-negara maju lebih fokus pada keberlanjutan, sementara negara-negara berkembang lebih fokus pada keamanan dan keterjangkauan energi karena hal tersebut merupakan katalis pertumbuhan ekonomi.

Senior Vice President of Research Technology and Innovation Pertamina Oki Muraza di sela 18th Sustainability Summit yang merupakan rangkaian dari kegiatan B20 Summit 2023 mengatakan sebelum terjadinya krisis geopolitik tersebut, Eropa menjadi salah satu pemimpin untuk perubahan menuju environmental sustainability.

Dengan menurunnya ketahanan energi, di mana Eropa kembali mengimpor energi seperti batu bara, maka terjadi perubahan dalam bauran energi yang berdampak bagi dunia. Untuk mengantisipasi hal tersebut, negara-negara berkembang seperti Indonesia dan India dengan pendapatan yang rendah perlu membangun kerja sama dengan negara maju, terutama terkait dengan modal atau pembiayaan.

Oleh karena itu, kerja sama tersebut diperlukan jika dilihat dari emisi CO2 per kapita negara-negara G20. Negara-negara maju berkontribusi di atas rata-rata global sebesar 4,5 ton emisi CO2 per kapita. Sementara, India dan Indonesia yang mewakili negara berkembang sebagai troika G20 tahun ini dan tahun lalu masih di bawah 2,5 ton emisi CO2 per kapita.

Selain itu, jika dilihat dari Gross Domestic Product  (GDP) per kapita, negara-negara maju sudah di atas 50.000 dolar AS. Sedangkan negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Indonesia masih di bawah  5.000 dolar AS.

Meskipun negara-negara berkembang mengeluarkan emisi karbon yang lebih sedikit, namun populasi, perekonomian, dan ekosistem alam di banyak negara berpendapatan rendah dan menengah akan terkena dampak paling buruk dari pemanasan global, di mana hampir 15 persen Produk Domestik Bruto (PDB) di Asia Selatan akan terkena dampaknya karena perubahan iklim.

Dengan demikian, diperlukan peningkatan kerja sama global, dukungan finansial untuk membawa teknologi bersih ke tingkat maturitas, mendukung peraturan untuk memberi insentif pada produk-produk terbarukan, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) agar siap menghadapi industri yang berkelanjutan.

Dengan kerja sama global yang lebih terbuka antara negara maju dan berkembang, Pertamina telah merasakan beberapa tindakan nyata untuk mempercepat proyek dekarbonisasi mulai dari penelitian hingga implementasi.

Misalnya, Pertamina mendapat dana hibah dari mitra Jepang (Japan Cooperation Center Petroleum/JCCP dan Japan Organization for Metals and Energy Security/JOGMEC) untuk mendukung proyek carbon capture utilization and storage (CCUS) dan solusi berbasis alam. Selain itu, Pertamina juga sedang berdiskusi dengan lembaga AS (United States Trade and Development Agency/USTDA) untuk mendapatkan dukungan hibah untuk proyek green methanol yang memanfaatkan energi panas bumi.

Teknologi

Pengembangan teknologi juga menjadi kunci dalam mendukung transisi energi di Indonesia lantaran dengan pengembangan teknologi nantinya keekonomian akan semakin membaik. Di Pertamina Group, terdapat delapan inisiatif yang terbagi dalam tiga blok.

Blok pertama, terkait upaya Pertamina dalam menghasilkan listrik hijau yang berasal dari panas bumi atau geothermal. Saat ini, kapasitasnya mencapai 672 megawatt (MW) yang dikelola perseroan dan 1,2 gigawatt (GW) bersama mitra.

Selain menghasilkan listrik ramah lingkungan, melalui geothermal, Pertamina juga mengembangkan green hydrogen yang miliki potensi untuk pasar ekspor.

Selanjutnya blok kedua, variable renewable energy atau energi yang berubah dengan waktu, misalnya solar PV. Variable renewable energy tersebut perlu diintegrasikan dengan grid atau jaringan listrik yang saat ini dimiliki Pertamina dan juga perlu diintegrasikan dengan energy storage atau baterai.

Blok ketiga, yakni memanfaatkan energi yang melimpah di Indonesia seperti curah hujan, radiasi matahari, dan biomassa. Sumber daya ini dikerjakan bersamaan, ada yang bisa dijadikan vegetable oil, green diesel atau bioethanol yang dicampur dengan bensin.

Pertamina saat ini juga fokus menerapkan beberapa inovasi teknologi sebagai upaya dekarbonisasi operasional Pertamina, di antaranya pengembangan carbon capture storage/carbon capture utilization and storage (CCS/CCUS) dan biofuel.

Melalui teknologi CCS/CCUS, Pertamina melakukan injeksi pertama C02 di Lapangan Pertamina EP Jatibarang, Jawa Barat. Teknologi CCUS merupakan penggerak yang dapat meningkatkan produksi migas melalui CO2-EOR sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca secara signifikan.

Selain itu, Pertamina juga berkomitmen mengembangkan biorefinery atau green refinery untuk menghasilkan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.

Pengolahan kilang Pertamina tersebut menggunakan bahan baku berupa feedstock terbarukan seperti RBDPO (minyak sawit) hingga UCO (minyak jelantah) untuk menghasilkan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.

Biorefinery Pertamina yang telah beroperasi seperti produk energi biofuel hydrotreated vegetable oil (HVO) yang diproduksi dari biorefinery Cilacap dan biorefinery Dumai, green gasoline di Unit Plaju dan Cilacap, green diesel di Unit Dumai, dan green avtur J2 di Unit Cilacap.

Pertamina juga ingin mengimplementasikan bioetanol dengan berbagai bahan baku, termasuk dari limbah kelapa sawit seperti tandan kosong kepala sawit (TKKS).

No regret initiative

Upaya efisiensi energi untuk mendukung capaian target net zero emission (NZE) 2060 yang dicanangkan oleh pemerintah, juga dilakukan Pertamina melalui dua jalan, yaitu dekarbonisasi dari bisnis eksisting dan pengembangan bisnis baru.

Pertamina menyebut efisiensi energi yang dilakukan sebagai no regret initiative atau inisiatif yang tidak mungkin disesali karena memang tujuannya memang untuk mengurangi cost atau biaya di Pertamina Group.

Pada 2023, Pertamina menargetkan reduksi emisi sebanyak 910.519 ton CO2e. Efisiensi energi merupakan salah satu inisiatif yang diambil untuk mendukung target dekarbonisasi bisnis eksisting.

Adapun beberapa inisiatif yang dilakukan di antaranya efisiensi penggunaan fuel gas dengan optimasi pengoperasian gas turbin dan pengurangan penggunaan fuel gas sebesar 6 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) dari sebelumnya 40 MMSCFD menjadi 34 MMSCFD.

Kemudian, optimalisasi pemanfaatan gas suar untuk bahan bakar turbin pada dua fasilitas, yakni Petani GP/GS dan Pematang GS.

Berikutnya, pengurangan gas suar dengan pemasangan mini gas kompresor dan perubahan flow gas LP di Stasiun Pengumpul Bambu Besar (SP BBS) Field Subang.

Pertamina mencatat ketiga inisiatif tersebut sampai dengan Juli 2023 mampu menurunkan emisi 110.000 ton CO2e. Selain itu, Pertamina juga menyebut banyak program-program efisiensi energi lainnya yang dilakukan seperti fleet electrification, green power generation, dan lain-lain.

UMKM

Pentingnya keterlibatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam transisi energi juga terus disuarakan Pertamina sejak B20 Indonesia 2022 sampai B20 India 2023.

Dalam konteks transisi energi di Indonesia, diperlukan peran masyarakat dalam penyediaan bahan baku yang dibutuhkan untuk mengembangkan energy low carbon. Nantinya ada job creation yang bisa dinikmati oleh masyarakat dan pada saat yang sama korporasi juga mendapatkan manfaat dari karbon kreditnya.

Dalam B20 India 2023, sebagai negara berkembang yang memiliki banyak sumber daya alam (SDA) yang berlimpah di dalam negeri, Indonesia mendorong agar negara maju dapat memberikan arus pendanaan ke negara berkembang agar mereka bisa mengembangkan teknologi dan implementasinya dengan bantuan dari negara-negara maju yang memiliki dana.

Dengan melibatkan UMKM dalam transisi energi ini, Indonesia ingin menggabungkan bantuan dari internasional, di mana di satu sisi ada lapangan pekerjaan untuk masyarakat dan juga keuntungan perusahaan dalam upaya mempercepat transisi energi.

Misalnya, pelibatan petani yang dapat mengembangkan tanaman sorgum menjadi bulir sorgum yang nantinya bisa mengurangi impor pangan. Di sisi lain, limbah dari sorgum tersebut juga bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar alternatif ramah lingkungan.

Sehingga transisi energi di Indonesia ke depan diharapkan bisa menjadi role model dengan keterlibatan masyarakat yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan pendapatan masyarakat di pelosok daerah.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023