Di Indonesia, Jinchuan Group hadir di Halmahera Selatan, Maluku Utara, dalam bentuk perusahaan joint venture bernama PT Wanatiara Persada.
Jinchang (ANTARA) - Matahari terik dan udara hangat menyambut di Bandara Jinchang, Kota Jichang, Provinsi Gansu, sebelah barat Laut China. Suhu saat itu sekitar 32 derajat celcius namun terasa lebih panas karena iklim kering gurun di tempat tersebut.

Udara panas tersebut kemudian berpadu dengan barisan jalan aspal lebar dan mulus yang mengantarkan rombongan wartawan dari "All China Journalist Association" berkeliling Kota Jinchang dan Kabupaten Yongchang pada hari pertama kunjungan.

Kota Jinchang baru berdiri pada 1981 yang terdiri atas Distrik Jinchuan dan Kabupaten Yongchang dengan luas 9.600 kilometer dan penduduk 435 ribu jiwa.

Kota tersebut dibangun pascapenemuan deposit tembaga dan nikel terbesar ketiga di dunia atau terbesar di Asia sehingga mendapat julukan "Ibu Kota Nikel". Deposit itu lalu diolah oleh BUMN Jinchuan Group Co., Ltd yang akhirnya membangun kota --dengan nama yang mirip-- meski sebenarnya banyak masyarakat yang sudah lama mendiami lokasi tersebut.

Bahkan pada 1966, pemimpin Deng Xiaoping menyebut lokasi itu sebagai harta karun dan "boneka emas" langka dari tanah air ketika berkunjung ke sana.

Jinchang tidak hanya memiliki nikel, namun juga punya cadangan logam langka seperti platinum, paladium, dan osmium yang penting untuk industri manufaktur berbagai negara termasuk baterai untuk kendaraan listrik yang sedang booming.

Dalam penjelasan pemandu wisata di Museum Sains dan Teknologi Jinchang yang didirikan oleh Jinchuan Group, disebutkan bahwa nikel dan kobalt yang dihasilkan di Jichang sangat tinggi, bahkan ditemukan batu raksasa Jinchuang Fu yang menunjukkan kekayaan mineral dalam batu yang berpendar bila diterangi cahaya.

Museum itu sendiri dibangun pada 2006 oleh Jinchuan Group untuk mengintegrasikan pendidikan sejarah partai, pendidikan sains populer, hingga lokasi penelitian, pembelajaran, dan pariwisata industri.
Pengunjung memperhatikan museum Pengunjung memperhatikan batu yang mengandung nikel di Museum Sains dan Teknologi Jinchang di Kota Jinchang, Provinsi Gansu, China. ANTARA/Desca Lidya Natalia

Menempati gedung seluas 6.900 meter persegi, ruang pamer museum dipenuhi dengan beragam LED terintegrasi sehingga menawarkan tampilan multimedia digital dengan suara, cahaya hingga pengalaman virtual reality. Termasuk di dalamnya berbagai jenis mineral yang ada di Jinchang dan berbagai produk olahannya.

Pada tahun 2021, Museum Sains dan Teknologi Jinchuan pun terpilih sebagai salah satu gelombang pertama basis pendidikan pemasyarakatan sains nasional dari tahun 2021 hingga 2025.

Sejumlah prestasi Jinchuan Group diperlihatkan di museum tersebut. Memang perusahaan yang didirikan pada 1959 tersebut menjadi salah satu perusahaan tambang, peleburan kimia, dan pemprosesan mineral skala besar di China.

Perusahaan tersebut terutama memproduksi nikel, tembaga, kobalt, besi, baja, seng, timah putih, emas perak hingga mineral langka seperti iridium, osmium, paladium, platinum, rohdium, ruthenium, dan jenis mineral lainnya. Perusahaan ini memiliki produksi tembaga-nikel terbesar ketiga di dunia.

Produksi nikel Jinchuan Group menempati urutan keempat dunia, produksi kobalt terbesar keempat dunia, produksi tembaga urutan keempat di China, dan produksi logam golongan platina menempati urutan pertama di China.

Kelompok perusahaan itu saat ini memiliki lebih dari 32.200 karyawan, termasuk 7.582 tenaga profesional dan teknis teknis dari berbagai jenis.

Di Indonesia sendiri, Jinchuan Group hadir di Halmahera Selatan, Maluku Utara, dalam bentuk perusahaan joint venture bernama PT Wanatiara Persada.

Lokasi tambang nikel di Jinchang, salah satunya digali dengan sistem open-pit atau penggalian terbuka oleh mesin-mesin sehingga meninggalkan lubang raksasa sekitar 30 meter ke dalam bumi. Tempat itu kemudian diubah menjadi Taman Pertambangan Nasional Jinchuan.

Taman pertambangan itu dibuka pada 2010 untuk menjadi ekowisata industri dengan luas total 19,92 kilometer persegi. Hingga saat ini diselesaikan tahap pertama yaitu fokus pada restorasi ekologi di tempat pembuangan limbah padat tambang Jinchuan.

Upaya restorasi yang dilakukan dengan menanam pohon dan rumput seluas 2 juta meter persegi agar mencapai cakupan hijau di tempat pembuangan batuan sisa. Penanaman pohon dilakukan oleh para kader Partai Komunis China, pekerja di Jinchuan Group, masyarakat umum hingga prajurit militer yang ditempatkan di Jinchuan.
Suasana Taman Pertambangan Nasional Jinchuan yang nikelnya diolah perusahaan milik negara Jinchuan Group di Kota Jinchang, Provinsi Gansu, China. ANTARA/Desca Lidya Natalia

Air yang digunakan untuk penghijauan taman seluruhnya berasal dari air limbah industri dan domestik, dengan rata-rata pemanfaatan harian lebih dari 8.500 meter kubik air limbah.

Berkendara sekitar 1 jam dari Kota Jinchang, rombongan kemudian diajak ke Kabupaten Yongchang yang masih masuk Provinsi Gansu. Suasana langsung berubah dari kota pengolahan tambang yang kaku ke kawasan perdesaan yang lebih sepi meski tetap dengan iklim yang kering.

Di gerbang Desa Maobula, Distrik Hongshanyao, sekitar 30 pemuda setempat menyambut dengan menarikan Yongchang Jiezi, tarian rakyat kuno dari Desa Zhao Dingzhuang di sebelah barat Kabupaten Yongchang.

Tarian ini awalnya terkait dengan latihan militer dan bela diri masyarakat. Para penari menggunakan sejenis senjata yang disebut Jiezi, senjata mirip pedang dan tongkat.

Tarian itu mengantarkan ke lokasi 360 lampion maobra yang menggunakan lambang 卍 (Swastika) yang dipasang di labirin raksasa oleh para tetua masyarakat. Dalam bahasa Sansekerta, lambang tersebut berarti "pertemuan keberuntungan" dan merupakan simbol "pertanda baik" dan "kebajikan besar".

Tradisi lampion berasal dari seni lampion Beijing pada masa Dinasti Ming (1370). Saat lampion dinyalakan pada hari raya musim semi atau saat Imlek, setiap orang memegang lampion bunga setinggi 1,5 meter dan menari sepanjang jalan, yang luar biasa meriah dan bila dilihat dari atas maka akan muncul lambang Swastika.

Selain tarian dan tradisi lampion, di desa tersebut juga hadir pertunjukan boneka Yongchang atau dikenal sebagai zhou houzi  (pertunjukan boneka monyet) yang mirip dengan wayang potehi di Indonesia.

Namun berbeda dengan wayang potehi yang dalangnya "bersembunyi" di belakang panggung, dalang-dalang boneka dalam pertunjukan zhou houzi ikut tampil di panggung sambil memainkan boneka-boneka mereka. Para penonton pun bisa melihat langsung wajah para dalang saat bercerita dan memainkan boneka.

Boneka-boneka itu disebut "boneka manusia", dengan kepala seukuran kepalan tangan dan tinggi badan kira-kira dua kaki. Cangkang kepala boneka terbuat dari bubur kertas dan pakaian yang dikenakan dari kain warna-warni. Untuk menggerakkan boneka digunakan tongkat-tongkat kayu.

Tidak jauh dari desa tersebut, juga ada Museum Great Wall Cultural Exibition Center. Museum itu memberikan penjelasan singkat mengenai sejarah pembangunan dan fungsi dari Tembok Besar China (The Great Wall).

The Great Wall atau tembok China membentang sepanjang 21.196,18 kilometer dari pesisir Teluk Bohai (Shanhaiguan) di timur hingga Gurun Gobi (Jiayuguan) di Barat dan masuk ke wilayah 15 provinsi, kota madya dan daerah otonom China bagian Utara, termasuk Provinsi Gansu.

Di Provinsi Gansu sendiri, Tembok China membentang sepanjang 3.654 kilometer di 11 kota. Tembok tersebut berasal dari dinasti Qin, Han, dan Ming. Namun di museum tersebut ditunjukkan sisa-sisa tembok yang berasal dari dinasti Qin dan Han atau tembok yang paling awal dibangun sehingga tidak utuh lagi.

Yongchang sendiri berada di titik sempit dari Koridor Hexi sehingga punya lokasi strategis di Jalur Sutera sehingga pemerintahan kuno China menilai lokasi tersebut perlu dibangun tembok. Dinasti Han membangun 152 kilometer tembok dan Dinasti Ming membangun 151 kilometer, namun hanya tinggal 182 kilometer yang masih berdiri.

Di belakang museum lalu ditampilkan sisa-sisa tembok yang tidak utuh lagi yang berada di antara bukit-bukit batu.

Sisa-sisa tembok masih dapat menampilkan kemegahan benteng buatan manusia terpanjang di dunia yang memakan waktu pembangunan selama sekitar 2.000 tahun lamanya. Lokasi tersebut juga menjadi bukti fisik penerapan strategi militer China kuno yang dipadu dengan kemajuan seni dan teknologi arsitektur dari dinasti ke dinasti.

Kota Jinchang tak hanya menyimpan kekayaan mineral tapi juga kekayaan budaya dan sejarah di bawah kehangatan sinar Matahari.






 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023