Denpasar (ANTARA) - Siang itu, kedua kaki Wayan Jenek melangkah perlahan di bawah terik Matahari, dengan dibantu tongkat kayu yang ia gunakan untuk menopang tubuhnya.

Mengenakan topi bundar dari anyaman janur yang sudah mengering, ia sesekali mengelap keringat di wajah menggunakan handuk biru yang melintang di pundak kanan dan kirinya.

Maklum, ia sudah berjalan kaki dari rumahnya yang berjarak sekitar tiga kilometer menuju lahan pertanian di Subak Lauh Batu, Desa Keliki, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Bali.

Tak terlihat raut lelah di wajah nenek berusia 72 tahun itu yang sejak muda sudah menekuni profesi sebagai seorang petani.

Sembari membantu sang suami mengelola bibit padi yang siap ditanam di lahan sawahnya, ia singgah di pura subak setempat untuk mengisi ulang galon kosong yang dibawa dari rumahnya.

Tanpa berlama-lama, Jenek kemudian membersihkan galon bening itu sebelum diisi air penuh.

Sesaat kemudian, galon berukuran 15 liter itu pun sudah terisi penuh dengan air yang nantinya dikonsumsi di sela kesibukannya menanam bibit padi.

Dengan dibantu seorang rekannya sesama petani mengangkat galon, Jenek masih tangguh membawa galon di atas kepalanya dan berjalan kaki menuruni petak sawah dengan jalan sempit dari tanah dan berundak.

Air yang ia ambil bukanlah air produksi perusahaan daerah yang mengelola air minum, melainkan berasal dari sumur bor yang digerakkan menggunakan pembangkit listrik tenaga Surya (PLTS).

Air dari dalam perut Bumi itu kemudian dipompa dan ditampung di dalam tangki dengan kapasitas 1.100 liter.

Jenek dan petani lainnya pun merasa beruntung dengan adanya fasilitas tersebut karena tidak perlu repot membeli atau membawa bekal air karena bisa diambil di dekat lahan pertanian mereka secara gratis.


Petani mengambil air dari sumur yang digerakkan menggunakan energi dari panel surya di Subak Lauh Batu, Desa Keliki, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Bali, Sabtu (2/9/2023) ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Energi bersih multiguna

Desa Keliki memiliki potensi yang besar untuk pemanfaatan energi Surya karena berada di tengah Pulau Bali dengan paparan matahari yang hampir sepanjang hari tersedia.

Berada di ketinggian sekitar 600 meter di atas permukaan laut, desa wisata itu berjarak sekitar 30 kilometer atau sekitar satu jam 15 menit perjalanan darat ke arah utara dari pusat Kota Denpasar.

Dengan potensi energi surya yang melimpah itu, Desa Keliki memanfaatkan PLTS untuk mendukung pertanian dan lingkungan.

Jika biasanya pompa air membutuhkan energi listrik yang pembangkitnya digerakkan menggunakan bahan bakar fosil, tak demikian dengan pompa air di kawasan persawahan Desa Keliki, karena digerakkan menggunakan energi dari panas Matahari atau energi Surya.

PLTS skala mini itu dibangun oleh PT Pertamina (Persero) melalui program tanggung jawab sosial pada 2021, yang tersebar di delapan titik, yakni di Subak Lauh Batu, Subak Tain Kambing, Subak Uma Desa Keliki, Subak Uma Desa Sebali, Subak Jungut Sebali, Subak Malikode, dan Subak Bangkiang Sidem, yang masing-masing berkapasitas 2,5 kilowatt peak (kwp).

Selain itu, satu instalasi panel Surya juga terpasang di atap Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) Keliki dengan kapasitas mencapai 10 kwp.

Sehingga di desa yang dikenal dengan Desa Energi Berdikari itu terdapat total energi baru terbarukan terpasang mencapai 28 kwp.

Hingga saat ini, instalasi energi ramah lingkungan itu masih terus beroperasi dan digunakan oleh petani dan warga setempat.

Selain bisa memenuhi konsumsi warga, air yang dipompa dari kedalaman sekitar 60 meter itu juga digunakan sebagai sumber air untuk lahan pertanian di tujuh subak seluas 42 hektare.

Perbekel (Kepala Desa) Keliki I Ketut Wita menjelaskan kebutuhan tambahan air itu diperlukan petani ketika musim kemarau seperti pada tahun ini yang puncaknya diperkirakan terjadi pada Juli-Agustus.

Selama ini, kebutuhan air untuk mengairi lahan pertanian itu bersumber dari aliran sungai yang bersumber dari Gunung Batur di Kabupaten Bangli, atau sekitar 35 kilometer dari Desa Keliki.

Namun, sistem irigasi pertanian tradisional berkeadilan khas Bali atau subak itu bisa kekurangan pasokan air, terutama saat musim kemarau jika mengandalkan aliran sungai.

Air tersebut juga digunakan untuk mendukung kegiatan upacara keagamaan di pura subak.

Selama ini, pelaksana upacara keagamaan di pura setempat mengakses air bersih dari rumah-rumah warga yang diberikan sukarela.

Tak hanya dimanfaatkan untuk menghidupkan pompa air, panel surya itu juga menerangi kawasan pura subak yang selama ini gelap gulita saat malam karena belum teraliri listrik.


Perbekel (Kepala Desa) Keliki I Ketut Wita menata sampah botol plastik di TPS3R di Desa Keliki, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Bali, Sabtu (2/9/2023) ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Sampah organik

Sekitar 200 meter dari Pura Subak Lauh Batu, panel surya juga terpasang di TPS3R Desa Keliki yang memberi energi untuk mengolah sampah organik sisa rumah tangga menjadi kompos.

Sampah organik berupa daun, sisa bahan upacara keagamaan, bunga dan buah-buahan dikumpulkan dari warga desa yang sadar memilah secara mandiri, setelah mendapat pendampingan dari salah satu yayasan lingkungan di Ubud, Bali.

Warga tersebut memilah sampah organik, sampah plastik maupun residu langsung di rumah tangga sebelum diangkut petugas TPS3R.

Sampah terpilah itu kemudian ditampung di bangunan terbuka berukuran sekitar 10X20 meter di lahan seluas sekitar 2.600 meter persegi.

Di tempat mengolah sampah organik itu nyaris tak ada bau menyengat khas sampah.

TPS3R itu terdapat dua mesin pencacah sampah organik, satu unit mesin untuk memadatkan sampah plastik dan satu unit mesin pengayak menjadi pupuk kompos.

Desa Keliki rata-rata mengolah sekitar satu ton sampah organik per hari, dari total sekitar tujuh ton sampah per hari di desa dengan penduduk 1.032 kepala keluarga (KK) itu.

Sisa sampah yang belum dapat diakomodasi di TPS3R Keliki, dibawa ke TPA Temesi, Gianyar.

Ada pun sampah organik diproses secara manual tanpa fermentasi oleh enam orang petugas di TPS3R Keliki, yakni hanya dicampur air seminggu sekali hingga kemudian panen menjadi kompos yang memakan waktu tiga bulan.

Seluruh mesin tersebut dihidupkan menggunakan energi bertenaga Surya dengan kapasitas 10 kwp.

Panel surya terpasang sebagai sumber energi mengolah sampah organik di TPS3R Desa Keliki, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Bali, Sabtu (2/9/2023) ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Hemat biaya

Tak hanya menyulap sampah organik menjadi kompos, limbah dapur, seperti buah-buahan juga difermentasi menjadi ekoenzim yang bisa dimanfaatkan gratis untuk petani guna mengusir hama padi.

I Ketut Wita yang menjadi kepala desa sejak 2020 itu mengungkapkan sebelum memanfaatkan energi Surya, pihaknya mengeluarkan biaya untuk membayar tagihan listrik rata-rata sekitar Rp800 ribu per bulan.

Setelah mendapat bantuan panel Surya, biaya membayar tagihan listrik per bulan menjadi rata-rata kurang dari Rp200 ribu, sehingga menekan pengeluaran listrik hingga Rp600 ribu per bulan.

Pihaknya masih perlu membayar tagihan listrik, salah satu penyebabnya karena kapasitas 10 kwp masih belum mencukupi ketika semua mesin dioperasionalkan bersama.

Sementara itu, pupuk kompos yang dihasilkan di TPS3R itu rata-rata mencapai hingga sekitar 50 kilogram setiap panen dengan harga jual mencapai Rp1.000 per kilogram.

Kompos dan ekoenzim itu saat ini diserap oleh petani setempat yang menggarap lahan percontohan pertanian organik di desa itu.

Dari awalnya satu hektare lahan pertanian organik percontohan, kini sudah bertambah menjadi dua hektare sawah yang menerapkan cara tanpa kimia. Bantuan panel surya itu benar-benar memberi dampak multifungsi.

 

Dampak lingkungan

Vice President Communication Pertamina (perusahaan di bawah BUMN) Fadjar Djoko Santoso menjelaskan Desa Keliki merupakan salah satu dari total 52 desa yang dikembangkan untuk berkontribusi dalam mendukung penerapan energi bersih di Tanah Air.

Pengembangan energi Surya di Desa Keliki berpotensi mengurangi emisi karbon hingga 36 ton setara CO2 per tahun.

Upaya itu sejalan dengan target Pemerintah Indonesia menurunkan emisi karbon hingga 93 persen dari proyeksi 1.927,4 juta ton CO2 menjadi 129,4 juta ton CO2 oleh aktivitas bisnis, seperti industri, perumahan, transportasi, komersial, dan pembangkit listrik pada 2060.

Sedangkan, pencemaran lingkungan dari sampah juga bisa ditekan dengan mengubah sampah itu menjadi rupiah hingga timbulnya kesadaran masyarakat memilah sampah.

Di sisi lain, pengembangan energi baru terbarukan (EBT) berpeluang besar di Indonesia karena berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi EBT di Tanah Air diperkirakan mendekati 3.700 gigawatt dan yang baru dimanfaatkan mencapai sekitar 12,7 gigawatt hingga semester 1-2023.

Presiden Joko Widodo pun telah menerbitkan Peraturan Presiden RI Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik pada September 2022.

Pengamat energi Tommy A Pratama mengatakan upaya mendorong transisi energi di antaranya melalui insentif pengembangan energi ramah lingkungan, hingga skema tarif feed in untuk bersaing dengan tarif listrik yang berasal dari batu bara.

Selain itu, pendidikan vokasi untuk mendukung keberlanjutan program energi bersih.

Pengembangan energi bersih di Desa Keliki diharapkan menjadi contoh kepada desa-desa lain khususnya di Bali dan upaya itu perlu terus digalakkan melalui evaluasi berkala.

Mencermati manfaat besar yang dirasakan masyarakat, kapasitas panel surya itu pun perlu diperluas hingga merambah lampu penerangan jalan dan memenuhi kebutuhan di tingkat rumah tangga.

Dengan demikian, energi surya itu tidak hanya menjaga alam karena membantu mengurangi emisi karbon, tapi juga efisiensi hingga menghidupkan potensi ekonomi baru di desa.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023