Bahan baku kertas, apa? Kayu. Kita ingin mengembalikan kertas itu menjadi kayu. Intinya mengurangi penebangan hutan.
Mataram (ANTARA) - Sebagian besar orang mungkin berpikir, sampah kertas tidak dapat dimanfaatkan layaknya sampah plastik. Akan tetapi, tidak bagi The Griya Lombok, rumah kertas pertama dan satu-satunya di Indonesia.

Rumah kertas itu berlokasi di Ampenan Selatan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Theo Setiadi Suteja merupakan sosok di balik 5 tahun dibukanya The Griya Lombok. Mimpinya sederhana, mengembalikan apa yang telah diambil dari Bumi.

"Bahan baku kertas, apa? Kayu. Kita ingin mengembalikan kertas itu menjadi kayu. Intinya mengurangi penebangan hutan," ucapnya.

Mas Agung, panggilan akrabnya, menuturkan rumah kertas ini mulai digagas sejak 2010 dengan 30 persennya terbuat dari kertas, yakni berupa batu bata serta paving block.

Perlahan-lahan, melalui tangannya, dia membuat batu bata berbahan dasar dari koran bekas sebanyak lima ribu kilogram. Kemudian, batu bata yang telah dibuatnya tersebut, disusun hingga mencuat kesan eksotik yang sangat kentara.

Bangunan berbatu bata kertas tersebut berada di galeri serta ruang pribadinya. Pengunjung atau tamu ke rumah itu akan dibuat terkagum-kagum.

Meski demikian, untuk membuat batu bata itu tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Artinya harus melihat kondisi cuaca. Yang jelas, batu bata ini terbuat dari alam termasuk untuk mengeringkannya. Artinya tanpa oven tapi murni dari sinar Matahari.

Masa pakai batu bata kertas ini bisa bertahan lama. Semakin sering terkena cahaya Matahari, maka akan kian padat. "Silakan mencoba daya tahan batu bata buatan saya ini," tantang Mas Agung.

Bisa dikatakan, tempat tinggal bapak tiga anak tersebut menjadi rumah yang ramah lingkungan. Artinya, dia bukan hanya sekadar teori atau jargon belaka terkait kepedulian terhadap lingkungan, melainkan langsung ditetapkan di rumahnya.

Melalui ide kreatif tersebut, ia berharap bisa kreasinya ditiru oleh masyarakat banyak. Mengingat saat ini isu zero waste menjadi tema yang aktual khususnya di Indonesia.

Tak terbayangkan, bilamana warga bersama-sama memulai rumah ramah lingkungan tersebut. Uniknya lagi, rumah kertas itu didaku aman dari bencana gempa.

Seperti gempa Bumi yang pernah terjadi di Pulau Lombok pada pertengahan 2018, bangunan rumah milik Mas Agung tersebut masih kokoh alias tidak ada yang rusak. Hal ini menunjukkan batu bata dari kertas tergolong aman dari gempa.

Selain itu, batu bata kertas juga tahan api dan sudah diuji dengan menggunakan bensin dan dibakar. Hasilnya, sempurna nyala api hanya satu menit, kemudian padam.


Olah limbah kertas

Ide kreatif itu tidak muncul sekonyong-konyong. Bermula saat dirinya masih bertugas di sebuah perusahaan internasional dan ditempatkan di Lombok. Saat itu dirinya dapat tugas ke salah satu daerah serta melihat truk mengangkut kayu.

Kemudian terpikirkan betapa banyaknya pohon yang diambil dari hutan sehingga akan menyebabkan hutan gundul yang berujung kepada bencana banjir bandang. Bahkan saat terjadi musim kering, sumber air pun sulit karena sudah tidak ada tempat untuk resapan air.

Hingga akhirnya pria asal Denpasar, Bali, tersebut terpikir untuk membuat bangunan atau produk kreatif berbahan dasar dari limbah alias tidak perlu lagi menggunakan kayu.

"Saya sedih melihat hutan yang rusak sampai gundul. Hingga saya memilih resign dari tempat pekerjaan. Istilahnya berani meninggalkan zona nyaman," katanya kepada mahasiswa Unram.

Kendati demikian, kecintaan Mas Agung terhadap lingkungan itu tidak muncul begitu saja. Ia memiliki latar belakang panjang, yakni saat dirinya masih kuliah di Denpasar dan hingga untuk memilih kehidupan saat ini tidaklah terlalu dikhawatirkan.

Akhirnya dia mampu mengolah limbah kertas menjadi barang-barang bernilai. "Sambil jalan, kami produksi, dan 2017 kami perkenalkan ke publik sebagai karya, setelah cukup sampel produk," tambahnya

Bahkan dia membuka The Griya Lombok yang sudah dikunjungi 1.439 tamu. Ia menargetkan 2.000 produk tersedia di galerinya, sedangkan sekarang sudah ada sekitar 200 produk.

Produknya, antara lain, berupa kursi, meja, nampan, asbak, dan beberapa furnitur seni lainnya yang berbahan dasar 100 persen limbah plastik.

Agung menegaskan The Griya Lombok bukan menjual produk dari kertas, melainkan memanfaatkan limbah kertas menjadi produk bernilai seni. Perihal profit, sumbernya bukan dari penjualan produk, melainkan dari tiket masuk pengunjung.

"Sifatnya bukan active income, melainkan pasive  income yang sumbernya dari tiket masuk dan pelatihan bagi yang berminat," lanjutnya.

Bahan baku pembuatan seperti kertas HVS, koran, maupun kardus didapat dari beberapa toko dan pasar sekitar Ampenan. Sisanya diantarkan oleh instansi seperti Telkom yang membayar Rp5.000 per kilonya.

Yang mengesankan, keuntungan yang didapat digunakan sepenuhnya untuk kegiatan sosial seperti penanaman pohon mangrove, bersih-bersih pantai, serta pemberdayaan masyarakat pesisir.

Ke depan, ia berharap apa yang telah ia bangun dapat diteruskan oleh generasi muda saat ini guna memberikan hidup yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Ada satu harapan lagi. Da ingin membuat museum berbahan dasar dari limbah kertas, yang disebutnya sebagai museum Bumi.

Museum Bumi mengedepankan prinsip ramah lingkungan atau museum yang mencintai dari Bumi. Sumber segala-galanya adalah dari alam.

Harapannya sangat besar. Setidaknya pada usianya 60 tahunan itu, ia bisa memberikan kebaikan dan warisan agar lingkungan tetap terjaga.








 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023