Lebak (ANTARA) -
Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan dan Informasi (ADPIN) Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sukaryo Teguh Santoso mengatakan penyebab stunting atau kekerdilan yang menimpa anak-anak usia bawah lima tahun (balita) itu akibat gagal pola asuh.
 
"Stunting itu bukan penyakit, tetapi gagal pola asuh," katanya saat Apel Siaga Tim Pendamping Keluarga ( TPK) Bidan, Kader KB, Kader Tim Penggerak PKK Provinsi Banten di Lebak, Rabu.
 
Penderita stunting bukan dimonopoli oleh  keluarga miskin saja, tetapi anak dari keluarga menengah ke atas juga pun bisa mengalami stunting.
 
Penyebab stunting itu karena keluarganya tidak memperhatikan anak dengan baik, sehingga gagal dalam pola asuh, seperti balita rewel diberikan permen, coklat, manis-manis dan dipastikan tidak mau makan.

Baca juga: Banten fokuskan pengendalian stunting dan gizi buruk

Baca juga: Cegah stunting, Badan Pangan Nasional beri bantuan pangan di Lebak
 
Karena itu, dengan strategi percepatan mengatasi stunting, yakni mencegah dari hulu melalui pendekatan keluarga. Landasan hukumnya UU Keluarga Nomor 52 tahun 2009 tentang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, dengan upaya tiga hal.
 
Pertama pendewasaan usia pernikahan dan jangan sampai menikah di usia muda, kedua pengaturan kelahiran dengan tidak terlalu dekat angka kelahiran dan ketiga intervensi pembinaan ketahanan keluarga.
 
"Kami meyakini TPK itu terdiri dari bidan, kader KB dan kader PKK mampu mengatasi pravalensi stunting," kata Sukaryo Teguh.
 
Sementara itu, Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Banten Rusman Effendi mengatakan masyarakat Indonesia merasa bersyukur dan berhasil menurunkan pravalensi stunting dengan data tahun 2021 mencapai 24,4 persen dan pada 2022 menurun 21,6 persen, sehingga turun 2,8 persen.
 
Menurunnya pravalensi stunting itu sebagai rekor yang terbaik, karena pada tahun-tahun sebelumnya menurun rata - rata 0,5 persen sampai 1,8 persen.
 
Sebetulnya, kata dia, bukan hanya menurun stunting, namun tujuannya yang lebih penting untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas karena tantangan bangsa pada tahun emas 2045 luar biasa
 
Apabila sekarang itu tidak dipersiapkan tentu pada generasi emas hanya sebagai retorika saja.
 
Karena itu, seperlima balita yang sekarang tentu 20 tahun ke depan, tepatnya 2045 menjadi penduduk produktif yang seharusnya pada usia 25 dan 30 tahun menjadi pemimpin atau CEO perusahaan atau paling tidak menjadi menteri.
 
Dengan demikian, seperlima balita sekarang itu ke depan harus memegang tampuk pimpinan di negara sendiri.
 
Ciri-ciri stunting itu, kata dia, kondisinya pertama pendek akibat gagal tumbuh, kedua lambat berpikir dan ketiga setelah dewasa mudah terserang penyakit generatif.
 
Selama ini, BKKBN bekerja keras dengan mitra kerja untuk menurunkan pravalensi kasus stunting.
 
Perkembangan angka stunting di Provinsi Banten tahun 2021 sebanyak 24,5 persen dan tahun 2022 mencapai 20 persen, sehingga menurun 4,5 persen.
 
Begitu juga keluarga berisiko stunting mengalami penurunan dari 1,3 juta pada 2021 menurun 60 persen lebih atau 532 ribu.
 
Presiden Joko Widodo mencanangkan tahun emas 2045 pada 100 tahun Indonesia merdeka dengan didukung bonus demografi, sehingga harus memiliki SDM yang berkualitas.
 
Namun, kata dia, saat ini prevalensi stunting masih tinggi.
 
Hari ini, BKKBN Banten yang bermitra dengan TPK mengadakan apel siaga untuk mempercepat penanganan stunting.
 
Apel siaga itu dihadiri 1.500 orang, terdiri dari TPK sebanyak 900 orang, lalu 200 bidan, 300 keluarga berisiko stunting dan 100 orang pelayan KB.
 
"Kita optimis kasus stunting turun 14 persen pada tahun 2024 sesuai target Presiden Jokowi dengan kerja keras TPK bidan, kader KB dan kader PKK," katanya.*

Baca juga: Bappeda Banten: TPPS Kota Tangerang maksimal turunkan stunting

Baca juga: Pemprov Banten optimalkan peran Baznas tingkatkan penerimaan zakat

Pewarta: Mansyur suryana
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023