Jakarta (ANTARA) - Pengamat sosial-keagamaan yang juga pendiri Peace Generation Indonesia Irfan Amalee mengatakan bahwa frekuensi konten yang berisikan narasi kontra ideologi transnasional harus lebih banyak, guna menekan penyebaran informasi oleh kelompok intoleran dan radikal.

“Jumlah konten kontra narasi itu harus jauh lebih banyak. Ibarat air dalam suatu wadah, jika ia dimasukkan setitik zat pewarna, maka untuk membersihkannya perlu air jernih yang lebih banyak, sehingga air dalam wadah tersebut bisa lebih jernih,” kata Irfan dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Dia menjelaskan algoritma yang bekerja di internet akan memprioritaskan sesuatu yang banyak dan sering diterbitkan. Untuk melakukan hal itu, Irfan menyebut partisipasi anak muda harus ditingkatkan.

Irfan pun mengatakan kelompok intoleran dan radikal umumnya mengangkat narasi dengan memanfaatkan optimasi mesin pencari (SEO), sehingga laman web yang mereka kelola bisa bertengger di urutan atas mesin pencari.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Irfan menilai laman web yang cenderung konservatif dan radikal itu relatif kalah oleh laman web yang dikelola kelompok moderat. Hal itu terjadi karena kelompok moderat mulai aktif dan hadir di dunia maya.

"Kelompok radikal ini sebenarnya kan jumlahnya sedikit, cuma mereka sangat aktif. Mereka ini istilahnya noisy minority, kelompok yang sedikit tapi sangat aktif dan membuat bising," imbuh Irfan.

Dia juga menganalisa bahwa masyarakat Indonesia sudah semakin matang dalam mengenali hoaks. Meski begitu, dia mengingatkan bahwa hoaks ataupun disinformasi merupakan suatu industri yang digerakkan dengan motif ekonomi.

"Mereka tentunya tidak ingin situasi Indonesia tenang-tenang saja karena dalam ketenangan, mereka tidak bisa mendulang keuntungan. Pasti akan ada yang mencari, mendambakan dan menunggu situasi yang tidak kondusif. Nanti tinggal dilihat saja antara kepentingan penyebaran hoaks dengan kematangan publik," katanya.

Oleh karena itu, kematangan publik dalam mengelola dan mengolah informasi sangat diperlukan. Hal ini selaras dengan konsep “tawasuth” atau sikap tengah.

Ia menjelaskan ketika ada informasi yang datang, posisikan diri untuk berada di tengah dan tidak memihak, sehingga perlu dilakukan pengecekan ulang atas informasi tersebut. Konsep “tawasuth” ini, kata Irfan, menjadi penting terlebih menghadapi tahun politik yang rentan polarisasi dan segregasi.

“Dengan memiliki sifat ‘tawasuth’, kita bisa tetap berada di tengah bagaimanapun kerasnya polarisasi politik yang terjadi. Walaupun kita punya pilihan, tetapi kita tidak hanyut dengan pilihan kita,” kata Irfan.

Lebih lanjut Irfan menyebut generasi muda Indonesia seringkali dihadapkan pada perdebatan tidak produktif di dunia maya, seperti soal benar atau salah, halal atau haram, hingga Pancasila atau khilafah.

Menurutnya, kelompok intoleran dan radikal seolah tidak pernah menyerah untuk terus menggambarkan Pancasila sebagai suatu kemunduran, sementara khilafah adalah solusinya.

“Sebenarnya, narasi tentang khilafah itu adalah sebuah narasi internasional, ya. Yang mereka (kelompok radikal dan intoleran) ‘address’ (sampaikan) sebetulnya hampir semua sistem di dunia, hanya saja kalau di Indonesia, Pancasila lah yang digoyangnya,” kata dia.

Menurut Irfan, pembenaran terhadap ideologi transnasional biasanya dilakukan dengan memunculkan narasi historis. Untuk menangkal hal itu, dia menyebut masyarakat dapat menyuarakan narasi senada dengan membawa contoh kekhalifahan Khulafaur Rasyidin.

“Apakah Khulafaur Rasyidin, yang dianggap sebagai kekhalifahan terbaik dan masih di bawah bimbingan Rasulullah dan para sahabat terdekat, itu menggunakan sistem khilafah yang sama dengan yang digaungkan oleh kelompok intoleran? Tentu saja berbeda,”

Sementara dari sisi narasi teologis, Irfan menyebut masyarakat dapat menunjukkan firman Tuhan. Seperti di dalam Al Quran Surat Ali Imran Ayat 159 yang di dalamnya memuat arti “bermusyawarahlah dalam perkaramu”, sehingga selaras dengan sistem demokrasi yang dijalankan Indonesia.

“Atau misalnya kita mau menggunakan narasi logis, dalam hal ini tentang nasionalisme, kita bisa merujuk pada ijtihad-ijtihad para ulama. Di Indonesia para ulama bisa diwakili dari Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama),” sambung Irfan.

Dia menjelaskan ulama NU telah bersepakat bahwa Indonesia adalah negara yang sesuai dengan konsep Islam. Begitu pula dengan Muhammadiyah yang sepakat bahwa Indonesia adalah “darul ahdi wa syahadah” yang berarti ‘negara kesepakatan dan persaksian’.

“Nah, jadi kita ‘ittiba’ (menerima) saja pada narasi logisnya para ulama. Jadi, dari berbagai sudut, baik narasi secara historis, teologis, maupun logis, khilafah itu tidak relevan dan Pancasila bukan sesuatu yang ‘face to face’ terhadap khilafah, jelas berbeda levelnya,” kata Irfan.
 

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2023