Jakarta (ANTARA) - "Nenek moyangku seorang pelaut. Gemar mengarung luas samudra. Menerjang ombak, tiada takut. Menempuh badai, sudah biasa,"  begitulah sepenggal lirik lagu anak-anak yang diciptakan oleh Ibu Sud atau Saridjah Niung pada 1940.

Lagu itu tidak saja menggambarkan nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut ulung, tetapi juga menunjukkan bahwa sektor maritim Indonesia memiliki potensi yang besar.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau kurang lebih sebanyak 17.500 yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Aceh hingga Papua.

Luas Indonesia dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sekitar 7,81 juta kilometer persegi, terbagi dari daratan sekitar 2,01 juta kilometer persegi, dan sisanya 3,25 juta kilometer persegi merupakan perairan.

Luas perairan di Indonesia mengalahkan daratan, sehingga potensi kelautan dan perikanan sangat besar, begitu juga keanekaragaman hayati yang tersimpan di dalamnya.

Produksi perikanan sesuai data KKP  pada 2022  mencapai 24,85 juta ton. Produksi itu terdiri dari perikanan budi daya sebanyak 16,87 juta ton, dan perikanan tangkap 7,99 juta ton.

Sementara pada 2023, produksi perikanan ditargetkan dapat mencapai 30,37 juta ton, dengan 8,73 ton untuk perikanan tangkap, dan 21,58 ton perikanan budi daya.

Akan tetapi Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Wahyu Sakti Trenggono saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI beberapa waktu lalu menyatakan bahwa produksi sektor perikanan tangkap pada tahun 2024 targetnya akan diturunkan menjadi 6 juta ton.

Langkah itu dilakukan oleh KKP untuk melindungi keberlanjutan perikanan di laut Indonesia, agar tidak sampai punah di kemudian hari.


Penangkapan Ikan Terukur

Terdapat beragam isu terkait pengelolaan perikanan di Indonesia yang berpotensi mengancam kelestarian sumber daya ikan, dan lingkungan, bahkan mengancam keberlanjutan mata pencaharian masyarakat di bidang tersebut.

Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 pada 26 Maret 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Peraturan tersebut dibuat untuk mengatasi permasalahan yang kompleks pada sektor kelautan dan perikanan di Indonesia.

Pengamat Kelautan Adji Sularso berpendapat bahwa substansi PP Nomor 11 tersebut mengubah kebijakan dan regulasi usaha penangkapan selama ini yang berlaku puluhan tahun, sejak tahun 1980-an.

Beberapa perubahan signifikan kebijakan baru dibandingkan yang lama, antara lain, pertama, perubahan dari pengaturan berdasarkan input menjadi pengaturan output.

Kebijakan yang lama, izin penangkapan ikan mengatur ukuran kapal atau GT kapal, alat jaring, jenis alat tangkap, dan tidak dibatasi hasil tangkapannya atau boleh menangkap sebanyak-banyaknya.

Adapun dalam PP Penangkapan Ikan Terukur selain mengatur GT kapal, juga membatasi jumlah tangkapan.

Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur diharapkan dapat mempertahankan ekologi, menjaga keanekaragaman hayati, meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah, dan kesejahteraan nelayan.

Sementara itu, Juru Bicara Menteri KKP Wahyu Muryadi mengatakan KKP sedang membuat peraturan turunan dari PP Nomor 11 Tahun 2023, agar bisa segara diberlakukan dengan cepat.

Saat ini hasil perikanan tangkap di Indonesia terus mengalami penurunan dikarenakan adanya penangkapan ikan yang tidak baik. Contohnya, dengan menggunakan jaring atau alat tangkap ikan tidak ramah lingkungan, yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Tidak hanya itu, ikan-ikan kecil pun saat ini ikut ditangkap, sehingga jumlah ikan mengalami penurunan.

Untuk itu, dengan adanya peraturan tersebut diharapkan dapat menjaga keberlanjutan perikanan di Indonesia.


Budi daya pilihan utama

Diturunkannya target produksi perikanan tangkap tidak lepas dari upaya pemerintah untuk menjaga keberlanjutan sektor tersebut.

Terkait dengan itu, KKP kini berupaya mendongkrak produksi lima komoditas perikanan budi daya yaitu udang, kepiting, lobster, nila, dan rumput laut.

Komoditas udang, khususnya udang vaname, KKP mengembangkan melalui sistem tambak udang berbasis kawasan, agar produksi bisa lebih meningkat dibandingkan tambak udang tradisional yang hanya mampu memproduksi 0,6 ton per hektare per tahun.

Sedangkan ketika menggunakan sistem tambak udang berbasis kawasan seperti di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, maka produksi udang per hektare bisa mencapai 40-50 ton sekali panen dengan jarak empat bulan, sehingga dalam setahun produksi dapat mencapai 200 ton.

Selain udang, komoditas lainnya yaitu kepiting yang sudah dikembangkan di Kalimantan Utara, di mana sistemnya sama yaitu KKP membuat percontohan terlebih dahulu, dan ketika berhasil bisa diterapkan di kawasan lain.

Ikan nila atau tilapia juga menjadi bidikan KKP untuk dibudidayakan lebih baik lagi, karena ikan tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga masuk dalam lima prioritas budi daya.

Apalagi lobster yang memang memiliki nilai ekonomi tinggi. Bahkan Menteri KKP , Wahyu Sakti Trenggono, menyediakan "karpet merah" bagi investor yang mau membantu budi daya di Tanah Air.

Komoditas unggulan lainnya pada bidang budi daya yaitu rumput laut, mengingat sejumlah daerah di Indonesia merupakan sentra produksi komoditas tersebut, dan ke depan akan dikembangkan lebih baik lagi, agar tidak dijual dalam bentuk bahan mentah saja yang nilai ekonominya jauh dibandingkan ketika sudah diproses.

Apalagi komoditas tersebut secara potensi banyak dan turunan juga beragam, sehingga perlu dimanfaatkan dengan baik.

"Kita ke depan harus menjadi pemenang melalui budi daya," kata Menteri KKP Wahyu Sakti Trenggono, menegaskan.

Sektor perikanan memang perlu ditata kembali agar bisa terus bertahan. Sektor perikanan tidak boleh dibiarkan tanpa ada aturan yang melindungi keberlanjutannya.  Apalagi Indonesia merupakan negara maritim. Potensi kemaritiman yang besar tersebut bukan warisan, tapi merupakan titipan anak cucu. Oleh karena itu,  kekayaan aneka ragam hayati laut itu harus dijaga kelestariannya.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023