Presiden Carter tidak menerima undangan untuk mengunjungi Korea Utara dan tidak memiliki rencana untuk berkunjung."
Washington (ANTARA News) - Mantan presiden Amerika Serikat Jimmy Carter tidak memiliki rencana untuk mengunjungi Korea Utara, kata juru bicaranya, Kamis, setelah sebuah laporan menyebutkan bahwa pemenang penghargaan Nobel itu berencana untuk berkunjung ke Pyongyang dengan harapan dapat membebaskan seorang warga negara Amerika Serikat yang ditahan.

"Presiden Carter tidak menerima undangan untuk mengunjungi Korea Utara dan tidak memiliki rencana untuk berkunjung," kata juru bicaranya, Deanna Congileo, lapor AFP.

Kantor berita Korea Selatan Yonhap, mengutip sumber-sumber diplomatik yang tidak disebutkan namanya, melaporkan Rabu bahwa Carter telah mengirimkan surat kepada Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry untuk menyuarakan kesediaannya guna melakukan perjalanan ke negara yang terisolasi itu di tengah ketegangan kedua negara tersebut.

Kantor berita itu mengatakan bahwa Carter akan mencoba untuk membebaskan operator tur warga negara Amerika Serikat keturunan Korea yang ditahan di Pyongyang tetapi Korea Selatan dan para pejabat Amerika Serikat khawatir jika Pyongyang bisa menggunakan kunjungan itu "untuk tujuan propaganda."

Korea Utara sebelumnya menjatuhkan hukuman sampai 15 tahun kerja paksa kepada Pae Jun-Ho, yang dikenal di Amerika Serikat sebagai Kenneth Bae. Dia ditangkap pada bulan November dan dituduh melakukan "tindakan bermusuhan" terhadap rezim totaliter.

Korea Utara di masa lalu telah membebaskan tahanan warga negara Amerika Serikat setelah lobi yang dilakukan oleh para utusan tingkat tinggi.

Pada tahun 2010, Carter menegosiasikan pembebasan seorang warga negara Amerika Serikat, Aijalon Mahli Gomes, yang dijatuhi hukuman delapan tahun kerja paksa karena memasuki negara itu secara ilegal dari China.

Carter melakukan kunjungan bersejarah ke Korea Utara pada tahun 1994 dan menegosiasikan upaya-upaya untuk mengakhiri krisis yang menimbulkan kekhawatiran terjadinya perang.

Berdasarkan kesepakatan itu, Amerika Serikat dan sekutunya setuju untuk membantu rezim dalam mengembangkan kekuatan sipil.

Ketegangan telah kembali melonjak dalam beberapa bulan terakhir, saat Korea Utara yang kini berada di bawah pemimpin muda Kim Jong-Un mengancam melakukan perang nuklir melawan Amerika Serikat setelah kecaman internasional atas peluncuran roket dan uji coba nuklir yang dilakukan oleh Pyongyang. (G003/M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013