Jakarta (ANTARA) - Sebagai negara kepulauan yang terletak di kawasan khatulistiwa, Indonesia dinilai sangat relevan untuk lebih mengefektifkan pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Berkat letak geografisnya itu, Indonesia mendapatkan energi surya yang melimpah karena Matahari akan bersinar sepanjang tahun dengan suhu yang cukup.

Analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa suhu rata-rata permukaan harian di seluruh wilayah Indonesia cukup konsisten berkisar 21-26 derajat Celsius, dan suhu maksimum 15-37 derajat Celsius.

Bahkan laporan kajian Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN) terbaru pada akhir bulan lalu semakin memperteguh keyakinan itu. Hasilnya radiasi panas harian rata-rata energi surya adalah sebesar 4,8 kWh per-meter persegi di negara kepulauan Indonesia.

Penyinaran Matahari dengan suhu yang cukup tersebut baik untuk dikonversi sebagai tenaga listrik menggunakan panel surya.

Faktor inilah yang menjadi salah satu pendorong Indonesia untuk secara masif memanfaatkan tenaga surya sebagai energi listrik, baik dari setiap kementerian dan lembaga (K/L) hingga ke masyarakat.

Dari situ Indonesia diharapkan mampu merealisasikan target nol emisi karbon atau net zero emission pada 2060 sebagaimana yang banyak disampaikan dalam forum lingkungan hidup internasional.

Pada 2060 menjadi puncak tangga untuk mengurangi penggunaan energi kotor ke sumber energi bersih. Bukan hanya Indonesia, juga berlaku baik di negara-negara tingkat kawasan ASEAN ataupun benua biru Eropa.

Kementerian Energi, dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri mencatat kebutuhan listrik Indonesia di tahun 2060 diproyeksikan mencapai sebesar 1.885 Terawatt Hour (TWh). Hal ini sekaligus menjadi penanda besarnya beban energi yang dikeluarkan untuk mencukupinya.

Masing-masing terbagi untuk kebutuhan Perusahaan Listrik Negara (PLN) sekitar 1.728 TWh, dan kebutuhan non-PLN sekitar 157 TWh. Sementara, proyeksi konsumsi listrik per-kapita secara nasional akan mencapai lebih dari 5 ribu KWh pada 2060.

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, pemerintah berupaya secara perlahan mencukupi kebutuhan listrik menggunakan tenaga surya.

Dari 1.885 TWh yang menjadi kebutuhan listrik di tahun 2060 setidaknya 635 giga watt (GW) di antaranya akan dipasok melalui pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan itu.

Pemerintah menargetkan pemenuhan dilakukan secara bertahap, yakni dimulai dari saat ini hingga tahun 2025 besaran realisasi bauran PLTS mencapai 23 persen atau sebesar 3,61 Giga Watt (GW).

Jika target jangka pendek tercapai, maka setidaknya pada tahun 2025 Indonesia dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 358 juta ton CO2e.
 

Keunggulan PLTS

Direktur Aneka Energi Baru, dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM A Feby Misna mengatakan, PLTS memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan pembangkit listrik energi bersih lain, seperti Kincir Angin, Kincir Air, Biomassa, dan Geotermal.

Keunggulan pertama PLTS karena memiliki sifat ramah lingkungan yang sama sekali tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca atau gas buang seperti asap dan lainnya yang dapat menyebabkan perubahan iklim dan berimplikasi pada penurunan kesehatan manusia atau makhluk hidup lainnya.

Hal tersebut dikarenakan setiap panel PLTS mampu mengonversi energi Matahari yang ditangkap menjadi energi listrik untuk memenuhi kebutuhan listrik rumah tangga, industri infrastruktur seperti jalan tol, jembatan dan bandara, termasuk untuk bisnis, seperti hotel, mal, rumah sakit, restoran, dan manufaktur/pabrik.

Perangkat PLTS yang mudah dipasang di mana saja, baik di darat maupun di perairan, dan perawatan yang murah ketimbang pembangkit listrik sejenisnya menjadi faktor lain yang mempengaruhi minat publik untuk menggunakan Energi Baru Terbarukan ini.

Kemudian baik sebagai prospek meningkatkan perekonomian Indonesia melalui ekspor produk-produk PLTS dan menciptakan lapangan kerja baru yang sedang diupayakan pemerintah.

Terlepas dari situ, tujuan utama bertransisi energi menggunakan PLTS adalah untuk mengurangi penggunaan energi kotor yang salah satunya bersumber dari pembakaran batu bara, sebagai bahan bakar pembangkit aliran listrik utama saat ini.

Pembakaran batu bara berkontribusi sebagai penyumbang terbesar polusi udara yang belakangan ini kian kentara menghantam sebagian besar daerah di Tanah Air, bahkan dunia, sehingga cepat atau lambat harus digantikan.

Hal demikian terjadi karena batu bara mengandung sulfur dan nitrogen, sehingga ketika dibakar menghasilkan sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen oksida (NOx) yang dapat menyebabkan hujan asam, kabut asap, dan bila terhirup dapat menimbulkan masalah pernapasan dan penyakit kronis, seperti kanker.

Panel surya ini efektif sebagai sumber energi listrik ramah lingkungan yang jumlah pemanfaatannya meningkat cukup signifikan.

Kementerian ESDM mencatat sejak tahun 2015 jumlah pemanfaatan PLTS di Indonesia terus meningkat hingga menjadi sebanyak 7.472 pelanggan per-Juli 2023.

Jumlah pelanggan tersebut meningkat cukup signifikan, yaitu bertambah sekitar 28 persen per-tahun, dari jumlah pelanggan sebelumnya sebanyak 5.926, pada periode yang sama tahun 2022.

Provinsi Jawa Barat menjadi daerah yang paling banyak menggunakan PLTS di Indonesia, yakni ada 2.692 pelanggan.

Pada tahun 2023, kapasitas PLTS di Jawa Barat telah mencapai 8,84 megawatt peak (MWp) yang penggunaannya didominasi di wilayah perkotaan yang memiliki kepadatan penduduk tinggi.

Selain itu, Jawa Barat juga merupakan salah satu pusat industri di Indonesia yang mendorong pertumbuhan penggunaan PLTS di Bumi Tatar Sunda.

Bahkan terbaru, Perusahaan Listrik Negara sedang membangun PLTS terapung Cirata yang berkapasitas 192 megawatt peak (MWp) di Purwakarta, Jawa Barat.

PLTS terapung di atas Waduk Cirata, merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Infrastrukturnya dibangun di area seluas 200 hektare yang terdiri dalam 13 blok dengan lebih dari 340 ribu solar panel dan memperkerjakan ribuan angkatan kerja baru.

Pembangunan PLTS hasil kolaborasi antara subholding PLN Nusantara Power dengan perusahaan energi asal Uni Emirat Arab (UEA), Masdar, tersebut dipersiapkan untuk mampu memproduksi 245 juta kilowatt hour (kWh) energi bersih per-tahun dan mampu mengalirkan listrik setara lebih dari 50 ribu rumah serta akan menekan emisi karbon lebih dari 200 ribu ton per-tahun.

Proyek PLTS terapung Cirata diklaim mampu menghasilkan pengembalian investasi yang menarik, meningkatkan kepercayaan investor serta sekaligus menjawab tantangan energi bersih dengan nilai investasi mencapai Rp1,7 triliun.

Selanjutnya, Provinsi DKI Jakarta menjadi daerah kedua dengan jumlah pelanggan PLTS terbanyak di Indonesia setelah Jawa Barat.

Pelanggan PLTS di DKI Jakarta per-Juli 2023 ada  1.732 yang didominasi untuk kebutuhan listrik rumah tangga, dengan kapasitas daya yang dihasilkan secara keseluruhan sebesar 6,76 MWp.

Kemudian pada posisi ke tiga nasional diikuti Provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta 3,81 MWp, Sumatera Utara 2,02 MWp dan Bali sebesar 1,99 MWp.
 

Hemat biaya listrik

Berdasarkan data Kementerian ESDM, selain pelanggan rumah tangga, jumlah pelanggan listrik panel surya untuk segmentasi bisnis dan industri juga menunjukkan peningkatan.

Peningkatan jumlah pelanggan segmentasi bisnis dan industri tersebut, utamanya terjadi di DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat, yang saat ini ada 1.568 pengguna dengan kapasitas PLTS per-golongan 4,03 MW hingga 23,02 MW.

Dari jumlah pelanggan segmentasi khusus ini diketahui kapasitasnya juga mengalami kenaikan sebesar 6,83 persen atau total keseluruhan daya yang dihasilkan sebesar 105,24 MW.

Peningkatan jumlah pelanggan dan kapasitas daya yang cukup drastis tersebut, juga sangat dipengaruhi besarnya manfaat ekonomi yang didapatkan setelah menggunakan PLTS.

Setelah menggunakan PLTS para pelanggan mampu menghemat biaya beban pengeluaran listrik konvensional PLN sebesar 20-30 persen, atau sekitar Rp300-600 ribu per-bulannnya untuk pelanggan rumah tangga.

Bahkan, beberapa pelanggan PLTS untuk segmentasi khusus di Jakarta yang sudah memiliki daya energi sebesar 1.200 kWp, dapat menghemat biaya beban pengeluaran secara kumulatif hingga sekitar Rp200 juta per-tahun.

Dari situ pemerintah menyakini jumlah pelanggan PLTS tersebut akan terus tumbuh seiring kemudahan yang terus dihadirkan pemerintah. Di antaranya melalui pemberian insentif kepada konsumen, dan produsen panel surya dalam negeri berupa penghapusan biaya kapasitas.

Melalui regulasi itu, pemerintah setidaknya memberikan kepastian, baik bagi pengguna, ataupun pelaku industri panel surya. Demi meningkatkan akselerasi pemanfaatan energi yang ramah lingkungan ini dengan harga terjangkau di pasaran.

Meskipun memang mekanisme pemberian insentif tersebut masih dirumuskan ke dalam Peraturan Menteri ESDM terkait PLTS Atap yang saat ini dalam tahap finalisasi.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023