Oslo (ANTARA) - Ketika dunia dididihkan oleh suhu tertinggi tahun ini, para ilmuwan mengatakan faktor tidak biasa mungkin menjadi salah satu penyebabnya, yakni letusan gunung berapi bawah laut di lepas pantai Tonga di Pasifik Selatan tahun lalu.

Meskipun kebanyakan letusan besar seperti itu berdampak mendinginkan planet ini dengan kabut yang meredupkan sinar matahari, letusan Hunga Tonga-Hunga Ha'apai pada Januari 2022 itu meniupkan air setara dengan 60.000 kolam renang Olimpiade ke stratosfer, jauh di atas permukaan planet ini.

Uap air adalah gas rumah kaca alami yang memerangkap panas saat berputar di sekeliling Bumi. Sebaliknya, erupsi besar di daratan, seperti letusan Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991, meredupkan sinar matahari untuk sementara waktu dengan selubung pucat sebelum jatuh kembali ke Bumi.

"Kebanyakan gunung berapi memberikan efek pendinginan," kata Peter Thorne, profesor ilmu iklim pada Maynooth University di Irlandia.

Dia menambahkan, gunung berapi di Tonga adalah pengecualian untuk siklus itu dan fenomena alam liar signifikan yang belum pernah terlihat sebelumnya.

Juni-Agustus tahun ini adalah periode terpanas yang pernah tercatat di seluruh dunia dengan selisih yang sangat besar di mana gelombang panas terjadi di mana-mana, dari Jepang hingga Amerika Serikat.

Baca juga: Riset: 98 persen populasi dunia rasakan 3 bulan terpanas dalam sejarah

Menurut para ilmuwan, emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan manusia adalah penyebab utama terjadinya hal ini dengan kontribusi yang kurang pasti dari peristiwa cuaca El Nino yang menghangatkan Pasifik, terbatasnya polusi pantulan cahaya dari bahan bakar kapal, dan gunung berapi.

Banyak ilmuwan berpandangan bahwa penelitian lebih lanjut mengenai gunung berapi sangat penting untuk mengukur sejauh mana letusan gunung berapi dapat mempengaruhi tren jangka panjang pemanasan global, yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil.

Letusan di kepulauan Polinesia itu mengeluarkan 150 juta ton uap air ke stratosfer atau sekitar 10 persen dari 1,4 miliar ton yang biasanya berputar di sana, kata Margot Clyne, ilmuwan atmosfer pada University of Colorado di Boulder, Amerika Serikat.

"Kami dapat mengatakan dengan cukup yakin bahwa letusan gunung berapi seperti ini tidak terjadi sejak 1880-an, ketika Krakatau meletus pada 1883," kata dia.

Letusan Hunga Tonga-Hunga Ha'apai itu juga meniupkan sekitar 500.000 ton sulfur dioksida ke stratosfer, yang cenderung mendinginkan planet ini. Campuran air dan belerang membuat dampak gunung berapi tersebut semakin rumit.

Sebuah studi dalam jurnal Nature pada Januari menyebutkan bahwa letusan tersebut sedikit meningkatkan risiko suhu global  mencapai 1,5 derajat Celcius untuk sementara waktu, setidaknya dalam satu dari lima tahun ke depan.

Baca juga: Selat Dardanella ditutup sementara karena kebakaran hutan di Turki

"Ini adalah gunung berapi pertama dalam catatan pengamatan yang mungkin menghangatkan permukaan, bukan mendinginkannya," kata Luis Millan, ilmuwan pada California Institute of Technology.

Penelitian awal menunjukkan bahwa "gumpalan air mungkin bertahan hingga sekitar delapan tahun di stratosfer," yang merupakan lapisan atmosfer yang berjarak sekitar 10-50 km  di atas Bumi, kata dia.

Holger Voemel, ilmuwan senior pada Pusat Penelitian Atmosfer Nasional AS (NCAR), berpandangan bahwa letusan gunung berapi mungkin mempengaruhi pemanasan global, meski vonis pasti mengenai hal itu belum ditentukan.

Letusan yang meredupkan sinar matahari telah terjadi kira-kira dua kali dalam satu abad dalam 2.500 tahun terakhir. Terakhir kali terjadi di Pinatubo, kata Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB.

Pinatubo memangkas suhu rata-rata global sekitar 0,5 derajat Celcius selama lebih dari setahun dengan meredupkan sinar matahari.

Dalam 2.500 tahun terakhir, telah terjadi delapan letusan sangat besar, kata IPCC. Di antaranya, Tambora di Indonesia pada 1815 yang menyebabkan "tahun tanpa musim panas" sehingga tejadi gagal panen dari Perancis hingga Amerika Serikat.

Baca juga: Akademisi: Perubahan iklim timbulkan kerentanan bagi ekosistem pesisir

Hal yang lebih parah lagi adalah letusan Samalas di Indonesia sekitar tahun 1257 yang menyebabkan kelaparan dan mungkin mengawali Zaman Es Kecil, yang merupakan periode dingin luar biasa yang berlangsung hingga abad ke-19.

Besar kecilnya letusan purba dinilai dari belerang yang ditemukan terperangkap dalam es di Greenland dan Antartika.

Jumlah letusan besar berabad-abad lalu yang mengeluarkan air, seperti gunung berapi Tonga, masih menjadi misteri karena tidak dapat terpantau di dalam es.

Sebelum meletus, Hunga Tonga-Hunga Ha'apai berada sekitar 150 meter di bawah permukaan laut.

Tidak jelas berapa banyak gunung berapi yang berada di perairan cukup dangkal untuk mengeluarkan material ke atmosfer, seandainya gunung-gunung itu meletus.

Baca juga: Tragedi Hawaii dan sikap hadapi pemanasan global 

Sumber: Reuters

 

Penerjemah: M Razi Rahman
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2023