Jakarta (ANTARA) - Jalan berdebu sepanjang sembilan kilometer di Tangerang, kota yang berdekatan dengan DKI Jakarta, disulap menjadi galeri terbuka, penuh warna, dan dipercantik oleh lebih dari 50 seniman mural dan grafiti dari berbagai negara.

Dika Badik Adrian (28) dari Provinsi Sumatra Barat melukis deretan tiga karakter bergaya pop art yang sedang bergumul memperebutkan bola basket dalam sebuah mural.

Figur yang dikembangkan oleh Badik pada 2018 dan muncul sebagai subjek utama dalam semua karyanya itu dinamai Fresnot, sebuah akronim yang berarti kebebasan tidaklah gratis (freedom is not free). Kali ini, deretan Fresnot itu mengenakan topi dan topeng polkadot bernuansa cerah dengan corak biru, merah, dan ungu.

"Kenakan masker, agar tidak terpapar debu jalan," kata Badik kepada Xinhua baru-baru ini.

Lukisan itu merupakan bagian dari festival seni jalanan Epicentrum, yang diselenggarakan oleh komunitas setempat dan telah menarik para seniman dari berbagai negara termasuk Malaysia, Filipina, Korea Selatan, Sri Lanka, Thailand, dan juga Indonesia.
 
Foto yang diambil pada 13 September 2023 menunjukkan seorang pria mengendarai sepedanya melewati mural di dinding sebagai bagian dari The Epicentrum Art Festival, sebuah festival seni mural dan grafiti jalanan di Tangerang, Provinsi Banten, Indonesia, pada 13 September 2023. ( Xinhua/Agung Kuncahya B.)


Olahraga, beserta seni dan budaya, menjadi topik utama dari acara melukis mural dan grafiti tersebut yang berlangsung dari 10 hingga 17 September.   

Topik olahraga juga tampak dalam kreasi ciptaan Yosua Tan, seniman mural asal Tangerang. Dia menggambar sketsa seorang pria yang mengenakan kacamata hitam dan sepak bola, olahraga yang digemari di seluruh dunia, dan menulis "mafia" di sampingnya. Ini mengilustrasikan kritik moral terhadap sepak bola, yang menurutnya kerap kali diubah menjadi arena politik bagi sejumlah partai tertentu.

"Kami berharap sepak bola tidak berubah menjadi ajang politik, olahraga harus tetap menjadi olahraga," ujarnya.

Ibnu Jandi, konseptor festival itu, menyampaikan bahwa Tangerang merupakan daerah perkotaan yang dulunya adalah hutan lebat, namun bertransformasi dengan cepat seiring perluasan pembangunan DKI Jakarta, dengan kemunculan ribuan industri dan para pendatang dari berbagai provinsi.

Serupa dengan daerah-daerah perkotaan di negara lain, tak hanya area hutan yang lenyap, tetapi juga budaya lokal dalam banyak kasus, banyak kemacetan di jalanan, serta hilangnya ruang publik, imbuhnya.
 
 Foto yang diambil pada 13 September 2023 menunjukkan seorang perempuan mengendari motornya melewati mural di dinding sebagai bagian dari The Epicentrum Art Festival, sebuah festival seni mural dan grafiti jalanan di Tangerang, Provinsi Banten, Indonesia, pada 13 September 2023. ( Xinhua/Agung Kuncahya B.)


 Akid One (37), seniman mural asal Malaysia, berupaya menampilkan lalu lintas perkotaan dalam karyanya yang disempurnakan dengan warna cokelat kekuningan klasik, layaknya lanskap kuno.  

Dia menuturkan setibanya di Indonesia, dirinya mengamati jalan raya Legok, mengabadikannya, dan menggunakan foto-foto itu untuk menciptakan sebuah mural yang menunjukkan hiruk pikuk jalanan, di mana terdapat banyak pengendara sepeda motor yang melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa di antaranya tidak mengenakan helm, atau dipadati oleh wanita dan anak-anak, pedagang kaki lima, dan kendaraan yang mengangkut barang.

Suasana ini juga mengingatkannya pada Malaysia, negara asalnya, di mana dirinya menuturkan bahwa jalanan dipadati oleh mobil-mobil.

"Ini merupakan bentuk ekspresi kalangan muda, mereka tidak hanya berupaya menjadikan jalanan agar lebih menarik, tetapi juga 'memberontak' terhadap jalanan yang padat dan kotor, serta area publik yang menyusut," kata Jandi.
 
Foto yang diambil pada 13 September 2023 menunjukkan sejumlah pengendara motor melewati mural di dinding sebagai bagian dari The Epicentrum Art Festival, sebuah festival seni mural dan grafiti jalanan di Tangerang, Provinsi Banten, Indonesia, pada 13 September 2023. (Xinhua/Agung Kuncahya B.)


 Edi Bonetski, direktur seni festival itu, menambahkan bahwa setiap jalan memiliki kisahnya masing-masing, dan merekam sejarah kota yang ekstensif

"Ketika jalan merupakan kanvas kami," katanya, "kreativitas menjadi tak terbatas."

Ruang ekspresi meluas ke dunia meta seiring perkembangan teknologi, tutur Bonetski, sementara karya-karya luring tetap dibuat.

Hasilnya, dinding-dinding tua kota itu kini terlihat indah, aspirasinya tersampaikan, dan semua orang dapat mengamati dan memberikan apresiasi. 

Pewarta: Xinhua
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023