Jakarta (ANTARA News) - LSM lingkungan, Greenomics Indonesia, memprediksi bakal terjadi banjir dan longsor di Kalimantan setiap tahunnya karena daerah tutupan lahan pada hutan primer di Daerah Aliran Sungai (DAS) di propinsi itu sudah berkurang hingga dibawah batas minimum 30 persen. Hasil studi keamanan ekologi di Provinsi Kalimantan yang dilakukan Greenomics pada 2004 menemukan fakta bahwa kisaran persentase tutupan hutan primer terhadap DAS di Kalimantan rata-rata hanya 20 persen saja dan angka itu terus turun hingga 15 persen pada 2006, kata Elvian Efendi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, di Jakarta, Selasa. Kondisi lebih parah terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan yang rata-rata tutupan hutan primernya masing-masing hanya tersisa 13 persen dan 19 persen saja. Sementara data Departemen Kehutanan tahun 2004 menyebutkan bahwa kawasan hutan lindung di pulau Kalimantan yang sudah rusak mencapai 1,8 juta hektar. "Jika jumlah ditotal dengan kawasan hutan industri yang kini sudah tidak lagi berhutan, angka itu bisa mencapai 10 juta hektar atau setara dengan 156 kali luas Negara Singapura," katanya. Untuk DAS, kata Elfian, di Kalimantan ada sekitar 56 DAS yang terdiri dari 10 DAS di Kalimantan Barat, 18 DAS di Kalimantan Timur, 12 DAS terdapat di Kalimantan Tengah, dan 16 DAS berada di Kalimantan Selatan. Dengan banyaknya DAS di Kalimantan yang mencapai 56 DAS serta rendahnya persentase tutupan hutan primer di daerah itu, maka hutan yang tersisa di daerah itu tidak mungkin lagi menahan air hujan sehingga sangat berpotensi terjadi banjir dan longsor. "Melihat kondisi hutan di Kalimantan saat ini yang memprihatinkan, wajar jika masyarakat Kalimantan hanya akan menikmati panen banjir dan tanah lonsor saja setiap tahun," kata Elfian. Sementara itu pembalakan liar yang terjadi di Kalimantan yang telah menghilangkan sepuluh juta hektar hutan di sana, menurut Elfian, berpotensi menimbulkan kerugian negera hingga Rp36,27 triliun setiap tahunnya. "Sekitar Rp25,47 triliun akan habis untuk menanggulangi tanah longsor, dan Rp10,80 triliun untuk mengatur gangguan ekosistem serta tata air," katanya. Kerugian lain adalah hilangnya minat investor menanamkan modalnya di Kalimantan. "Contohnya investor Cina telah membatalkan niatnya menanamkan modal pada usaha perkebunan kelapa sawit beberapa waktu lalu karena potensi banjir di wilayah Kalimantan ini," katanya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006